12 Desember 2011

Galau

Hari-hari yang aneh. Membosankan. Seragam.

Mencoba buka-buka notes di FB. Bah! Kok semuanya cinta? Jadi speechless. Rasanya malu sendiri karena belakangan saya juga suka nulis soal cinta.

Bicara cinta memang tidak memalukan, tapi lebih banyak membuat kita cengeng. Padahal bisa juga bicara soal cinta tapi tetap terlihat keren. Saya tidak tahu apakah saya juga terlihat cengeng atau tidak.

Belakangan saya sebal dengan beberapa 'kaum hawa' yang menyalahkan pria. Katanya pria tukang gombal, bisanya menyakiti, penipu, dan seterusnya. Saya ingin katakan, "Kamu yang goblok!" Duh, jadi ngomong kasar. Sori.

Tapi akhirnya saya sadar kalau mereka sedang berproses. Tiap orang kan memang berproses setiap saat. Tapi sayang juga, ada yang berproses seperti jalan di tempat. Mana progresnya?! Ingin saya tendang saja bokongnya supaya dia sedikit maju biar selangkah.

Rasanya enak juga kalau mendengarkan Maliq & D'Essentials - Mata Hati Telinga. Liriknya cukup kuat. Powerful. Pilihan akor tidak buruk. Dan yang pasti lagu ini paling pol buat menampar pemuja-pemuja cinta yang cengeng abis. Tapi saya tidak merekomendasikan lagu ini buat 'ababil'. Musiknya melow. Jadi kalau jatuhnya di telinga mereka, bisa nangis darah juga nanti.

Galau. Ababil galau memang gawat. Tahu-tahu ditemukan overdosis di kamar. Lebih baik otaknya diturunkan ke dengkul saja kalau begitu. Tak ada gunanya kalau berujung tergantung di dapur.

Mestinya galau itu penting. Kita merdeka juga karena galaunya pendahulu kita luar biasa. Kalau Bung Karno tidak galau, tidak mungkin dia membacakan teks proklamasi. Kalau mahasiswa tidak galau, tidak mungkin Soekarno turun. Kalau mahasiswa tidak galau, tidak mungkin ada reformasi. Galau itu nikmat, mengapa harus dibiarkan menyiksa hati. Artinya harus ada action. Galau itu biasa, tapi jangan dikelola biasa saja. Sudah banyak contoh pohon galau yang berbuah manis. Tapi bukan pohon bambu berbuah duren lho! Nggak ada!

Kita tahu kita galau, tapi malah memperdalam kegalauan sendiri. Kalau galau karena cinta, ya tinggalkan lagu, sinetron, novel teenlit yang melow-melow, dan lain-lain. Hobi kok nangis.

Have fun, man, have fun!

Lagu-lagu yang powerful ada banyak di 4shared. Film komedi atau yang lain juga tinggal download. Acara tivi berkualitas juga ada banyak.

Lho, saya bukannya menyalahkan orang galau. Galau kan memang ada di mana-mana. Di rumah-rumah gedongan ada tulisan, "Awas ada anjing galau!", di SEA Games ada cabang olahraga "Lempar Galau", tiap terjadi bencana alam ada "Penggalauan Dana", dan lain-lain. Nah, sekarang giliran kamu mengelola galaumu sendiri.

I Love You

Kau cantik sekali. Sungguh, aku tak bohong. Wajahmu selalu ada di setiap mataku mengatup barang sepersekian detik. Ya, dalam setiap kedipku. Aku tak sempat menghitung berapa kali aku berkedip. Tapi aku tahu sebanyak itulah gambarmu ada. Biar aku berlebihan. Ini takkan membuat gadis-gadis cemburu padamu, Ibu. I love you.  

Seharusnya kusampaikan ini padamu nanti 22 Desember 2011

10 Desember 2011

Dear, Blog (Gila)

Aku selalu ingin mesra menyapamu. Tapi waktu, sekali lagi waktu. Waktu tak selalu memberiku kesempatan bercumbu denganmu. Bercerita tentang cita-cita, mimpi, dan semua yang pernah kuceritakan padamu. Biarpun kamu tak pernah menjawabku, kamu selalu mujarab mengobatiku. Barangkali aku memang sakit. Mungkin. Orang hidup tak harus selalu waras. Nyatanya aku ada di sini. Di tempat yang tak diidamkan, bahkan olehmu. Butuh kegilaan khusus untuk berkata dengan bangga... AKU GILA! Tapi tempat ini yang akan membuatmu waras. Setidaknya agak waras. Kehidupan kota itu gila. Kamu harus ke sini kalau kamu ingin merasakan waras. Tapi jangan ke sini kalau kamu belum merasa gila. Agar kamu merasa waras setelah tempat ini membuatmu merasa tak gila. Kalau kamu masih merasa waras dan memaksa ke sini, kamu akan gila beneran!

09 Oktober 2011

Boy dan Gadis

Bokong Boy masih betah berada dipangkuan kursi kayu tua di teras rumah Gadis. Bukannya Boy tak tahu kursi itu sekeras batu. Malah dia merasakan. Lima menit saja merelakan bokong dicumbui kursi ini, sama dengan off-road puluhan kilometer. Boy mendengar. Setiap kali kakinya digerakkan, kursi itu berdecit keras. Protes. Tapi dia tetap enggan beranjak dari sana. Dia tenggelam di dalam obrolan bersama Gadis. Satu jam sudah Boy mendengar celotehan sahabatnya itu. Semakin lama, semakin dalam dia menyelami mata Gadis. Matahari hanya menyisakan cahaya bekas kegagahannya. Tatapan mata Boy semakin hangat.

"Gantian kamu dong Boy yang cerita. Dari tadi ngelihatin mataku terus. Ada belek ya?" Gadis membuyarkan konsentrasi Boy yang sedang menikmati indahnya makhluk Tuhan di hadapannya itu, "kamu capek? Mau pulang?"

Boy gelagapan. Dia tarik nafas panjang-panjang, "What a beautiful"

"Beautiful? Ah bisa aja kamu Boy. Aku emang cantik dari dulu kali. Eh, jangan-jangan kamu suka aku ya?" Gadis tersenyum menggoda.

Boy memejamkan mata sejenak. Lalu segera membukanya kembali. Dia tak ingin kehilangan kesempatan memandang bidadari tak bersayap itu. Boy tersenyum kecil.


"Aku Adam, kamu Hawa. Kalaupun kamu bukan Hawaku, setidaknya Adam mestinya memang mencintai Hawa. Adam memang ditakdirkan berdampingan dengan Hawa. Jadi, mana mungkin aku menolak mencintaimu. Semua begitu alami.

Aku tak ingin munafik, tak juga bermaksud melankolik. Karena cinta datangnya dari Sang Khalik. Secuil kecil gejala kosmik.

Cinta itu manusiawi. Tak ada manusia yang tak punya cinta. Kalau ada makhluk berwujud manusia tapi tak bercinta, dia pasti setan. Paling tidak manusia yang telah jadi setan. Kata Putu Wijaya, Asal setan sudah apriori; pasti legam. Tidak ada yang abu-abu! Cinta itu milik manusia, bukan setan. Setan tak punya cinta. Dan aku bukan setan. Aku manusia. Jadi, biarkan aku mencintaimu.

Ini bukan cinta sederhana yang kamu kenal sewaktu abu-abu dulu. Cinta ini tak sekedar untuk memasang namamu di profil FB-ku. Aku tidak sedang mencari wanita yang mau kugandeng tangannya di Mall. Bukan wanita yang memelukku saat kubawa dengan motorku. Tidak juga agar kamu mengganti namaku di Phonebook dengan "Sayang". Cinta ini tak sesederhana itu.

Aku sedang berbicara denganmu. Dengan sahabat hatiku. Berharap akupun sahabat hatimu.

Memang kamu salah alamat jika datang padaku dan menginginkan pria dengan tampilan rupawan. Kalau aku setampan itu, pasti sudah bergabung dengan Boyband. Jangan salahkan lahirku. Tak ada orang yang merancang desain dirinya sebelum wujudnya dicetak. Aku tidak bisa menawar padaNYA. Ya, Dia yang memberiku semua ini.

Aku bukan mereka yang menawarkan cinta pada kekasihnya. Hidup dengan cinta. Makan juga makan cinta. Biarlah, itu mereka. Aku bukan juga mereka yang menjanjikanmu materi berlimpah untuk hidup bahagia. Seandainya kebahagiaan itu memang bisa dibeli dengan materi, tak mungkin banyak konglomerat berakhir di Rumah Sakit Jiwa, atau Panti Jompo. Sedangkan mereka yang sehari makan sekali saja bisa mati tersenyum di rumahnya sendiri. Para konglomerat menyedihkan itu sebenarnya hanya menggadaikan kebahagiaannya untuk membawa pulang harta. Sayang mereka gagal menebus kebahagiaan yang tergadai itu.

Dengarlah, aku tak ingin menjadi mereka. Aku hanya menjanjikanmu surga. Aku akan membawamu ke sana. Mudah-mudahan kamulah perhiasan terindah dalam hidupku. Semoga kamu patahan tulang rusukku. Biar kutolak semua bidadari surga kelak. Agar kamu satu-satunya bidadariku di sana. Aku ...."

Ya. Seharusnya Boy menumpahkan itu semua pada Gadis. Tapi puluhan kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan. Kemudian ditelan kembali memenuhi dada. Boy butuh waktu yang tepat untuk memuntahkan semua ini. Tidak sekarang. Nanti.

***

"Aku ingat, itu lima tahun lalu. Kursi ini masih seperti dulu." Boy berusaha mengais-ngais kenangannya.

"Dan kamu juga masih seperti dulu," Gadis mengumpulkan sisa ingatannya, "kamu tak pernah mengenalkan wanita itu padaku. Dulu kamu bilang, dialah yang menjadi alasanmu bekerja keras. Mengejar cita-cita. Katamu, dia akan menjadi satu-satunya bidadarimu di surga nanti. Tapi sampai hari ini kamu belum meminangnya. Menunjukkan padaku saja belum."

Boy diam lama. Ingin memuntahkan isi dadanya yang sejak lima tahun lalu disimpannya. Tapi,
"Tapi sudah tak mungkin lagi."

Gadis menoleh kepada Boy. Menyelidik isi kepalanya. Tapi Gadis bukan paranormal. Tatapannya diakhiri dengan anggukan berkali-kali.

"Kamu memang masih seperti dulu. Aku tak pernah tahu apa isi kepalamu. Seharusnya aku jadi dokter saja supaya bisa membongkar kepalamu." Gadis tertawa.

"Ya, memang masih seperti dulu."

"Mama!" bocah kecil itu muncul digendong seorang Pria.

"Makasih ya Boy, mau datang di ulang tahun pertama Dinda" sapa pria itu ramah.

Boy tersenyum.
"Iya, sayang kan kalau melewatkan ulang tahun pertama keponakan."

"Ma, dicari Bu Sri tuh" kata pria itu menyerahkan Dinda pada Gadis.

"Iya, Pa. Boy, aku tinggal dulu ya. Gendong nih keponakanmu." Dinda pindah di gendongan Boy. Gadis mencium putrinya. Kemudian meninggalkan mereka.

Manusia boleh berencana, Tuhan yang menyetujui. Jalani saja apa yang diberikan. Kalau dilalui dengan ikhlas, pasti berkah.

"Dinda kalau besar nanti, kejar cita-cita sampai dapat ya."

Dinda tak benar-benar paham apa yang dikatakan Boy. Gadis kecil itu asik memainkan kue di tangannya.

06 Oktober 2011

(Maaf) Gombal Mukiyo

Sebelum kamu membaca seluruh isi surat ini, saya peringatkan, surat ini benar-benar berisi Gombal Mukiyo. Kalau kamu alergi dengan gombalan lebih baik sudahi saja untuk judul ini. Cari artikel lain, atau tutup tab atau window browser kamu. Karena kamu takkan menemukan apa-apa selain gombal mukiyo.

Baik, karena kamu terus penasaran, saya lanjutkan. maaf, maksud saya, kamu yang melanjutkan (membaca). Saya hanya ingin memiliki hatimu yang hanya satu itu. Maaf, saya tidak bermaksud menggombal seawal ini. Tapi baiklah. Ini memang berisi gombal mukiyo.

Setiap dekat denganmu rasanya banyak sekali hormon endorfin yang dilepaskan ke dalam aliran darah saya. Maaf, sebenarnya saya tidak begitu paham apa itu hormon endorfin. Saya tidak paham. Tapi kata Ajahn Brahm, tertawa bisa melepaskan hormon endorfin ke dalam aliran darah. Barangkali hormon tadi efek kebahagiaan atau semacamnya. Maaf, saya tidak bermaksud menyesatkan. Saya hanya berusaha "menggombal". Maaf, maksud saya "menyimpulkan". Baik, lupakan saja soal endorfin. Itu pekerjaan ilmuwan.

Jodoh itu diatur Tuhan. Kamu percaya? Saya percaya. Sebaiknya kamu juga percaya. Karena ini tentang percaya pada Tuhan. Percayalah. Daripada percaya pada saya. Karena saya sedang menggombal. Jadi jangan percaya. Tapi kamu harus percaya pada gombalan saya. Maaf, maksud saya, gombalan saya tidak layak dipercaya. Tapi kamu harus tetap percaya. Maaf, saya tidak bermaksud memaksa. Tapi kamu harus. Maaf, saya hanya melantur. Maklum semakin berumur.

Karena jodoh itu diatur Tuhan, biar saya berusaha sampai matipun takkan pernah berjodoh denganmu, kalau Tuhan memang mengatur begitu. Mungkin kamu yang ditakdirkan untuk benar-benar tak mau dengan saya atau Tuhan menghendaki kondisi-kondisi lain yang tak terduga. Tapi kamu harus percaya bahwa saya benar-benar menginginkanmu. Maaf, saya tidak bermaksud berkata seperti itu. Maksud saya, kamu harus percaya bahwa semua ini sudah diatur Tuhan.

Satu alasan saya menulis ini adalah kepala saya sedang ditodong setan. Ah maksud saya, supaya kamu tahu. Itu saja. Daripada kamu tidak berjodoh dengan saya dan kamu tidak tahu saya pernah menginginkanmu. Ini serius. Saya sedang tidak main-main. Maaf, maksud saya, saya sedang menggombal. Ini gombal. Jangan dipercaya.

Maaf ini bukan tentang kamu. Kamu yang di sebelahnya. Bukan, bukan, yang matanya dua itu. Sebelahnya lagi. Nah tepat di belakangmu. Ya, kamu yang kakinya dua. Bukan, bukan, yang satu lagi. Nah itu, saya memang sedang menggombal.

05 Oktober 2011

Resep

Saya heran. Sudah saya katakan berkali-kali, berbelas kali, berpuluh kali, sampai nanti beratus atau beribu kali, SAYA BUKAN PENULIS. Jangan bertanya cara menulis pada saya. Kamu bisa belajar dari saya, tapi saya tak sanggup mengajarmu karena saya memang bukan penulis.

Baiklah, saya akan bercerita sesuai pengalaman saja. Setelah ini tugasmu sendiri belajar dari cerita saya.

Udah, nggak usah kebanyakan ba-bi-bu. Menulis itu sama persis dengan berbicara. Kamu menyampaikan apa yang ingin kamu sampaikan. Jangan dibuat-buat. Biarkan tanganmu mengikuti setiap alirannya. Jangan melawan arus. Tuangkan saja apa yang aa di dalam dirimu. Tidak harus 800 atau 1000 kata. Jangan dibatasi. Kalau harus 2 atau 3 kalimat, ya tuliskan saja sebanyak itu. Lakukan terus seperti itu. Simpel kan?

Baca hasilnya atau tulisanmu tadi. Baca lagi. Baca dan pelajari apa yang kamu tulis sendiri. Kalau kamu menemukan kekurangan di sana-sini itu wajar. Misalnya, "Ah ini belum seperti Kahlil Gibran". Satu solusi dari saya, bacalah karya Kahlil Gibran sebanyak mungkin. Baca tulisan-tulisan yang kamu idolakan atau paling tidak tulisan yang menginspirasimu. Baca, baca, dan baca lagi sampai kamu merasakan emosi tulisan itu. Ulangi, ulangi, dan ulangi. Tapi jangan berhenti menulis. Tuliskan saja di kertas folio atau media apapun yang kamu pilih. Usahakan jangan dibuang. Karena kamu bisa mempelajari tulisanmu sendiri kelak. Memang begitu prosesnya. Jangan menargetkan membuat tulisan yang bagus dalam satu atau dua kali menulis. Coba baca artikel saya; Trial And Error.

Ada lagi orang yang bertanya pada saya, "Cara menulis agar dimuat di koran". Biar saya tegaskan, tulisan saya yang terbit di media cetak hanya 3 judul. Tiga! Mestinya dia sadar bahwa dia salah alamat.

Satu saja yang akan saya berikan, sekaligus agar kamu tahu. TULISKAN DENGAN EMOSI. Kalau sedih, tuliskan dengan sedih. Tuliskan kemarahan dengan marah. Sudah, lakukan saja itu. Ini hanya proses. Kamu akan menemukan caramu sendiri.

04 Oktober 2011

Be Better

Kali ini saya akan membeberkan pandangan saya. Tadinya ingin saya urai menjadi beberapa judul. Kira-kira tiga. Emang tiga! Tapi saya pikir ketiganya masih relevan dijadikan satu judul yang lebih padat. Tentang Manajemen Mutu, Be Better, dan Progresif.

Banyak orang ingin menjadi yang terbaik (best), menolak menjadi yang lebih baik (better). Apakah itu salah? Tidak. Malah sepenuhnya benar. Kepercayaan seseorang harus selalu benar bagi orang yang punya kepercayaan itu.

Menolak menjadi yang lebih baik. Menolak menjadi lebih baik. Orang ini tidak mau berdiri di podium dua. Harus di podium satu. Kurang lebih seperti itu. Sejak awal prinsipnya adalah bekerja keras untuk menjadi yang terbaik. Kalau semua orang menginginkan yang terbaik, masalahnya adalah podium satu hanya ada satu. Lagipula kemampuan setiap orang berbeda-beda. Si A ingin menjadi yang terbaik dengan kemampuan 350. Padahal pesaingnya adalah Si B dengan kemampuan 450. Celaka! Kalau begini, jadi banyak orang memaksakan diri. Ambisius.

Ada solusi lain. Seperti konsep manajemen mutu. Yaitu menjadi lebih baik. Dengan prinsip ini kita bisa lebih realistis. Coba saya gambarkan dalam cerita.

Sebelumnya maaf, saya tidak bermaksud membelokkan pola pikirmu. Saya hanya berusaha memberi solusi positif untukmu.

Dalam kelas ada 10 mahasiswa. Dengan prinsip Be The Best, kita harus menjadi yang nomor 1. Nomor wahid. Numero uno. Yang top markotop lah. IP harus yang tertinggi. Cum-laude kalau perlu. Kembali ke persoalan di atas, kemampuan orang berbeda-beda. Jatuhnya jadi ambisius.

Berbeda dengan Be Better. Kita tak perlu punya IP tertinggi. Tak harus nomor satu. Prinsipnya sederhana, kalau IP semester 1 kita 3.00, paling tidak IP kita di semester 2 harus 3.01. Kalau sekedar The Best, semester 1 dengan IP 3.90, semester 2 dengan IP 3.80 pun masih bisa menjadi The Best. Karena peringkat 2 mempunyai IP 3.40 misalnya. Dengan prinsip Be Better, keadaan ini dikatakan GAGAL.

Contoh lain, kasus keterlambatan masuk kelas. Kelas dimulai pukul 7. Dengan Be The Best kita harus berangkat pukul 6 karena tak mau orang lain datang lebih awal. Meskipun ternyata orang-orang lain selalu datang paling pagi pukul 7.30. Besoknya kita datang pukul 7.15 dan masih menjadi The Best. Be The Best dan terlambat. Bukankah menyedihkan.

Coba diubah dengan konsep Be Better. Kelas dimulai pukul 7. Kita tidak berambisi menjadi yang paling pagi, tapi malah terlambat. Kita masuk pukl 7.30. Dengan Be Better, besok pukul 7.29 harus sudah ada di dalam kelas. Besoknya lagi pukul 7.28 harus sudah datang. Terus saja seperti itu. Dengan begitu, 30 hari kemudian kita tak pernah terlambat lagi.

Cerita di atas hanya gambaran. Seperti yang saya katakan pada postingan sebelumnya, hidup ini proses, penuh trial and error. Kalau tak ada progres, artinya kita gagal. Progres.

Kita belajar, bukan untuk menjadi yang terbaik. Belajar adalah untuk menjadi lebih baik. Seribu tahun lalu kita tak tahu cara menerbangkan besi ke angkasa. Hari ini, bahkan kita bisa duduk serta di atasnya dan mengangkut puluhan orang menyeberangi lautan dalam sekejap. Dengan demikian kita telah menjadi lebih baik.

02 Oktober 2011

Trial And Error

Banyak yang meminta saya, "Cep, ajarin tes kerja dong!" Dan semacam itulah.

Barangkali kamu juga masih ingat dulu tidak banyak orang mau menerima keputusan saya. Waktu itu saya memutuskan untuk menggeser kepribadian saya yang lama menjadi yang baru. Sebenarnya itu bukan baru. Hanya kepribadian lain yang tidak saya gunakan sebagai identitas. Saya berusaha keras menjadikan kepribadian itu identitas baru saya. Dan hasilnya penolakan di sana-sini. Ada yang menganggap "Freak", "Alay", "Lebay", "Salah Gaul", dan sebagainya. Yang jelas komentar-komentar pedas yang cukup membuat hati siapa saja mendidih. Tapi beruntung, saya masih kuat berusaha.

Sekarang, lihatlah sekarang! Mereka datang menggali pelajaran. Akhirnya mereka sadar, dulu itu memang cara saya belajar. Lalu apakah saya berhasil? Dalam beberapa hal iya. Merekapun harus mengakui itu. Mereka memang mengakui. Kalau tidak, buat apa mereka datang. Mereka melihat saya berhasil melewati banyak tes kerja. Paling tidak, 2 perusahaan yang saya lamar telah bersedia menerima saya. Setelah melalui rangkaian tes yang cukup panjang tentu saja. Karena tidak bisa begitu saja lolos tes kerja dengan "asal ikut". Ada banyak kuncinya.

Hidup ini proses. Proses menjadi sempurna. Kabar buruknya, kesempurnaan itu tidak ada. Makhluk manapun takkan pernah sempurna. Ngeh? Kamu, saya, mereka, semuanya hidup. Artinya kita semua sedang berproses. Proses menjadi sempurna. Tapi kita takkan pernah menjadi sempurna. Will never.

Tapi mengapa kita memproses sesuatu yang tidak ada ujungnya?

Pertanyaan yang cerdas! Kita berproses sejauh apapun takkan pernah menemui kesempurnaan. Tapi selama kita hidup, kita akan berproses. Jadi, ada 2 kesimpulan. Pertama, proses itu keniscayaan. Artinya, mau tak mau kita tetap akan berproses dengan sendirinya. Suka tidak suka. Kedua, proses bukan mengantarkan kita pada kesempurnaan meski proses itu untuk menjadi sempurna. Ambiguitas yang menyeramkan. Kita mengejar kesempurnaan sekaligus tahu bahwa pengejaran ini tak berujung. Nah, itu dia. Memang kita berproses untuk tak ada ujung.

Siapa tak tahu Trial And Error. Itulah. Hidup ini trial and error. Percobaan, gagal, percobaan, gagal, dan seterusnya. Hidup ini bukan Doing And Ending.

Sekarang coba kita pertemukan pada satu kesimpulan segaris. Kita hidup ini sedang berproses. Kita berproses untuk menjadi sempurna. Tapi kesempurnaan itu tidak ada. Jadi kita hidup selamanya adalah berproses. Trial and error. Setiap Trial akan bertemu Error. Setiap Error harus kembali Trial. Jadi polanya: Trial-Error-Trial-Error- dan terus seperti itu.

Sekarang saya tanya, apakah kamu telah berproses dengan baik? Jangan tanyakan saya cara tes kerja. Saya hanya melakukan apa yang saya dapat dari Trial And Error kehidupan saya.

01 Oktober 2011

Hilang

Saya sudah berjanji padamu untuk menulis hasil-hasil renungan saya. Tapi kalau kamu benar-benar ingat, sebenarnya waktu itu saya tidak berjanji. Saya akan menulis kalau ada kesempatan. Sempat waktu, sempat ingat, dan sempat-sempat yang lain. Bukan ikan sempat!

Saking banyaknya bahan yang ingin saya muntahkan, saya sampai menulis tema-tema renungan di draft SMS. Alasannya sederhana, persoalan klasik dan kodrati manusia. Lupa. Hari ini merenungi A, sampai besok, sampai minggu depan. Setelah itu B, C, sampai ZZZ... . Kalau tidak ditulis temanya, yang A nanti hilang entah ke mana. Tapi cilaka! Draft-draft SMS tadi terhapus. Namanya terhapus ya tidak sengaja. Ah, hilang semua. Hanya ingat beberapa, sayup-sayup.

Ya sudah, maaf. Sekarang yang masih mondar-mandir di kepala saja. Siapa tahu renungan lama yang terhapus nanti kembali menyapa.

30 September 2011

Bukan Lumba-lumba

Rasa-rasanya saya semakin benci pada kisah-kisah orang sukses. Maaf, tepatnya pada orang-orang yang mengagung-agungkan mereka. Orang-orang itu terjebak dalam delusi hebat. Saya muak.

"... kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan."
-SOE HOK GIE

Kutipan yang kurang sedap bertengger di postingan ini sebenarnya. Tapi kalau penasaran kenapa saya tempel di sana, silakan cari sendiri kausa logisnya.

Banyak orang yang saya temui tidak belajar dari riwayat orang sukses. Mereka hanya menjadikan itu semua sebagai bahan fantasi. Menyelami angan-angan sampai lupa diri. Mereka berharap menemukan mutiara di dasar sana. Padahal semakin dalam menyelam, semakin tak terlihat dasarnya, semakin semu pula kesemuanya. Dan yang pasti semakin tipis oksigen yang dibawa. Kalau sudah begitu mau tak mau harus kembali ke permukaan. Atau satu pilihan lagi yaitu mati di dalam lautan fantasi itu sebelum menemukan mutiara. Tinggal pilih.

Buku-buku yang berisi kisah orang sukses itu dibuat supaya menginspirasi. Bukan untuk diselami. Bob Sadino? Siapa yang tidak kenal kakek yang satu ini. Bahkan Om Bob pun hanya memberikan satu resep untuk menjadi sukses.

Oke, saya ceritakan. Saya pernah mengikuti seminar yang pembicaranya Om Bob. Kebetulan waktu itu diadakan di kampus saya. Jadi tidak repot kalau hanya duduk mendengarkan saja. Karena saya memang tidak mau repot menghadiri acara semacam ini. Barangkali saya supaya lebih tepat, saya ganti redaksinya menjadi Talkshow saja. Dalam talkshow ini seorang teman bertanya pada Om Bob yang intinya kira-kira begini, "Bagaimana untuk memulai supaya sukses?" Jawaban Om Bob sederhana. Teman tadi diinstruksikan untuk berdiri menghadap tempat duduknya. Kemudian Om Bob berkata, "Langkahkan kaki! Lagi, terus, udah!" Teman saya melangkah sampai di tempat duduknya.

Sederhana kan? Yang kita butuhkan untuk menjadi orang sukses adalah "mulai melangkah dan melangkah". Sengaja saya kutipkan dari Om Bob. Karena saya tahu kamupun pasti mengidolakan kakek nyentrik ini. Mereka pasti mengidolakan juga. Jelas, bahkan resep dari Om Bob pun hanya "melangkah". Bukan menyelam.

Kurang puas dengan satu itu? Tahu Ippho Santosa? Kalau kamu penggemar kisah motivasi mestinya tahu. Dan biar saya simpulkan satu resep dari Bung Ippho. "ACTION". Sudah jelas? ACTION!

Berhentilah menyelam. Kamu bukan lumba-lumba.

18 September 2011

Merenung

Beda ladang beda belalang. Ah, bukan, bukan. Maksud saya, beda dulu beda sekarang. Tapi pepatah mana yang tepat? Sayang saya bukan ahli ilmu perpepatahan. Mestinya dulu saya ambil jurusan Pepatologi. Ha?

Dulu saya suka terburu-buru menulis hasil renungan yang belum matang. Ibaratnya orang bangun tidur kebelet boker. Kalau sekarang harus mengendap dulu berhari-hari, berminggu-minggu, malah berbulan-bulan. Alon asal kelakon. Begitu kata Pak Dalang dari Rembang. Saya sempat mendengarkan pentas Wayang Kulitnya yang disiarkan on-air di radio beberapa waktu lalu. Katanya, alon bukan berarti lamban. Alon tegese dipikir ati-ati. Pelan-pelan berpikir, hati-hati. Ojo grusa-grusu. Pepatah bijak selalu bisa ditarik kesimpulan positif.

Menulis bukan hobi saya. Bukan kebutuhan, bukan rutinitas, juga bukan pekerjaan. Tidak harus ketika waktu luang, saat kuliahpun bisa menjadi moment terbaik. Tentu saja bukan tulisan yang berhubungan dengan mata kuliah. Ada dorongan tiba-tiba yang entah dari mana datangnya. Dorongan itu yang kemudian memaksa tangan saya meraih pena dan memperkosa kertas sejadi-jadinya. Selalu terasa menyenangkan. Tapi lagi-lagi saya gagal mendefinisikan dorongan misterius itu.

Apa? Itu namanya hobi? Ya, itu sih terserah sampeyan.

Kembali ke atas. Sekarang saya lebih suka mengendapkan hasil renungan berlama-lama. Biasanya renungan tadi terbawa kemana-mana. Ke kelas, kantin, ranjang, bahkan jamban. Renungan itu membuat segala macam ganda (bau), rupa (warna), rasa (rasa) menjadi netral total. Bahkan mungkin saya pernah lupa beda bau jeruk purut dengan bau kentut. Pokoknya netral. Total.

Ngomong-ngomong soal pengendapan-renungan, diperpanjang pun rasanya belum juga matang. Masih ada juga topik yang buru-buru minta terbit. Tapi jangan salah, ada juga topik yang masih dalam masa inkubasi selama berbulan-bulan. Sampai sekarang masih saya kandung. Entah kapan jabang bayi ini mau mbrojol. Lho, iya kan, ada yang tidak buru-buru ikut demonstrasi. Nanti, insyaallah, saya muntahkan semuanya.

Merenung Sampai Mati. Masih enak didengar. Tapi bentar, siapa yang ngucap? Itu kan judul blog Prie GS. Cuma ditulis gitu aja buat header. Kalau nggak ada yang ngucap, mana mungkin kedengeran? Percayalah, saya mendengarnya. Namanya juga renungan. Merenung.

10 September 2011

Think of Thing

Wong akeh ki macem-macem. Orang banyak itu macam-macam. Ada yang macam saya, ada yang macam kamu, ada yang macam dia, pokoknya macam-macam.

Kamu percaya ada orang yang selalu melihat hal-hal biasa dengan kacamata positif? Semua hal bernilai positif baginya. Positive thinking, atau barangkali positive feeling seperti yang dikatakan Erbe Sentanu. Saya percaya. Seorang sahabat saya salah satu tersangkanya.

Menurutmu dia berbohong? Mungkin awalnya saya cuma tahu dari lisannya (bi lisan), tapi akhirnya saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa yang diucap lisannya itu dituntun feelingnya (bi kalbi). Tidak mudah menaksir hati seseorang. Menaksir? Mengestimasi. Saya sudah sampai di titik itu. I believe it. Kalau kamu tidak percaya padanya, setidaknya kamu harus percaya ada orang seperti itu. Namanya juga wong akeh.

Saya pikir fine-fine saja berpikir sepositif mungkin. Malah kita harus selalu berpikir positif. Tapi yang tidak boleh dilupakan adalah memahami kemungkinan negatifnya. Sederhananya begini, semua hal akan selalu mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus. Sudah menjadi kodratnya makhluk. Apa itu makhluk? Makhluk itu lawan kata dari Khalik. Khalik itu pencipta, makhluk itu yang diciptakan. Manusia, binatang, tumbuhan, air, batu, udara, api, semua selain Khalik itu makhluk. Khalik itu Tuhan. Berarti selain Tuhan, tergolong makhluk. Jadi semua makhluk harus punya dua nilai sekaligus. Positif dan negatif. Selalu begitu. Makanya mengkoreksi dan mengkritik itu mudah. Asal jeli menelanjangi kenegatifannya saja bisa menjadi kritik yang super-pedas.

Dari dua nilai tadi, akan muncul 3 kemungkinan kesimpulan. Pertama positif, kedua negatif, ketiga netral.

Kesimpulan positif akan muncul jika kita lebih banyak menerima nilai positif daripada negatifnya. Misalnya, Boy hari ini bolos kuliah. Diam-diam kita mencoba menyimpulkan apakah yang dilakukan Boy itu benar atau salah, positif atau negatif. Hasilnya kita menemukan 11 alasan dan dugaan. Enam di antaranya adalah dugaan positif, sisanya negatif. Jadi rasio positif dibanding negatifnya adalah 6:5. Tapi bukan berarti kesimpulan kita tentang Boy pasti positif. Depend, tergantung lebih banyak mana nilai yang kita terima. Biarpun ada 17 dugaan negatif dan hanya ada 1 dugaan positif, nilainya akan menjadi positif kalau kita lebih menerima sisi positifnya. Begitu sebaliknya.

Selanjutnya netral. Seperti yang kamu duga, kita menerima dugaan positif sama banyak dengan dugaan negatifnya. Atau bisa juga terjadi saat kita sama sekali menolak semua dugaan. Dengan kata lain kita sama sekali tidak peduli. Kesimpulan netral.

Sekarang sudah semakin jelas. Karena segala hal mempunyai dua nilai (positif & negatif), ada baiknya kita menemukan keduanya sebelum menyimpulkan. Berpikir positif bukan berarti hanya tahu nilai positifnya saja. Temukan juga nilai-nilai negatifnya. Soal kesimpulan yang kita ambil nanti positif atau negatif, itu urusan belakang. Tapi sebaiknya kesimpulan positif atau positif thinking.

Jadi, tetap berpikir positif, tapi pahami juga kemungkinan negatifnya. Sekedar memahami.

09 September 2011

Pacaran

Menurut ente bagusnya ngomongin apa dulu nih? Politik? Ah ogah, it's endless drama yang nggak kalah lebay dari sinetron favorit emak-emak. Jadi ngomongin politik itu meaningless? Worthless. Penting, tapi nggak di sini.

Let's go to the topic. What topic? Pacar. Pacar? Pacaran.

Sebelumnya maaf nih kalau yang punya blog sebelah juga sempet nyinggung topik ini. Paling enggak ada twittnya yang nangkring di Time Line beberapa waktu lalu, kira-kira tentang ini juga. Tapi soalan ini memang sudah lama ngendap di saya.

Dulu saya termasuk orang yang tidak betah berlama-lama single. Kalau menurut orang yang mengaku "anak gaul" sih namanya jomblo. Saya tidak betah jomblo. Dulu memang iya. Jadilah hunting pacar, berburu, gebet sana-sini, sampai orang nyangka saya multiple. Multiple? Ya, tapi biar apa orang bilang. Waktu itu saya masih abu-abu. Di utan? Itu monyet abu-abu, kampret!

Seperti kamu juga, saya pernah berseragam putih abu-abu. Itu lho yang di dada ada badge tulisannya OSIS. Osis sapi, osis ayam, osisnya Gonzales, osisnya Sm*sh, osisny Sinta & Jojo, osis... Itu SOSIS! Haha kok jadi banyak bercanda gini ya.

Singkat cerita, dulu saya memang kerap bongkar pasang personel. Biar ngetop kayak Anang. Lah, segala Anang dibawa-bawa. Maaf, maaf. Maksudnya, saya sering ganti pacar. Tiap putus hubungan, buru-buru cari pacar baru. Entah untuk apa.

Belakangan saya bertanya pada diri saya sendiri. Sebenarnya untuk apa semua itu? Seberapa urgen pacaran itu sampai saya rela ngubek sekolahan buat dapat pacar. Apakah hidup ini selalu melankolik. Apa tanpa pacar saya tidak bisa have fun. Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain yang membuat saya mencari dalil-dalil pembenaran yang dapat diterima. Ajaibnya semua ditolak. Bukan berarti pacaran itu sama sekali tidak benar, atau pacaran itu useless. Saya banyak belajar dari pacaran. Tapi ada tapinya.

Sekarang saya tanya, untuk apa pacaran itu? Beberapa orang pernah mengatakan pada saya bahwa pacaran untuk penjajakan. Jadi, apakah sebagai teman kita tidak boleh menjajaki? Saya yakin teman yang baik akan selalu mengizinkan kita untuk mengenalnya lebih. Tidak perlu menjadi pacar. Kalau dia menolak, artinya dia belum terlalu baik. Sekedar mengenal orang tua atau keluarga seharusnya sah-sah saja.

Sebagian teman menganggap sebelum memasuki hubungan yang lebih serius, kita harus pacaran. Saya menolak pendapat itu. Pernikahan tidak harus selalu diawali pacaran. Ada juga kan orang yang tidak pernah pacaran tapi punya suami/isteri. Dan mereka tidak harus melakukan cara islam untuk menikah tanpa pacaran. Dari sahabat saja bisa jadi suami/isteri kok. Tanpa pacaran? Tanpa pacaran.

Kualitas pernikahan tidak dapat diukur dari kualitas pacarannya. Kuantitas apalagi. Kalaupun memaksa mengukur, dari kualitas pertemanannya saja bisa. Tidak percaya? Hal apa yang tidak bisa dilakukan teman seperti apa yang dilakukan pacar? Teman bisa memberikan perhatian seperti yang diberikan pacar. Apa teman dilarang care? Teman juga boleh memanjakan teman seperti pacar. Teman bisa juga menemani jalan-jalan. Teman bisa menjadi tempat cerita. Teman boleh memberi masukan. Yang jelas, apa yang dilakukan pacar, semua bisa dilakukan teman. Kemudian apa? Chemistry? Teman juga boleh saja membangun chemistry dengan temannya. Tidak melulu pacar. Karena sebenarnya pacar itu juga teman.

Apa? Teman tidak berhak melarang-larang atau mengatur? Jadi pacar berhak? Mudah, berikan saja hak yang sama untuk teman kita. Kalau cuma untuk mengistimewakan teman kan gampang. Lagipula hak itu kan cuma karangan kita saja. Intinya larangan dan aturan itu untuk kebaikan kita. A friend can do it.

Hubungan tanpa status? HTS? Kan sudah jelas statusnya teman. HTS cuma istilah. Istilah itu juga tidak jelas asal-usulnya.

Sudahlah, semua dalil pembenaran buat pacaran itu klise. Bukan berarti saya menganggap pacaran itu salah. Saya hanya sedang menunggu seseorang memberikan alasan yang tepat. I've been waiting for.. Meskipun hampir bisa dipastikan itu akan selalu tidak tepat bagi saya. Gimme one good reason!

05 September 2011

Blogging

Apa kabar?

Entah itu pertanyaan untuk siapa. Sekedar menyapa. Cukup lama blog ini sepi. Warung Kopi Kothok, manifestasi renungan saya dari waktu ke waktu. Saksi transformasi anak manusia. Pergulatan yang tidak banyak tampak. Itulah mengapa dokumentasi menjadi penting. Kita bisa melacak sejarah.

Saya belum ingin berbicara hal-hal lain dulu. Anggap saja ini sebagai pemanasan. Pertama, untuk membangkitkan rindu. Kedua, menyesuaikan diri. Ketiga, menata mindset kembali. Keempat, menyatukan kembali Alter-Ego yang sama sekali berbeda wujudnya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Tugas Akhir (TA). Itu alasan yang dulu saya berikan pada diri saya sendiri mengapa blog ini harus sepi. Ya, biarkan sepi barang sebentar. TA kan syarat kelulusan Diploma III di Polines, gila aja sampai nggak lulus gara-gara keseringan ngeblog. Saya sibuk. Sebenarnya tidak terlalu sibuk. Benar-benar luang malah. Cuma 3 minggu terakhir di bulan Agustus saja yang menyita pikiran. Terserah. Dapat diterima.

Microblog dan social network. Ah maaf, maksud saya social network dan microblog. Twitter dan Facebook sajalah. Keduanya bukan hal-hal yang saya yakini akan menggeser rutinitas blogging saya. Tapi nyatanya iya. Baru saya sadar belakangan. Facebook lebih menyenangkan digunakan untuk berinteraksi dengan detail tertentu. Semua orang tahu. Twitter? Twitter menawarkan gaya blogging yang lebih sederhana dari blogsite atau webblog. Barangkali itulah mengapa disebut microblog. Mungkin. Saya hanya menyimpulkan.

Belakangan saya melakukan uji coba. Bagaimana kalau hasil renungan yang seliweran di otak saya tuangkan ke Twitter? Mengejutkan. Yang biasanya hanya menjadi satu judul posting, di twitter bisa saya urai menjadi belasan bahkan puluhan tweet. Dan biasanya lebih mudah dicerna. Kosa kata mulai saya ubah sesederhana mungkin.

Jadi Twitter lebih unggul? Tidak juga. Blog mempunyai lebih banyak keunggulan. Lebih lagi Blogspot. Artikel blog lebih mudah dibuka-buka lagi dikemudian hari. Lebih rapi. Soal maintenance memang sedikit lebih repot. Kesempatan berinteraksi juga lebih kecil. Tapi soal frontend blog jauh lebih menarik.

Kenapa "lebih lagi Blogspot"? Karena yang punya blogspot adalah perusahaan raksasa Google. Google lebih populer dengan Search Engine (SE)-nya. Orang-orang di seluruh belahan bumi lebih banyak menggunakan Google daripada SE yang lain. Tanpa bertanya lagi kita bisa menyimpulkan Blogspot itu integrated dengan SE-Google. Kesimpulan sederhananya, blog yang dibuat dengan Blogspot mudah ditemukan di SE terutama Google. Ya, tanpa registrasi sekalipun.

Lah, ngomong apa jadi apa ini tadi? Bodo amat, namanya juga pemanasan. Berikutnya saya akan menuliskan hasil renungan saya di Cepu. Saya memang mencari ilmu sampai ke Semarang, mencari pengalaman sampai ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, bahkan Salatiga yang orang bilang "Persinggahan Intelektual". Tapi Cepu lebih banyak mengilhami saya daripada tempat lain. Cepu adalah tempat perenungan yang paling ideal bagi saya.

Saya telah banyak mengalamai kejadian-kejadian penting selama rehat blogging. Kejadian-kejadian yang kemudian membuat saya belajar lebih banyak lagi. Lain waktu barangkali saya ceritakan. Siapa tahu kita bisa sama-sama belajar. Happy blogging!

04 Agustus 2011

Alter Ego

Ente pernah jatuh cinta? Manusiawi. Maksudnya? Jatuh cinta kan emang kodratnya manusia. Nah, ane juga manusia. Artinya ente pernah ngrasain kan? Gitu juga boleh. Berapa kali? Jatuh cinta sama lawan jenis kan ini? Iya lah. Selain keluarga atau temen? Udah lah nggak usah belaga bego. Berapa ya, banyak. Semuanya mulus? Apanya dulu? Ya jalannya. Kebetulan nggak, kayak yang lain juga. Nah, sekarang ane lagi ngerasain yang nggak mulus nih. Jalannya yang emang nggak mulus atau ente sendiri yang mempersulit? Kayaknya emang jalannya yang kurang mulus. Tapi subjektif sih. Nah biar objektif, ane aja yang nilai. Gini Man, ane lagi berusaha deketin cewek. Doi tipe cewek easy going gitu. Jadinya gampang deket sama ane juga. Terus? Tapi masalahnya, kayaknya doi juga lagi digebet cowok lain. Ente tahu pasti kalau doi digebet cowok lain? Belum sih, hipotesis. Nah kan. Bentar, bentar, ente dulu deket sama cewek kan? Yang barusan ente ceritain cewek itu bukan? Bukan! Cewek yang dulu itu kan udah ane eliminasi. Nggak mau ane sama cewek yang nggak komit gitu. Komitmen? Iya. Temenan sih masih, tapi temen aja. Well, balik ke cewek yang baru! Oke, pokoknya doi tipe wanita idaman ane banget. Ini cewek atau wanita sih? Apa ente kata aja lah. Wah merajuk, next! Sebenernya ane nggak suka sama doi. Awalnya. Waktu itu ane lagi kosong. Emang kalau kosong mesti diisi? Enggak juga, kan kebetulan ada yang bisa ngisi. Isinya bisa sengaja ngisi atau enggak. Kasus ente termasuk yang nggak sengaja? Tepat! Ane kosong setelah kecewa sama cewek yang nggak komit tadi. Lah, doi pelarian ente dong? Enggak gitu juga. Biarin ane selesai ngomong dulu ah! Ya, monggo. Kan kalau orang gede mikirnya panjang. Ane juga berusaha mikir panjang. Singkat cerita, posisi lagi kecewa sama cewek lama tadi, ane jadi mikir, cewek yang gimana ya yang bagus. Yang masih bersegel mungkin. Ah bercanda aja ente. Terus ente ketemu doi yang baru itu? Gitu juga bisa. Bukan ketemu sih, ane ketemunya udah lama. Lama banget. Cuma kayak yang ane bilang tadi, emang belum ada rasa. Iya, maksud ane, akhirnya ente ketemu cewek yang ente mau kan? Cewek itu doi yang baru tadi kan? Gitu kan? Begitulah kira-kira. Waktu itu ane belum ada rasa, tapi ane punya target mesti sama cewek yang kayak doi. Maunya yang model begitu. Semacam referensi? Kurang lebih. Makin ke belakang kok ane malah kesengsem sama doi. Ane kan bingung mau gimana. Yaudah ane putusin buat coba maju aja. Maju deketin doi? Iya. Belakangan muncul hipotesis tadi? Nah, itu lah. Terus masalahnya di mana? Ya cowok lain itu. Ente pria bukan? Iya dong, mau lihat? Ah nggak, makasih. Percaya? Belum. Kalau ente pria, ente usaha dong! Ikhtiar! Ikhtiar? Iya, usaha! Belum ada janur kuning melengkung kan? Belum lah. Nah artinya ente masih boleh maju. Maju deketin? Maju tak gentar! Soal gebetan doi gimana? Itu kan hipotesis. Tapi kan ada baiknya sedia payung sebelum hujan. Oke, anggep aja hipotesis ente terbukti. So, what? *speechless* Ente nggak ngerti hukum klasik percintaan manusia? Apaan? Pria berhak memilih, wanita berhak menolak. Sekarang kan jamannya emansipasi. Whatever lah. Iya, lanjut! Jadi, ente berhak milih doi, mau milih yang lain juga itu hak ente. Tapi inget, doi berhak menolak. Bukan cuma nolak ente, doi juga berhak nolak cowok lain. Jadi kalau doi punya 2 pilihan, kan ada 3 kemungkinan. Kalau dipaksa ya jadi 4. Empat? Pertama doi nolak ente dan nerima cowok lain, kedua doi nerima ente dan nolak cowok lain, ketiga doi nolak keduanya, keempat doi nerima keduanya. Kalau yang keempat ini kemungkinannya paling kecil. Jadi? Udah jelas dong, ada kemungkinan ke dua. Doi bisa nerima ente dan nolak cowok lain. Tapi kan nggak gampang. Ane kasih tahu Man, semakin mudah ente dapet hasil, semakin susah ente bersyukur. Berasa kurang nikmat. Jadi ya kalau ente nganggep itu nggak gampang, nanti kalau ente udah dapet rasanya bakal nikmat luar biasa. Kesimpulannya, ane mesti maju terus nih? Iya dong, ente ngaku pria. Tapi kayaknya ane udah berusaha, hasilnya nggak seberapa. Berarti usahanya kurang. Enggak kok, lebih malah. Perasaan ente aja itu. Yakin! Kalau gitu ente tawakal aja. Pasrah? Ya, pasrah tapi tetep kudu usaha. Jangan berhenti kalau belum dapet. Atau boleh juga berhenti kalau ngerasa udah nggak mampu. Dioptimalkan dulu! Ane masih mampu. Artinya ente mesti terus berusaha. Baru tawakal. Kalau hasilnya nihil? Nah bagian ini ente harus pakai ilmu ikhlas. Itu kuncinya hidup bahagia. Emang iya? Misalnya gini, ente tahun ini punya target naik jabatan, tapi nggak naik juga. Kalau ente ikhlas, nggak jadi soal. Orang Jawa bilang; narimo ing pandum. Tapi kalau nggak ikhlas, bisa jadi ente stress. Dendam namanya. Penyakit hati itu. Oh, melupakan yang udah lewat? Bukan melupakan, dijadikan pelajaran. Iya ane ngerti, jangan menyesali kegagalan kan? Tambah lagi, jangan takut menghadapi masa depan. Kalau udah gitu, ente bakal bahagia. Secara sederhana begitu. Jadi, jangan takut buat maju, jangan takut gagal. Oke, ane bakal maju buat doi. Ikhtiar, tawakal, ikhlas. Bismillahi tawakaltu alallah, la chawla wa la quwata ila billah. Intinya, pasrahkan saja padaNYA, yang punya kekuatan dan bisa nolong cuma DIA. Setelah ikhtiar lho! Bismillahi tawakaltu alallah, la chawla wa la quwata ila billah.

18 Juli 2011

Latar Belakang

Keikutsertaan Indonesia di dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA) menandai perubahan besar yang siap disongsong pada masa selanjutnya. Dengan demikian Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai Negara yang menganut paham pasar bebas, karena mau tidak mau arus globalisasi akan senantiasa menggerus peradaban milenium kedua ini, ditambah lagi masuknya China di dalam pasar bebas ASEAN yang disepakati dalam ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA).

Hal ini banyak mempengaruhi iklim perdagangan domestik. Pasar nasional memang tetap bergairah, bahkan progresnya cukup menggembirakan. Pasalnya penawaran (supply) pada pasar domestik terus bertambah seiring masuknya produk-produk asing ke dalam negeri. Namun di sisi lain keadaan ini justru mengancam kelangsungan hidup produsen lokal.

Persaingan di dalam negeri tidak lagi dipenuhi oleh produsen domestik. Produk asing dengan kualitas internasional dan harga terjangkau mulai membanjiri pasar nasional. Keadaan ini memaksa produsen domestik memutar otak agar tetap bisa bertahan di tengah gelombang globalisasi yang amat dahsyat.

Salah satu cara merangsang kepercayaan calon konsumen terhadap perusahaan adalah dengan mengoptimalkan saluran promosi. Promosi yang terpercaya dan luas cakupannya dapat diwujudkan dalam bentuk official website atau situs web resmi perusahaan. Selain meningkatkan kredibilitas perusahaan, optimalisasi promosi melalui official website juga dapat menjangkau pasar internasional, sekaligus menjawab tantangan era globalisasi.

Promosi melalui official website digolongkan sebagai bentuk publikasi (publisitas), karena pada promosi ini tidak dikenakan biaya secara langsung. Tujuan publikasi ini supaya biaya promosi tidak membengkak, tetapi hasil jangkauannya luas.

19 Juni 2011

Takdir

Kamu percaya takdir? Dalam Islam ada dua takdir; yang bisa diubah dan yang tak bisa diubah. Semua pertanyaan kita tentang masa depan akan dijawab takdir-yang dibawa waktu.

Takdir yang bisa diubah itu banyak. Makanya kita diperintah berikhtiar supaya jawaban yang kita dapat sesuai dengan apa yang kita harap. Kalau belum sesuai harapan, artinya ikhtiar kita belum optimal. Tak ada pengecualian. Titik.

Ikhtiar optimal tidak harus maksimal. Bisa jadi malah minimalis. Asal ikhtiar kita sudah bertemu garisnya, sukses!

Sedang takdir yang satu lagi benar-benar tidak bisa diubah. Di antaranya; hidup, mati, jodoh, dst. Tapi tetap kita wajib berikhtiar. Kalau takdirnya mati ya supaya khusnul khotimah-bukan ditunda matinya. Yang digariskan adalah kematiannya, bukan catatan yang dibawanya ketika mati. Kita berhak menentukan catatan apa yang akan kita bawa setelah itu-sebelum terlambat, maut menjemput.

Semua hal di dunia akhirnya akan bertemu takdir. Entah takdir membawanya ke mana. Entah takdir yang mana saja. Yang fleksibel atau yang paten. Biasanya takdir-takdir fleksibel akan bermuara pada takdir paten. Manusia boleh saja memenangkan takdir-takdir fleksibel, tapi tak akan dapat menawar takdir paten barang satu kata.

Kamu boleh saja mendapatkan perawatan kesehatan dari dokter nomor wahid di seantero jagad. Kamu mungkin saja memiliki jaminan gizi, vitamin, nutrisi, oksigen, dan tetek bengek lain yang terbaik. Kamu manusia dengan kawalan ketat bodyguard kekar dan pasukan anti teror sepanjang jalan. Kamu telah berikhtiar dan mungkin memenangkan takdir fleksibel. Tapi jangan bilang "nanti" pada malaikat pencabut nyawa. Orang paling sehat, aman dan terjamin seperti kamu pun akan gagal negosiasi maut. Itu salah satu takdir paten.

Berikhtiar saja dengan optimal, lalu bertawakal. Takdir paten sendirinya akan memperterang. Tak perlu banyak mempertanyakan. Saya harap kamu mengerti.

14 Juni 2011

Cemburu

Sudahlah, jangan bertanya terus. Saya tidak semengerti yang kalian kira. Soal pengalaman saya pikir kita sama. Kurang lebih 20 tahun bertemu orang-orang yang berbeda. Menghirup udara yang sama. Memijak tanah yang sama. Dipayungi langit yang sama. Bumi kita sama. Negara kita sama. Kalaupun memang berbeda mungkin cuma satu dua tahun. Atau paling pol tiga empat tahun. Malah beda kita cuma dalam hitungan bulan dan hari, bahkan jam. Itupun waktu saya yang lebih singkat. Jadi berhentilah bertanya!



Baik kalau kalian memaksa. Tapi untuk kali ini saja.

Cemburu? Cemburu itu gejala wajar manusia. Artinya kalau kamu bisa merasakan cemburu, kamu boleh tenang karena kemungkinan kamu manusia. Ditambah beberapa syarat mutlak lain, baru kamu bisa mengantongi KTP. Karena penduduk itu manusia. Kamu bebas menikmati fasilitas-fasilitas khusus manusia. Banyak LSM yang siap membela kalau kamu dihalang-halangi menikmati fasilitas tadi. Fasilitas asasi tentunya.

Jadi jangan khawatir, kamu sedang dicoba sebagai manusia. Kalau ujianmu gagal, … saya tidak mau mengatakan … .

Baik, baik, kalau gagal predikat manusiamu bisa dicopot. Memang menyeramkan. Tapi apa boleh buat. Ini aturannya.

Tenang saja, semua manusia merasakan cemburu yang juga kamu rasakan. Hanya takarannya berbeda-beda. Cemburu itu nikmat. Percayalah, tak ada satu hal pun di dunia yang sia-sia!

Orang bilang, cemburu tandanya cinta. Tepat! Manusia cemburu karena ada cinta. Hidup penuh cinta tanpa cemburu bagaikan sekeranjang jeruk manis tanpa satu buahpun jeruk masam. Lalu seorang teman menyela, “Bukannya bagai sayur tanpa garam?”

Saya lanjutkan, itu pendapat orang lain. Sayur tanpa garam itu hambar. Rasanya bukan tak enak, tapi tak sedap. Dan lidah saya tidak terlatih menikmati rasa hambar, tak sedap. Tak enak juga sih. Saya harap kamu pun demikian.

“Lalu bagamaimana dengan jeruk tadi?”

Cinta itu nikmat. Cinta bukan hambar, tak sedap, apalagi tak enak. Cinta itu manis. Ingatlah betapa manisnya Ibu mengantarmu ke sekolah pertama kali. Betapa manisnya Ibu mendekapmu saat hujan badai di luar sana. Betapa manisnya Ayah membawakan mainan kesukaanmu. Betapa manisnya Ayah terjaga hingga larut menunggumu pulang. Betapa manisnya cinta itu.

Tapi apa jadinya kalau sekeranjang jeruk manis tadi kamu santap tiap hari selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun? Pelan-pelan rasa yang tersisa tinggal manis saja. Kamu akan lupa nikmatnya rasa manis jeruk-jeruk itu. Jadi yang kamu butuhkan hanya satu buah jeruk masam di dalam keranjang supaya kamu lebih menikmati jeruk manismu. Dua boleh, tiga dimaafkan, tapi jangan terlalu banyak!

“Jadi apa hubungan semua ini?”

Ternyata kamu perlu diupgrade. Banyak processor canggih di luar sana. Murah meriah. Obral. Kalau hanya mampu secondhand juga banyak yang jual. Pasar loak pusatnya.

Kesimpulannya, sekeranjang jeruk manis tanpa jeruk masam tetaplah manis. Sampai kiamatpun tetap manis. Tapi kamu akan sulit menghargai manisnya jeruk itu kalau sesekali tak merasakan jeruk yang masam. Kecaplah jeruk masam itu maka kamu akan menyadari betapa jeruk manis itu nikmat luar biasa. Tak ada kertas paling putih kalau tak ada yang lebih hitam. Minimal lebih buram. Mau kertas terputih harus paham bagaimana yang lebih buram. Tidak mungkin mengakui paling putih kalau tak tahu ada yang buram.

“Dipermudah sajalah!”

Cinta itu manis. Cemburu itu masam. Cinta tanpa cemburu itu tetap manis. Tapi cinta dengan cemburu itu terasa lebih manis. Cinta dengan cemburu itu nikmat. Cemburu itu milik tiap manusia. Tiap orang. Kamu, saya, dia, mereka, semua. Jadi kamu normal! Kamu pasti pernah cemburu ketika orangtuamu lebih memperhatikan kakak atau adikmu daripada kamu. Kamu mungkin cemburu saat orangtuamu lebih asik dengan pekerjaannya daripada menanyakan nilai ulanganmu. Cemburu itu manusiawi!

“Tapi yang saya tanyakan cemburu pada lawan jenis –dalam tanda kutip! Itu lho si DOI!”

Ya sama saja. Tetap berlaku seperti itu. Tapi hati-hati jangan jeruk masamnya kelewat banyak! Nanti menyusahakan orang lain, menyusahkan diri sendiri juga. Salah-salah malah over dosis, cilaka Ente!

“O… ya, ya! Kamu kok pinter to?

Bukan saya yang pinter, tapi kamu yang belum paham. Semua orang juga pasti ngerti hal-hal begini. Kebetulan saja kamu bertemu saya. Kebetulan pula saya yang pertama membantumu memahami hal begini. Alhamdulillah.

12 Juni 2011

Berkendara

Saya benci menjadi melankolik. Tapi semakin saya membenci semakin menyiksa pula ketika dia datang. Biarlah, kita tak dapat merasakan nikmatnya keceriaan kalau belum pernah merasakan sendu. Dari melankolik juga blog ini jadi penuh.

Menjalani hidup sudah seperti berkendara di jalan raya saja. Sometimes bertemu persimpangan semrawut tak ada rambu lalu lintas. Tak semua persimpangan seberengsek itu tentu saja. Ada juga-malah banyak- yang penuh dengan rambu. Beruntung kalau melewati jalan seperti ini. Ada peringatan lampu kuning supaya mengurangi kecepatan. Banyak kendaraan-kendaraan lain tak kalah bernafsu ngebut daripada kita. Mereka juga punya kepentingan. Apapun itu. Meski cuma berkepentingan pamer kenekatan.

Saat lampu merah kita wajib berhenti. Ibarat menulis karangan, kita harus segera membubuhkan tanda titik. Mau dilanjutkan dengan kalimat baru atau paragraf baru, itu urusan nanti. Yang penting berhenti dulu. Kalau kita termasuk orang pamer nekat, jangan heran kalau tiba-tiba diseruduk kendaraan-kendaraan lain dari samping kanan kiri. Failed lah sudah. Itu kalau beruntung, kalau tidak ya game over.

Yang serasa nikmat, bebas, dan menyenangkan adalah ketika nyala lampu itu hijau. Bagi orang yang grusa-grusu pasti kendaraannya dipacu sekencang dia bisa. Namun sebagian lagi lebih memilih tetap pelan. Tergantung selera dan pertimbangan.

Saya termasuk orang yang cukup pelan. Tapi kadang juga harus ngebut. Semua pengendara selalu punya alasan untuk pelan atau ngebut. Bukannya pelan untuk mengulur waktu, bukannya takut ini atau itu, tapi usia yang menjadikan saya harus penuh pertimbangan. Dulu saya juga pengebut jalanan. Wajarlah abu-abu. Tapi sekarang lain cerita. Bagaimana kalau tiba-tiba jalan di depan penuh lubang? Bagaimana kalau mendadak ada orang nyeberang? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Semua harus diukur.

Saat ini saya sedang berada di persimpangan. Nyala lampu lalu lintas di depan sedang hijau. Tujuan awal saya lurus ke depan. Tapi lihatlah jalan melintang ke kanan dan ke kiri yang sepertinya teramat bebas untuk dilalui. Entahlah, lampunya di mana-mana. Kalau mendadak banting setir, bahaya mengancam. Kendaraan-kendaraan di belakang siap menghantam. Mungkin saya harus tetap lurus. Nanti kalau waktu membawa saya ke jalan melintang itu, biar saya jalani.

Di depan sana mungkin ada jalan berlubang, berdebu, berair. Mungkin suatau saat nanti saya harus melalui jalan-jalan tikus. Sempit, ramai, padat, berisik. Sama saja seperti jalan protokol.

Atau nanti saya putuskan untuk melewati jalan tol. Berharap lebih nyaman dari jalan konvensional. Ah, itu nanti. Sekarang biar saya jalankan lurus dulu.

Besok kalau saya lihat kamu di pinggir jalan, kamu boleh menumpang. Barangkali tujuan kita sama. Takdir yang akan memperjelas siapa nanti yang berkendara bersama saya sampai mana. Bisa jadi kelak saya yang menumpang orang lain. Kamu juga harus mau memberi tumpangan kalau memang saya butuh tumpangan.

Biarlah waktu yang menegaskan. Sekarang saya harus berkendara dengan tujuan semula. Kita memang harus konsisten. Sudahlah, sudah. Saya harus jalan. Kendaraan di belakang mulai berisik memainkan gas dan menyalakkan klakson. Iya Pak, Bu, Dik, Bro, Gan, Ndes, Dab, Cuk, …, sabar!

03 Juni 2011

Palsu (Cerpen)

Saya protes pada kalian. Tahukah bahwa kamu, kamu, kamu semua membosankan! Tidakkah kalian punya pakaian selain putih, putih, dan putih? Lalu apa yang kalian pamerkan dengan sayap di punggung itu? Semua orang bisa saja mengepak-kepak sesuka hati asal diberi. Kamu yang di pojok, sampai rela berdesak-desakkan di pasar loak berebut rompi bersayap itu. Rompi itu jahitan penipu. Dia menipu embahmu, pacarmu, anak cucumu kelak. Lepaskan! Terjun dari Monas pun kamu pasti modar. Baru jadi icon produk saja...

Belum sampai pria itu menamatkan kalimatnya, seorang berseragam putih dalam barisan memotong.

"Tapi saya juga masuk film, Pak."

"Saya belum selesai!"

"Meski cuma figuran" sahut yang lain.

"Diam!"

"Saya sedikit lebih apes, jadi stuntman," seorang lain lagi ikut berebut pamer.

"Hei kalian!"

"Iya, saya juga stuntman. Harus berkali-kali jatuh dari pohon. Sampai memar semua," barisan paling belakang menimpal.

"Kalian ini sudah goblok, tak tahu aturan! Ini orang tua lagi ngomong!" Pria itu terengah-engah. Tak terbayang olehnya akan menghadapi pasukan bengal ini. Bola matanya hampir keluar dari kantong keriput di atas pipinya yang kempot. Tubuhnya gemetar. Bukan karena gentar. Darahnya sudah mendidih. Kulitnya sebentar lagi pasti melepuh. Nyamuk mendekat beberapa inchi saja bakal gosong. Hangus. Terbakar.

Sial. Bukannya tenang, barisan makin ricuh.

"Apa mau ini pacul nancep di kepala?!" Pria itu mengangkat cangkul tuanya yang penuh karat.

Benar saja, ancamannya berhasil. Sekarang giliran pasukan bersayap yang gemetar. Semua tegap tak bergerak.

AC sudah disetel paling dingin. Tapi tak mampu menahan laju banjir bandang yang sekonyong-konyong menyambar. Hujan datangnya tanpa permisi. Derasnya tak bisa ditawar. Kali ini bendungan harus jebol. Awalnya hanya menerobos dari pori-pori. Mulai melompat dan menggenangi mata. Menyusul gempuran lewat hidung. Brolll...ambrol sudah sekarang membasahi celana dan kaki. Pesing. Tapi tak tercium. Hidung terlanjur penuh air. Tak ada kesempatan udara lewat, sedikitpun. Tegang.

"Gatotkaca yang punya Kutang Antakusuma saja tidak pernah terbang ke istana langit yang kalian ributkan tiap hari. Kalian rebutkan tiap pemilihan. Dia bisa duduk di sana kalau dia mau. Tanpa menyogok, tak perlu punya saudara orang penting, apalagi menjilat. Kalian baru pakai rompi kapas saja kok sudah berani ngakali. Mentang-mentang lulusan luar negeri. Ayo maju kalau mau tak pacul ndasmu!"

Tak satupun pasukan bergerak. Semua bungkam. Ketakutan. Katanya saja intelek, soal nyali sama kampungannya.

Langit menjingga. Bola raksasa yang sedari tadi menggagahi bumi mulai sayu. Cakrawala menyisakan garis tebal namun samar oleh fatamorgana.

Semua tubuh kehabisan keringat. Kehabisan air mata. Kehabisan ingus. Kering.

Pria itu meninggalkan pasukan bersayap. Menjauh. Dengan sigap, gelap menyergap sampai lenyap. Kemudian membanting pintu. Pelan, tapi menggema di dalam ruang.

"Lhadalah... Datang ndak diundang, pulang ndak diusir, kok banting pintu segala. Dasar tua bangka!" Pasukan 1 mulai berani.

"Ah kau ini berani bicara setelah si Tua itu pergi." Pasukan 2 angkat bicara.

"Sampeyan sendiri juga diam tadi."

"Lu berdua same aje. Omdo, omong doang. NATO, No Action Talk Only." Pasukan 3 tak mau kalah.

"Apalah bedanya kalian ni, Ambo amati juga sama sajo." Gerah juga pasukan 4 ternyata.

"Sudahlah, beta ada ide," Pasukan 2 terlihat meyakinkan, "kita minta pendapat ahli saja."

"Tapi saya mau tanya dulu ke receptionist, siapa Tua Bangka tadi."

"Beta ikut!"

"Ambo juga, ada yang lain?"

"Gue deh,"

"Sudahlah, semua ikut saja."

Pasukan berhamburan, mencair, mengalir ke luar ruang. Kali ini pintu dibanting sekencang-kencangnya. Tapi tak bergetar. Pasukan paling belakang sempat berhenti heran. Memandangi pintu kayu jati yang tebalnya hampir 20 sentimeter itu.

"Pintu itu kan kayu solid, Bos." Receptionist menyapa pasukan putih yang menghampirinya terhuyung-huyung.

"Lu, kenape terima tamu bangsat macam tadi?" Pasukan 3 mulai melampiaskan kekesalannya.

"Saya kan hanya menjalankan tugas."

"Apa tugas kau?" Pasukan 2 tak kalah geram.

Namun receptionist tetap tenang. Wajahnya penuh senyum.

"Ya mendata tamu yang datang, mempersilakan masuk, selesai itu..."

"Tapi kenape nggak pilih-pilih?! Ini kepala mau dipecah ame tu orang, tadi!"

"Lho saya kan tidak tahu tamu model bagaimana yang Bos inginkan. Lagipula jarang-jarang kan dapat tamu."

"Sampeyan ini kita bayar mahal, ndak bisa mikir ya?"

"Mikir sih bisa Den, tapi ini tugas."

"Kau bantah saja terus!"

"Saya kan sudah bilang, saya hanya menjalankan tugas."

"Membantah juga tugas?!"

"Bukan membantah, menjawab,"

"Tapi mbok ya pakai pikiranmu!"

"Maaf nih Den, tapi saya tidak dibayar untuk berpikir."

Pasukan itu hampir kehabisan kata-kata meladeni receptionistnya sendiri. Pasukan 3 mulai mencari-cari bahan pelampiasan.

"Berengsek lu ye, kite-kite lagi panas, lu senyum-senyum mulu!"

"Itu kau punya tugas?!" Pasukan 2 menambahkan.

"Termasuk juga,"

"Edan!" Pasukan 1 membentak keras.

"He sudah, Ente-Ente tadi ke sini mau tanya kok malah ribut. Ane heran. Siapa Pak Tua tadi?" Pasukan 5 maju ke depan barisan.

"Oh, ini, Gan..." Receptionist mencetak sesuatu kemudian menyodorkannya pada Pasukan 7.

"Ini data Tua Bangka tadi?" Pasukan 1 menyambar kertas itu.

"Tepat, Bos!"

"Kenape nggak kasih dari tadi?!"

"Kasih ke siapa Bos, tidak ada yang minta."

"Kau tadi tidak menjawab Beta punya tanya!"

"Tanya apa ya?"

"Siapa Tua Bangka itu, bangsat!"

"He sudah, Ente-Ente tadi belum sempat tanya."

"Di mane nih alamatnye?"

"Di pedalaman..."

"Gue kagak tanye lu, kampret! Heran gue, punya receptionist kayak gini.

Pasukan saling pandang dan mengangkat bahu. Sama-sama saling menunggu. Tak satupun tahu. Kertas sudah berpindah tangan berkali-kali, sampai kumal.

"Oke, lu jawab, di mane ni alamatnye?"

"Sudah boleh bicara, Bos?"

"Lu bilang tadi punya tugas ngejawab. Gimane sih!"

"Tapi kalau dipaksa tutup mulut ya diam, Bos. Ditodong pistol sih tidak seberapa, kalau yang ditodongkan sudah amplop tebal apa boleh buat."

"Kau ini banyak cakap, jawab saja!"

"Ya, ya... Ini di pedalaman bawah sana. Kira-kira satu minggu perjalanan naik bis."

"Sialan, kau pikir kita siapa mau naik bis! Siapkan helikopter!"

"Habisnya, mau mendarat di mana. Ini daerah terpencil. Aspal terakhir yang dituang di sana, sekitar lima tahun lalu. Sekarang sudah botak digerus hujan, disengat panas. Jalanan lebih mirip empang. Satu-satunya akses yang bisa dilalui ya itu, darat. Kalau mobil pribadi, kan eman-eman. Nanti malah korban shock breaker, ban..."

"Sudah, sudah, pesankan tiket bis untuk kita semua!"

"Lhoh kita mau ke sana?" Pasukan 1 mulai protes.

"Harus!"

"Buat apa?"

"Kita buat perhitungan."

"Kenapa ndak tadi saja?"

"Tadi Ane kira dia bakal presiden."

"O..ya, ya. Memangnya dia siapa?"

"Ente baca nih, petani dusun terpencil. Ane sendiri baru dengar alamat ini."

"Petani?" Pasukan 1 terkejut, "Wo...tak tumbak koe, Pak!"

"Gue sambit pala tu orang, ntar."

"Ya, ane cincang dia nanti. Ane DOR!"

"Sudah, kita kemasi barang bawaan. Satu jam lagi kumpul di sini. Beta mau bawa panah!"

Dalam sekejap saja para pasukan lenyap. Tak pelak lagi, ini akan menjadi pembunuhan paling keji di abad ini. Tidak ditandai badai bahkan mendung. Purnama tampak ramah. Tak biasanya bintang-bintang akrab dengannya. Siapa sangka dendam dari langit akan turun menjelma menjadi malapetaka.

"Gimana, tiket kita sudah ada?"

"Siap, Gan, ini," Receptionist membagikan tiket pada pasukan, "tapi, Gan,"

"Apa lagi, masih mau membantah?"

"Bukan. Lift kita kan sedang rusak. Sudah tiga hari tidak beroperasi. Kemarin saja saya tidak apel ke bawah. Jatahnya kan dua hari sekali."

"Segala urusan pribadi lu bawa-bawa. Nggak bisa apel kan dosa lu nggak jadi nambah. Palingan cuma mau minta cipok, kan!"

"Ha.. ha.. ha.. Ane kira Ente suci. Doyan maksiat juga."

"Namanya juga manusia, Gan."

"Heh, Beta kan sudah suruh kau hubungi tukang lift!"

"Sudah, dalam perbaikan. Tapi sampai sekarang belum ada laporan."

Pasukan mulai cemas. Kalau lift belum bisa digunakan, rencana mereka otomatis batal.

"Nah itu dia!" Receptionist menunjuk tukang lift.

Tukang lift itu mendekat, "Maaf Pak, liftnya..."

"Belum bisa?" Anggaran kita besar untuk lift ini! Kurang?"

"Besar kan di anggaran Bapak, di saya cuma berapa,"

"He Ente diam lah dulu, biar Tukang Lift ini selesaikan bicara,"

"Nah," melanjutkan kalimatnya, "liftnya sudah bisa beroperasi."

"Alhamdulillah!"

"Lho, nyebut, Bos? Saya kira sudah lupa,"

"Kalau cuma itu sih apal. Barang dagangan gue sih!"

Pasukan bersiap turun ke lantai dasar.

"Sebentar, Beta tanya, ini lift satu-satunya akses ke sini bukan?"

"Iye, kenape?"

"Lantas Pak Tua itu ke sini lewat mana?"

Sama seperti sebelumnya, semua mata adalah bertanya. Tak satupun kata keluar dari mulut mereka. Pandangan mendadak menyerbu receptionist.

"O.. Soal itu saya juga kurang tahu Bos, Gan, Den, Pak, semuanya saja. Dia datang dari koridor ini. Perginya juga."

"Jangan-jangan..."

Para pasukan bergegas turun. Berebut lift. Rebutan perayaan kemenangan di depan mata.

"Mampus! Dia pikir cangkulnya Kutang Antakusuma." Mereka terbahak sepanjang perjalanan.

"Kita mampir ke ruang ahli dulu ya. Beta sudah janji konsultasi."

Pasukan mengisi penuh bangku di ruang tunggu Sang Ahli. Tak satupun pasukan meninggalkan senyum.

"Wah, Bapak-bapak, kok tumben berkunjung ke lantai dasar. Biasanya cuma lewat." Sang Ahli keluar menyapa mereka.

"Ya... biar yang di lantai dasar punya kerjaan."

Pasukan-pasukan itu menceritakan kunjungan Pak Tua. Tetap saling sahut dan berebut. Sesekali mereka terbahak-bahak. Pembicaraan melebar ke sana ke mari.

"Begini bapak-bapak, Gatotkaca itu satu-satunya orang yang bisa terbang." Sang Ahli mengambil alih.

"Kutang Antakusuma?"

"Ya, menggunakan pusaka itu. Bukan rompi bersayap kapas yang bisa dibeli di pasar loak."

"Kok sampeyan menyindir?"

"O, bukan,"

"Kutang? Jadi?"

"Benar, tapi syaratnya tidak mudah. Bapak-bapak harus semedi di Pringgandani selama 40 hari 40 malam. Tidak boleh makan, tidak boleh minum. Jauhi minuman keras, dilarang berzina, berjudi, mencuri, mengakali..."

"Kok diteruskan?!" Pasukan 1 kembali panas.

"Menyindir? Bukan..." Sang Ahli hendak melanjutkan tapi dipotong pasukan lain.

"Ah sudahlah, kita cari mayat tua bangka itu!"

Para pasukan menyisir sekitar gedung. Dikerahkan pula anjing pelacak, tim SAR, dan detektif nomor wahid. Hasilnya nihil.

Mereka memutuskan untuk menyatroni alamat Pak Tua. Tepat tujuh hari mereka baru turun dari bis reyot warisan Jepang itu. Udaranya segar. Sangat segar. Lebih sejuk dari AC canggih manapun. Embun membelai lembut kulit yang sudah tujuh hari mendapat layanan spa dalam bis.

Gemercik air dan kicauan burung terdengar asing tapi ramah. Membuat tubuh siapa saja yang ada di sana ingin segera melepas baju dan terjun ke sungai. Amarah, dendam, benci, seketika akan sirna. Dahsyat. Tubuh sekekar Ade Rai pun akan segera melemas. Semuanya bebas dan damai. Rerumputan merdeka, menari bersama angin ke kanan dan ke kiri. Tak ada satu daun pun gugur sia-sia. Mereka tidak khawatir menjadi tumbal, bahan baku polusi udara yang mencekik kota. Mereka gugur untuk menghidupi yang bertunas. Akhirnya penghabisan akan selalu menjadi permulaan. Begitu alami.

Setelah bertanya ke sana ke mari, para pasukan itu menemukan titik terang. Dipandu seorang bocah, mereka menuju bukit kecil di belakang desa. Persinggahan yang jauh lebih damai dari pintu gerbang tempat mereka memijakkan kaki pertama kali di desa ini.

"Itu!" sang bocah menunjuk pria berpakaian hitam yang membelakangi mereka kemudian lari. Mereka mendekat. Menginjak dedaunan kering yang berserakan. Terdengar keras. Bahkan detak jantung pun terdengar begitu jelas.

"Ini makam siapa?" tanya seorang pasukan.

"Eyang Gatot, orang yang kalian cari. Menurut sejarah, dia wafat 300 tahun lalu ketika perang. Dipanah pamannya sendiri, Karno." Pria berpakaian hitam itu membalikkan badan.

"Kamu?" pasukan gugup, "receptionist di gedung kami?"

"Bukit ini bernama Pringgandani. Saya sudah berhenti jadi receptionist. Baru tadi pagi. Gedung itu hanya untuk orang-orang ambisius. Kalau mau terbang sungguhan, pindahkan ke bukit ini. Bukan gedungnya, karena akan merusak damainya tempat ini."

"Lantas apanya?"

"Itu juga kalau belum terlambat" Mantan receptionist itu kembali membalikkan badan.

Whush!!! Dalam sekejap mata saja dia menghilang dari pandangan. Udara gunung menusuk tulang, membekukan kaki. Gelap benar-benar telah memeluk mereka. Pasukan ambruk. Sayap kapas terbakar. Merah menyala. Mereka tenggelam di dalam lautan bara. Mengapung sesaat, lalu lenyap lagi. Mulut menganga, tak kuasa berteriak, apilah yang ditelannya. Sayap-sayap kapasnya membesar dan melebar. Api juga semakin beringas. Semakin menyayat. Semakin membakar.

"Semuanya palsu! Ini pasti palsu!" Para pasukan protes, dan tetap tersiksa.

Tapi Kawah Candradimuka tidak ditugaskan untuk menjawab, apalagi mengakali. Yang dia tahu hanya menenggelamkan, mengapungkan, menenggelamkan, mengapungkan... .

-TAMAT-

02 Juni 2011

Kantin TN

Pukul 06.55 Saya mulai duduk di sebuah bangku oranye yang kalau digoyang sedikit saja berisiknya minta ampun. Maklum, warisan sejak tahun '87 saat kampus ini masih bernama Politeknik Undip. Mudah saja mengetahui riwayat kursi-kursi udzur ini. Di belakang sandaran tiap kursi tercetak identitasnya secara permanen.

Saya sedang menikmati sibuknya pagi di Kantin Tata Niaga (TN) Politeknik Negeri Semarang (Polines). Lalu lalang khas yang hanya bisa saya dapat satu kali dalam satu hari. Tak ada satupun mahasiswa dan dosen yang berangkat luput dari bidikan Kantin TN. Bisa dipastikan mereka kebagian jadwal kuliah jam 7. Tapi hebat! Sampai pukul 07.25 masih ada saja mahasiswa atau dosen yang baru datang. So sweet.

Mungkin kamu pun akan betah berlama-lama duduk di sini kalau kamu juga menangkap semua adegan ini. Saya hampir melepaskan tawa mengisi penuh ruang kantin ketika mendapati seorang mahasiswi kesulitan menaklukkan high heel-nya. Betapa tersiksanya, bisik Saya. Mungkin ini hari pertama kakinya dibalut sepatu yang ditopang hak setinggi jengkalnya sendiri. Untunglah Saya masih bisa memaksa tawa redam menjadi senyum kecil. Apa jadinya kalau gagal. Saya memperhitungkan reaksi masa.

Tak jauh dari sana, bahkan tepat di belakangnya, mulai terlihat pemandangan demonstratif pasangan mahasiswa-mahasiswi memamerkan kemesraan. Yang lebih hoax adalah muncul sepasang dara yang lengketnya seperti ketumpahan alteco. Entah itu dara atau burung onta. Sampai Saya harus berbisik nakal, "itu yang cewek pasti korban high heel juga. Kasian yang cowok jadi pegangan sepanjang jalan".

Kamu (baca: lelaki) mungkin tidak akan mau beranjak dari kantin setelah meletakkan bokong di kursi tua ini. Bukan karena kursi tua ini bisa memijat bokongmu, tapi karena kamu sedang berada di pinggir catwalk dan karpet merah. Bayangkan saja, kamu sedang menjadi tamu kehormatan dalam pagelaran akbar. Pentas yang menyuguhkan bermacam seni. Fashion Show? Jelas. Cuplikan adegan sinetron atau film Indo? Ada. Ya, kadang-kadang atau malah terlalu sering melankolik.

Dan yang akan membuatmu betah adalah para aktrisnya. Tidak kalah fashionable dan menor dibanding para wanita bahan baku infotainment yang biasa kamu ikuti. Saya tahu kegemaranmu. Tenang saja, bisa ditemui di sini. Dengan sedikit sentuhan kuas dan tepung beras saja kambing bisa terlihat cantik di matamu. Poleskan sedikit gincu, sempurna. Tapi jangan khawatir, Men, ada yang benar-benar bening. Kapan-kapan saya tunjukkan.

Coba bayangkan berapa rupiah atau dolar yang harus kamu keluarkan untuk duduk di kursi VIP pagelaran akbar macam ini. Saya cukup dengan membayar secangkir kopi saja dapat duduk nyaman di kursi paling depan. Mau gratisan pun bisa. Boleh. Tak ada pijitan tak jadi soal. Apalah arti ke-empuk-an ketimbang sugesti menggelikan yang akan mengawali senyummu sepanjang hari. Indahnya hidup ini.

Eiitss, ada temen yang gabung nih. Ya udah, udahan.

Ya, awalilah dengan senyum, maka akan berakhir dengan senyum. Temukan caramu!

This is my way.