30 September 2011

Bukan Lumba-lumba

Rasa-rasanya saya semakin benci pada kisah-kisah orang sukses. Maaf, tepatnya pada orang-orang yang mengagung-agungkan mereka. Orang-orang itu terjebak dalam delusi hebat. Saya muak.

"... kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan."
-SOE HOK GIE

Kutipan yang kurang sedap bertengger di postingan ini sebenarnya. Tapi kalau penasaran kenapa saya tempel di sana, silakan cari sendiri kausa logisnya.

Banyak orang yang saya temui tidak belajar dari riwayat orang sukses. Mereka hanya menjadikan itu semua sebagai bahan fantasi. Menyelami angan-angan sampai lupa diri. Mereka berharap menemukan mutiara di dasar sana. Padahal semakin dalam menyelam, semakin tak terlihat dasarnya, semakin semu pula kesemuanya. Dan yang pasti semakin tipis oksigen yang dibawa. Kalau sudah begitu mau tak mau harus kembali ke permukaan. Atau satu pilihan lagi yaitu mati di dalam lautan fantasi itu sebelum menemukan mutiara. Tinggal pilih.

Buku-buku yang berisi kisah orang sukses itu dibuat supaya menginspirasi. Bukan untuk diselami. Bob Sadino? Siapa yang tidak kenal kakek yang satu ini. Bahkan Om Bob pun hanya memberikan satu resep untuk menjadi sukses.

Oke, saya ceritakan. Saya pernah mengikuti seminar yang pembicaranya Om Bob. Kebetulan waktu itu diadakan di kampus saya. Jadi tidak repot kalau hanya duduk mendengarkan saja. Karena saya memang tidak mau repot menghadiri acara semacam ini. Barangkali saya supaya lebih tepat, saya ganti redaksinya menjadi Talkshow saja. Dalam talkshow ini seorang teman bertanya pada Om Bob yang intinya kira-kira begini, "Bagaimana untuk memulai supaya sukses?" Jawaban Om Bob sederhana. Teman tadi diinstruksikan untuk berdiri menghadap tempat duduknya. Kemudian Om Bob berkata, "Langkahkan kaki! Lagi, terus, udah!" Teman saya melangkah sampai di tempat duduknya.

Sederhana kan? Yang kita butuhkan untuk menjadi orang sukses adalah "mulai melangkah dan melangkah". Sengaja saya kutipkan dari Om Bob. Karena saya tahu kamupun pasti mengidolakan kakek nyentrik ini. Mereka pasti mengidolakan juga. Jelas, bahkan resep dari Om Bob pun hanya "melangkah". Bukan menyelam.

Kurang puas dengan satu itu? Tahu Ippho Santosa? Kalau kamu penggemar kisah motivasi mestinya tahu. Dan biar saya simpulkan satu resep dari Bung Ippho. "ACTION". Sudah jelas? ACTION!

Berhentilah menyelam. Kamu bukan lumba-lumba.

18 September 2011

Merenung

Beda ladang beda belalang. Ah, bukan, bukan. Maksud saya, beda dulu beda sekarang. Tapi pepatah mana yang tepat? Sayang saya bukan ahli ilmu perpepatahan. Mestinya dulu saya ambil jurusan Pepatologi. Ha?

Dulu saya suka terburu-buru menulis hasil renungan yang belum matang. Ibaratnya orang bangun tidur kebelet boker. Kalau sekarang harus mengendap dulu berhari-hari, berminggu-minggu, malah berbulan-bulan. Alon asal kelakon. Begitu kata Pak Dalang dari Rembang. Saya sempat mendengarkan pentas Wayang Kulitnya yang disiarkan on-air di radio beberapa waktu lalu. Katanya, alon bukan berarti lamban. Alon tegese dipikir ati-ati. Pelan-pelan berpikir, hati-hati. Ojo grusa-grusu. Pepatah bijak selalu bisa ditarik kesimpulan positif.

Menulis bukan hobi saya. Bukan kebutuhan, bukan rutinitas, juga bukan pekerjaan. Tidak harus ketika waktu luang, saat kuliahpun bisa menjadi moment terbaik. Tentu saja bukan tulisan yang berhubungan dengan mata kuliah. Ada dorongan tiba-tiba yang entah dari mana datangnya. Dorongan itu yang kemudian memaksa tangan saya meraih pena dan memperkosa kertas sejadi-jadinya. Selalu terasa menyenangkan. Tapi lagi-lagi saya gagal mendefinisikan dorongan misterius itu.

Apa? Itu namanya hobi? Ya, itu sih terserah sampeyan.

Kembali ke atas. Sekarang saya lebih suka mengendapkan hasil renungan berlama-lama. Biasanya renungan tadi terbawa kemana-mana. Ke kelas, kantin, ranjang, bahkan jamban. Renungan itu membuat segala macam ganda (bau), rupa (warna), rasa (rasa) menjadi netral total. Bahkan mungkin saya pernah lupa beda bau jeruk purut dengan bau kentut. Pokoknya netral. Total.

Ngomong-ngomong soal pengendapan-renungan, diperpanjang pun rasanya belum juga matang. Masih ada juga topik yang buru-buru minta terbit. Tapi jangan salah, ada juga topik yang masih dalam masa inkubasi selama berbulan-bulan. Sampai sekarang masih saya kandung. Entah kapan jabang bayi ini mau mbrojol. Lho, iya kan, ada yang tidak buru-buru ikut demonstrasi. Nanti, insyaallah, saya muntahkan semuanya.

Merenung Sampai Mati. Masih enak didengar. Tapi bentar, siapa yang ngucap? Itu kan judul blog Prie GS. Cuma ditulis gitu aja buat header. Kalau nggak ada yang ngucap, mana mungkin kedengeran? Percayalah, saya mendengarnya. Namanya juga renungan. Merenung.

10 September 2011

Think of Thing

Wong akeh ki macem-macem. Orang banyak itu macam-macam. Ada yang macam saya, ada yang macam kamu, ada yang macam dia, pokoknya macam-macam.

Kamu percaya ada orang yang selalu melihat hal-hal biasa dengan kacamata positif? Semua hal bernilai positif baginya. Positive thinking, atau barangkali positive feeling seperti yang dikatakan Erbe Sentanu. Saya percaya. Seorang sahabat saya salah satu tersangkanya.

Menurutmu dia berbohong? Mungkin awalnya saya cuma tahu dari lisannya (bi lisan), tapi akhirnya saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa yang diucap lisannya itu dituntun feelingnya (bi kalbi). Tidak mudah menaksir hati seseorang. Menaksir? Mengestimasi. Saya sudah sampai di titik itu. I believe it. Kalau kamu tidak percaya padanya, setidaknya kamu harus percaya ada orang seperti itu. Namanya juga wong akeh.

Saya pikir fine-fine saja berpikir sepositif mungkin. Malah kita harus selalu berpikir positif. Tapi yang tidak boleh dilupakan adalah memahami kemungkinan negatifnya. Sederhananya begini, semua hal akan selalu mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus. Sudah menjadi kodratnya makhluk. Apa itu makhluk? Makhluk itu lawan kata dari Khalik. Khalik itu pencipta, makhluk itu yang diciptakan. Manusia, binatang, tumbuhan, air, batu, udara, api, semua selain Khalik itu makhluk. Khalik itu Tuhan. Berarti selain Tuhan, tergolong makhluk. Jadi semua makhluk harus punya dua nilai sekaligus. Positif dan negatif. Selalu begitu. Makanya mengkoreksi dan mengkritik itu mudah. Asal jeli menelanjangi kenegatifannya saja bisa menjadi kritik yang super-pedas.

Dari dua nilai tadi, akan muncul 3 kemungkinan kesimpulan. Pertama positif, kedua negatif, ketiga netral.

Kesimpulan positif akan muncul jika kita lebih banyak menerima nilai positif daripada negatifnya. Misalnya, Boy hari ini bolos kuliah. Diam-diam kita mencoba menyimpulkan apakah yang dilakukan Boy itu benar atau salah, positif atau negatif. Hasilnya kita menemukan 11 alasan dan dugaan. Enam di antaranya adalah dugaan positif, sisanya negatif. Jadi rasio positif dibanding negatifnya adalah 6:5. Tapi bukan berarti kesimpulan kita tentang Boy pasti positif. Depend, tergantung lebih banyak mana nilai yang kita terima. Biarpun ada 17 dugaan negatif dan hanya ada 1 dugaan positif, nilainya akan menjadi positif kalau kita lebih menerima sisi positifnya. Begitu sebaliknya.

Selanjutnya netral. Seperti yang kamu duga, kita menerima dugaan positif sama banyak dengan dugaan negatifnya. Atau bisa juga terjadi saat kita sama sekali menolak semua dugaan. Dengan kata lain kita sama sekali tidak peduli. Kesimpulan netral.

Sekarang sudah semakin jelas. Karena segala hal mempunyai dua nilai (positif & negatif), ada baiknya kita menemukan keduanya sebelum menyimpulkan. Berpikir positif bukan berarti hanya tahu nilai positifnya saja. Temukan juga nilai-nilai negatifnya. Soal kesimpulan yang kita ambil nanti positif atau negatif, itu urusan belakang. Tapi sebaiknya kesimpulan positif atau positif thinking.

Jadi, tetap berpikir positif, tapi pahami juga kemungkinan negatifnya. Sekedar memahami.

09 September 2011

Pacaran

Menurut ente bagusnya ngomongin apa dulu nih? Politik? Ah ogah, it's endless drama yang nggak kalah lebay dari sinetron favorit emak-emak. Jadi ngomongin politik itu meaningless? Worthless. Penting, tapi nggak di sini.

Let's go to the topic. What topic? Pacar. Pacar? Pacaran.

Sebelumnya maaf nih kalau yang punya blog sebelah juga sempet nyinggung topik ini. Paling enggak ada twittnya yang nangkring di Time Line beberapa waktu lalu, kira-kira tentang ini juga. Tapi soalan ini memang sudah lama ngendap di saya.

Dulu saya termasuk orang yang tidak betah berlama-lama single. Kalau menurut orang yang mengaku "anak gaul" sih namanya jomblo. Saya tidak betah jomblo. Dulu memang iya. Jadilah hunting pacar, berburu, gebet sana-sini, sampai orang nyangka saya multiple. Multiple? Ya, tapi biar apa orang bilang. Waktu itu saya masih abu-abu. Di utan? Itu monyet abu-abu, kampret!

Seperti kamu juga, saya pernah berseragam putih abu-abu. Itu lho yang di dada ada badge tulisannya OSIS. Osis sapi, osis ayam, osisnya Gonzales, osisnya Sm*sh, osisny Sinta & Jojo, osis... Itu SOSIS! Haha kok jadi banyak bercanda gini ya.

Singkat cerita, dulu saya memang kerap bongkar pasang personel. Biar ngetop kayak Anang. Lah, segala Anang dibawa-bawa. Maaf, maaf. Maksudnya, saya sering ganti pacar. Tiap putus hubungan, buru-buru cari pacar baru. Entah untuk apa.

Belakangan saya bertanya pada diri saya sendiri. Sebenarnya untuk apa semua itu? Seberapa urgen pacaran itu sampai saya rela ngubek sekolahan buat dapat pacar. Apakah hidup ini selalu melankolik. Apa tanpa pacar saya tidak bisa have fun. Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain yang membuat saya mencari dalil-dalil pembenaran yang dapat diterima. Ajaibnya semua ditolak. Bukan berarti pacaran itu sama sekali tidak benar, atau pacaran itu useless. Saya banyak belajar dari pacaran. Tapi ada tapinya.

Sekarang saya tanya, untuk apa pacaran itu? Beberapa orang pernah mengatakan pada saya bahwa pacaran untuk penjajakan. Jadi, apakah sebagai teman kita tidak boleh menjajaki? Saya yakin teman yang baik akan selalu mengizinkan kita untuk mengenalnya lebih. Tidak perlu menjadi pacar. Kalau dia menolak, artinya dia belum terlalu baik. Sekedar mengenal orang tua atau keluarga seharusnya sah-sah saja.

Sebagian teman menganggap sebelum memasuki hubungan yang lebih serius, kita harus pacaran. Saya menolak pendapat itu. Pernikahan tidak harus selalu diawali pacaran. Ada juga kan orang yang tidak pernah pacaran tapi punya suami/isteri. Dan mereka tidak harus melakukan cara islam untuk menikah tanpa pacaran. Dari sahabat saja bisa jadi suami/isteri kok. Tanpa pacaran? Tanpa pacaran.

Kualitas pernikahan tidak dapat diukur dari kualitas pacarannya. Kuantitas apalagi. Kalaupun memaksa mengukur, dari kualitas pertemanannya saja bisa. Tidak percaya? Hal apa yang tidak bisa dilakukan teman seperti apa yang dilakukan pacar? Teman bisa memberikan perhatian seperti yang diberikan pacar. Apa teman dilarang care? Teman juga boleh memanjakan teman seperti pacar. Teman bisa juga menemani jalan-jalan. Teman bisa menjadi tempat cerita. Teman boleh memberi masukan. Yang jelas, apa yang dilakukan pacar, semua bisa dilakukan teman. Kemudian apa? Chemistry? Teman juga boleh saja membangun chemistry dengan temannya. Tidak melulu pacar. Karena sebenarnya pacar itu juga teman.

Apa? Teman tidak berhak melarang-larang atau mengatur? Jadi pacar berhak? Mudah, berikan saja hak yang sama untuk teman kita. Kalau cuma untuk mengistimewakan teman kan gampang. Lagipula hak itu kan cuma karangan kita saja. Intinya larangan dan aturan itu untuk kebaikan kita. A friend can do it.

Hubungan tanpa status? HTS? Kan sudah jelas statusnya teman. HTS cuma istilah. Istilah itu juga tidak jelas asal-usulnya.

Sudahlah, semua dalil pembenaran buat pacaran itu klise. Bukan berarti saya menganggap pacaran itu salah. Saya hanya sedang menunggu seseorang memberikan alasan yang tepat. I've been waiting for.. Meskipun hampir bisa dipastikan itu akan selalu tidak tepat bagi saya. Gimme one good reason!

05 September 2011

Blogging

Apa kabar?

Entah itu pertanyaan untuk siapa. Sekedar menyapa. Cukup lama blog ini sepi. Warung Kopi Kothok, manifestasi renungan saya dari waktu ke waktu. Saksi transformasi anak manusia. Pergulatan yang tidak banyak tampak. Itulah mengapa dokumentasi menjadi penting. Kita bisa melacak sejarah.

Saya belum ingin berbicara hal-hal lain dulu. Anggap saja ini sebagai pemanasan. Pertama, untuk membangkitkan rindu. Kedua, menyesuaikan diri. Ketiga, menata mindset kembali. Keempat, menyatukan kembali Alter-Ego yang sama sekali berbeda wujudnya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Tugas Akhir (TA). Itu alasan yang dulu saya berikan pada diri saya sendiri mengapa blog ini harus sepi. Ya, biarkan sepi barang sebentar. TA kan syarat kelulusan Diploma III di Polines, gila aja sampai nggak lulus gara-gara keseringan ngeblog. Saya sibuk. Sebenarnya tidak terlalu sibuk. Benar-benar luang malah. Cuma 3 minggu terakhir di bulan Agustus saja yang menyita pikiran. Terserah. Dapat diterima.

Microblog dan social network. Ah maaf, maksud saya social network dan microblog. Twitter dan Facebook sajalah. Keduanya bukan hal-hal yang saya yakini akan menggeser rutinitas blogging saya. Tapi nyatanya iya. Baru saya sadar belakangan. Facebook lebih menyenangkan digunakan untuk berinteraksi dengan detail tertentu. Semua orang tahu. Twitter? Twitter menawarkan gaya blogging yang lebih sederhana dari blogsite atau webblog. Barangkali itulah mengapa disebut microblog. Mungkin. Saya hanya menyimpulkan.

Belakangan saya melakukan uji coba. Bagaimana kalau hasil renungan yang seliweran di otak saya tuangkan ke Twitter? Mengejutkan. Yang biasanya hanya menjadi satu judul posting, di twitter bisa saya urai menjadi belasan bahkan puluhan tweet. Dan biasanya lebih mudah dicerna. Kosa kata mulai saya ubah sesederhana mungkin.

Jadi Twitter lebih unggul? Tidak juga. Blog mempunyai lebih banyak keunggulan. Lebih lagi Blogspot. Artikel blog lebih mudah dibuka-buka lagi dikemudian hari. Lebih rapi. Soal maintenance memang sedikit lebih repot. Kesempatan berinteraksi juga lebih kecil. Tapi soal frontend blog jauh lebih menarik.

Kenapa "lebih lagi Blogspot"? Karena yang punya blogspot adalah perusahaan raksasa Google. Google lebih populer dengan Search Engine (SE)-nya. Orang-orang di seluruh belahan bumi lebih banyak menggunakan Google daripada SE yang lain. Tanpa bertanya lagi kita bisa menyimpulkan Blogspot itu integrated dengan SE-Google. Kesimpulan sederhananya, blog yang dibuat dengan Blogspot mudah ditemukan di SE terutama Google. Ya, tanpa registrasi sekalipun.

Lah, ngomong apa jadi apa ini tadi? Bodo amat, namanya juga pemanasan. Berikutnya saya akan menuliskan hasil renungan saya di Cepu. Saya memang mencari ilmu sampai ke Semarang, mencari pengalaman sampai ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, bahkan Salatiga yang orang bilang "Persinggahan Intelektual". Tapi Cepu lebih banyak mengilhami saya daripada tempat lain. Cepu adalah tempat perenungan yang paling ideal bagi saya.

Saya telah banyak mengalamai kejadian-kejadian penting selama rehat blogging. Kejadian-kejadian yang kemudian membuat saya belajar lebih banyak lagi. Lain waktu barangkali saya ceritakan. Siapa tahu kita bisa sama-sama belajar. Happy blogging!