01 November 2017

Perokok

Indonesia ini negara yang galak pada perokok, tapi salah satu pendapatan terbesarnya justru dari cukai rokok—kalau saya tak salah baca APBN. Sebuah ironi bagi para ahli hisap. Turut menyumbang pendapatan negara demikian besar, tapi ditepikan. Dan, itu salah satu alasan saya tidak merokok: merasa tak dihargai negara.

Kurang keras apa Indonesia memperlakukan perokok. Di mal, taman kota, stasiun, bandara, hampir di sebagian besar tempat umum tidak boleh ada asap rokok. Kalaupun ada ruang khusus merokok tempatnya di pojokan, sempit dan pengap.

Perusahaan rokok dilarang mensponsori banyak kegiatan. Pensi di sekolahan, acara yang melibatkan anak di bawah umur, dan sebagainya diatur secara rigid dalam undang-undang. Padahal semua juga tahu bahwa perusahaan rokok adalah salah satu penyokong yang paling royal.

Di televisi, atau siaran bergambar pada kanal publik tak boleh ada peragaan merokok. Dilarang ada gambar yang menunjukkan aktivitas merokok. Kalaupun ingin beriklan, produsen rokok hanya boleh menampilkan logonya saja.

Tapi ternyata tekanan ini malah melahirkan iklan-iklan yang kreatif, ‘kan?

Untuk itu saya dukung kebijakan pemerintah yang satu ini. Selain karena merangsang kreativitas, lebih penting lagi peragaan merokok itu menyakitkan bagi saya. Begini persoalannya.

Saya berteman dengan banyak perokok, tentu kerap menyaksikan mereka mengisap dan mengembuskan asap tembakau dari hidung dan mulutnya. Betapa para kawan itu tampak menikmati.

Karena kelihatan enak, saya pun ambil bagian. Namun apa mau dikata kalau tak berbakat. Tiap kali mengisap, tenggorokan saya tercekik. Hembusan yang terpaksa itu patah-patah: batuk tak keruan. Begitulah saya memutuskan untuk tidak merokok.

Apa jadinya jika peragaan merokok di televisi itu legal. Saban hari saya harus menyimak bintang iklan merokok dengan mahirnya. Namun karena sadar tak berbakat, saya tak dapat mengikuti. Betapa tersiksanya menahan hasrat yang tak sampai ini.

Di tengah himpitan dari pelbagai arah, kontribusinya untuk APBN ternyata tinggi. Belum lagi kalau kita ingat ada fatwa haram segala. Rokok ini sungguh tangguh. Betapapun dibatasi.

Barangkali keputusan merokok atau tidak itu tak banyak ditentukan oleh segala tekanan yang ada. Seperti keputusan saya menyukai nyanyian Nella Kharisma, tak dapat diintervensi Vianisty yang suara idolanya datar-datar saja itu. Misalnya.

Personal take memang tak mesti sama satu dengan yang lainnya. Melakukan atau tidak melakukan sesuatu bisa jadi karena alasan tertentu, bisa juga tanpa alasan sama sekali.

Sekadar gambaran buat anak muda yang bimbang akan memutuskan menjadi perokok atau tidak, saya kasih tahu, saya puluhan tahun tidak merokok, belum bisa bangun pabrik juga.

25 September 2017

Gerebek

Katanya, kurang yahud kalau jadi anak kos tapi belum pernah digerebek. Berarti saya sudah yahud, karena pernah digerebek di Semarang. Sayangnya kasus saya bukan soal cabul.

Waktu itu saya bersama 3 orang kawan sedang “hepi-hepi”. Yang pertama sebut saja Kutil (bukan nama sebenarnya, sebenarnya Didit), yang kedua Endik, dan yang ketiga Embuh. Yang terakhir itu bukan nama samaran, itu karena saya lupa namanya, baru kenal juga, jadi dalam postingan ini saya sebut saja si Embuh.

Iya, saya digerebek di kosan saat sedang bersama 3 teman lelaki. MasyaAllah. Ini tidak seperti yang sampean pikirkan. Baca dulu, pelan-pelan.

Ceritanya, si Embuh sedang merayakan sesuatu yang entah, saya juga tidak tahu. Pokoknya dia dari luar kota datang ke Semarang, menginap di kos Endik. Embuh beli aneka makanan dan minuman. Karena itu beralkohol, saya tidak ikut minum. Embuh yang paling bersemangat meneguk air memabukkan itu.

Suasana jadi gaduh karena mulai ada yang kehilangan kesadaran sambil teriak-teriak, dan memutar musik kencang-kencang. Saya kebagian peran tertawa dan makan kacang. Jarang saya lihat orang linglung sampai jungkir balik tidak karuan.

Tak terasa sampai tengah malam. Tiba-tiba pintu digedor. Diluar ada yang teriak minta dibukakan. Kedengarannya ada banyak orang di balik pintu itu.

Saya buka pintu kos Endik. Ada bapak-bapak & anak-anak muda setempat yang tampak berang. “Malam-malam gaduh! Pada mabok lagi!” Kata seorang bapak yang mukanya tak saya lihat. Saya ada di belakang pintu.

Embuh menimpali, “Nggak ada yang mabok kok.”

Di belakang pintu, entah ada setan apa yang lewat, atau tuyul dari mana yang menggerakkan kaki saya sehingga menyenggol botol kaca wadah minuman. “Klinting...!”

“Lha itu apa?!” Si bapak kaget. Kami juga kaget. Di antara kepanikan, saya malah merasa geli. Ini sudah seperti adegan film Warkop DKI. Kali ini saya terpaksa menahan tawa & tidak mengambil kacang.

Tapi syukur, kejadian malam itu berakhir damai. Untung tidak terjadi pertumpahan ludah. Bayangkan saja jika para pembuat gaduh ini diludahi pemuda satu RT, tentu kami berakhir seperti kain pel.

Saya dan Kutil memutuskan pergi dari kos Endik, pulang ke kos kami masing-masing. Tapi bukan malam itu juga. Kami menunggu jam 4 pagi. Sekiranya orang sudah pada tidur, dan belum ada yang bangun untuk solat subuh.


Setelah malam itu saya mendapat pelajaran penting. Digerebek di kosan tak mesti gara-gara malam-malam mengerjakan tugas bersama teman perempuan.

16 September 2017

Menikah

Menikahlah, katanya, diikuti 1001 dalil dan nasihat tentang keutamaannya. Untung saja buku nikah tidak diperjualbelikan. Jika saja komersial saya pasti menyangka dia salesman di sebuah percetakan.


Beberapa bulan yang lalu saya meminang kekasih. Akhirnya saya tahu apa rasanya menjadi suami dan memiliki isteri. Kalimat sebelum ini penting untuk ditekankan: menjadi suami dan memiliki isteri.


Jadi, beginilah rasanya menyandang gelar kepala rumah tangga. Gelar ini mesti saya terima demi kepatutan di tengah tradisi patriarki. Meski demikian saya belum tertarik untuk memperpanjang daftar pengalaman pada CV dengan gelar baru itu. Entah nanti.


Beberapa bulan menjalani pernikahan, saya rasakan nasihat handai tolan nan bijak bestari itu tak semudah kedengarannya. Mereka bilang menikah akan membuat hidup lebih indah dan hari-hari semakin manis. Ada benarnya, tapi tak seluruhnya demikian.


Barangkali mereka lupa menyampaikan bahwa isteri yang sedang datang bulan itu lebih mengerikan ketimbang melawan arah di jalan raya. Sebentar tertawa, tak lama menangis. Bayangkan saja, saya yang telah bersiap dengan hidup-lebih-indah dan hari-yang-manis ini kikuk menghadapi isteri yang menstruasi. Seketika kepercayaan diri saya runtuh. Teori ini tak saya dapatkan sewaktu mereka mendesak untuk segera berkeluarga.


Itu baru satu contoh. Belum lagi soal drama Korea. Betapa sulitnya menginterupsi isteri yang sedang khusyuk menyimak akting para rupawan dari negeri ginseng tersebut. Jangankan saya, setan mau ndulit pun mikir-mikir.


Banyak lagi yang lainnya. Menjadi ahli tabung gas dadakan, menjadi arsitek sekaligus tukang, belajar menawar di pasar, naik motor sambil membawa tivi 50 inci, menenteng meja lipat dan jemuran baju seberat 20 kilogram dari lantai 6 mal ke parkiran di lantai dasar, bla-bla-bla.


Hikmahnya, skill saya kini meningkat.


Bukan berarti saya menganjurkan untuk menunda menikah. Saya hanya memperingatkan agar menyiapkan mental. Selama apapun mengenalnya waktu pacaran, itu belum semuanya. Masih ada kejutan setelah menjadi isteri nanti.


Beruntung kalau mendapat yang seperti isteri saya. Orangnya baik, sabar, dan pengertian.


*angkat galon*

04 Juni 2017

Cair

Satu pihak merasa yang lain tak toleran, pihak lain merasa keyakinannya dipojokkan. Keduanya lalu saling mengutuk sambil menukil dalil untuk melegitimasi kebencian demi kebencian. Kita ini tak becus nian merawat kerukunan, bahkan via media sosial.

Sementara anak-anak kita--adik-adik kita--bermain ayunan bersama, membangun istana pasir beramai-ramai, saling berbagi bekal makanan, dan melakukan banyak hal lain spontan saja tanpa dibebani keruwetan orang dewasa: agama, pandangan politik, golongan, dan variasinya.

Kemudian kita, orang besar, dengan lancang tampil ke depan mengajarkan bagaimana berkehidupan sosial.

Jadi ingat lantunan parau John Mayer dalam Stop This Train, "I am only good at being young..."

Kita mungkin saja tak benar-benar berseberangan. Barangkali kita hanya berada di ruas jalan yang berbeda, sedangkan tujuan kita sama. Ada yang naik sepeda motor di lajur paling kiri, naik truk di tengah, naik sedan di paling kanan. Jalanan bisa jadi sangat sesak terutama menjelang lebaran begini. Orang beramai-ramai menunaikan ritual tahunan: mudik.

Bicara soal mudik. Di kampung halaman kini berbeda. Ketegangan dari dunia maya mudah terbawa ke tengah opor dan ketupat. Dari facebook, instagram, twitter, dan tentu saja grup whatsapp. Syukur kalau bisa menahan diri. Cilaka jika lepas kendali. Acara silaturahmi berubah menjadi drama FTV.

Datang senyum-senyum seperti perkenalan pertama, bercengkerama seolah bertemu besan baru, lalu mendadak saling sewot macam kalah rebutan remot tivi, blah-blah-blah.

Dengan begini para bujangan memang sejenak dilupakan, dijauhkan dari sergapan pertanyaan klasik, "Kapan nikah?" Tapi saya tak rela jika mengorbankan kerukunan demi melegakan hati mereka. Lebih baik basa-basi itu tetap ada di tengah opor dan ketupat ketimbang harus menyaksikan kebencian demi kebencian.

Jadi mohon maaf, bukannya tega merepotkan para bujangan untuk merangkai bunga kata menjawab pertanyaan rutin itu, tapi, seandainya ada cara lain yang mujarab membuat suasana jadi lebih cair. Seperti THR menjelang hari raya. Ada amin?

17 Maret 2017

Angkutan

Mengenai konflik yang terjadi di pelbagai kota, perihal keberadaan angkutan online yang ditentang penggawa angkutan konvensional.

Kita mafhum perubahan adalah keniscayaan. Ketika kereta zaman bergerak maju kaum puritan kerap tertinggal di belakang. Mereka yang tak mampu turut serta seringkali menggugat yang telah melaju jauh di depan.

Di Jakarta, pertama kali terjadi pertikaian yang melibatkan pemangku-kepentingan angkutan konvensional dan online. Disusul kemudian ketegangan di kota lain. Makassar, Bandung, Solo, Jogja, dan seterusnya. Saya yakin konflik ini laten.

Sebagian mencoba menasihati pemangku-kepentingan angkutan konvensional, terutama sopir, dengan dalil rezeki sudah diatur. Jadi tak perlu memprotes keberadaan angkutan online.

Lagipula angkutan online adalah jawaban dari tuntutan zaman. Menawarkan kemudahan, kenyamanan, keamanan, keterjangkauan, dan sebagainya dalam satu paket sekaligus.

Jika ingin dipilih pelanggan angkutan konvensional mestinya menyesuaikan diri.

Tapi barangkali kita lupa bahwa di belakang angkutan konvensional itu bisa jadi ada bayi yang harus minum susu, anak yang harus bersekolah, keluarga yang harus makan, dan setumpuk persoalan lainnya. Bahkan mungkin di bidang angkutan konvensional itulah keahilan mereka satu-satunya.

Mereka bukan tak mau memberikan kualitas prima pada angkutannya. Mereka hanya tak mampu. Dalam hal modal, pengetahuan, jaringan, keahlian, dan sebagainya.

Meskipun sangat menikmati keberadaan angkutan online, saya tidak setuju jika pemerintah mempertaruhkan hidup angkutan konvensional pada mekanisme pasar. Tak semua orang siap ada di dalam sana. Dan itulah kenapa ada negara. Pemerintah memiliki akses besar terhadap regulasi dan biaya.

Namun tak adil pula jika pemerintah mencekik angkutan online untuk melindungi angkutan konvensional. Pada akhirnya penyempitan ruang itu akan mematikan sebuah lapangan kerja yang pemerintah sendiri tak mampu sediakan.

Maka PR berat pemerintah kali ini adalah mengerek kualitas angkutan konvensional agar setara atau mendekati kualitas angkutan online. Melalui pembinaan, peningkatan kompetensi, pengawasan, pengaturan rute dan ketepatan waktu, bantuan biaya untuk peremajaan unit atau peningkatan fasilitas kendaraan, subsidi bahan bakar, atau apa saja yang memungkinkan.

Banyak hal yang dapat dilakukan tetapi bukan dengan memaksa biaya operasional pesaingnya meninggi, lalu membuat tarifnya menjadi tak "terjangkau" lagi.

Jika sudah mampu mandiri, terserah saja membiarkan mekanisme pasar yang bekerja tanpa intervensi. Tapi bukannya itu dekat sekali dengan anarki?

09 Maret 2017

Receh

Sebenarnya sudah lama saya berniat menarik diri dari pembicaraan tentang agama secara spesifik. Terutama di FB yang gaduh oleh komentar.


Tapi belakangan saya iseng main-main di platform yang didirikan Mark Zuckerberg itu. Semata-mata untuk menyalurkan keusilan saya, jujur saja. Dan kesan saya tentang FB tak berubah.


Kegaduhan bukan monopoli FB. Akhir-akhir ini Twitter juga riuh oleh buzzer (sebagian orang menerjemahkan itu "pendengung") politik. Yang menarik, ternyata semua yang ramai ini berkenaan dengan agama. Termasuk keisengan saya di FB pun.


Sekarang saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk membuat keramaian. Apa? Kuncinya jangan sepi. (Hihi)


Saya ingin kembali menikmati internet dengan gayeng melalui hal-hal receh seperti joke jayus di atas. Bukan mengurusi bentuk bumi yang domain ilmu pengetahuan itu. Meski yang dibangun melalui teori konspirasi memang selalu nampak hebat. Saya khawatir ilmuwan sungguhan akan membuat kaos bertulis "science is dead" karena frustasi.


Ilmu pengetahuan tak berlawanan dengan lelucon, bukan itu poin saya. Bahkan di National Geographic Channel ada program Science of Stupid. Isinya video-video tentang insiden konyol yang dijelaskan secara ilmiah bagaimana kekonyolan itu dapat terjadi.


Di Indonesia ada program serupa bernama CCTV di Trans 7. Beti, beda tipis. Isinya didominasi oleh video insiden. Jika Science of Stupid memberikan penjelasan ilmiah, maka CCTV cukup mengomentari video-video itu. Persis seperti keahlian kita.


Sebagai netizen sebaiknya jangan lupa bahwa kita dibesarkan oleh receh demi receh konten. Kalaupun harus mengomentari, rasanya kita lebih cocok menjadi CCTV ketimbang Science of Stupid. Akan lebih asyik.


Maka tak berlebihan kiranya jika kita menimbang gerakan make-internet-receh-again. (After-Trump)

11 Februari 2017

Jakarta

Menjalani hubungan jarak jauh bukan perkara mudah. Tapi tak juga berarti mustahil.

Ibarat pasangan calon (paslon) pimpinan daerah yang belakangan ramai jadi pemberitaan, sejoli yang terpisah jarak itu mesti menimbang situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jangkauan. Jangan disingkat.

Kalau perlu para pelaku long distance relationship, LDR-anak sekarang bilang, merumuskan visi dan misi yang akuntabel supaya dapat mengatasi keterbatasan kontak dengan sangkil mangkus.

Ini saya entah habis mimpi apa jadi bicara ndakik begini. Mungkin terinspirasi kehandalan Mas Agus (AHY) mengolah kata.

Yang pertama mesti diatasi memang perihal kontak. Tak ada hubungan berhasil tanpa kontak yang baik. Kontak yang baik mula-mula dengan pengaturan intensitas sedemikian rupa. Sepeda motor saja tidak mau jalan tanpa adanya kontak yang pas.

Kuncinya adalah kontak. Di rumah saya lazim disebut begitu. Kalau mau mengendarai motor, yang dicari kontaknya. Kadang Engkong saya bilang kunci kontak. Dikontak dulu baru disetarter.

Percayalah, kata Engkong, semua akan indah pada waktunya.

Ngomong-ngomong, saya menulis ini saat dalam perjalanan ke Jakarta untuk menemui kekasih saya. Setelah semalam diadakan debat paslon Gubernur & Wakil Gubernur DKI Jakarta yang disiarkan di hampir seluruh saluran teve nasional.

Karena, percayalah, Engkong, semua akan Jakarta pada waktunya.

Belitung kurang indah apa, tapi Pak Ahok memilih Jakarta. Blitar kurang sejuk apa, tapi Pak Djarot lari ke Jakarta. Begitu juga dengan Mas Agus, Mpok Silvy, Mas Anies, Kak Sandi, semua bersaing untuk ikut mengurusi Jakarta.

Malah ormases (bentuk jamak dari ormas; baru ditetapkan tadi pagi oleh saya sendiri) dari berbagai wilayah di Indonesia juga rebutan mengurusi Jakarta.

Kenapa tak rebutan Papua?

Padahal kalau cuma mau mengurusi Jakarta tak usah repot sikut-sikutan di gelanggang politik. Jadi netizen saja cukup.

Sebagai gambaran saja, saya menghabiskan banyak waktu di Kalimantan Utara. Sebutlah ujung Indonesia. Seberang mata merupakan Malaysia. Jangan bayangkan berapa jarak terbentang memisahkan. Mumet. Maksud saya, lihat saja di Google Maps, kan lebih gampang.

Maka, wahai para pelaku LDR yang terpisah jarak "selemparan kancut doang", penderitaan sampean sekalian belum seberapa. Saya mesti mengarungi sungai, laut, dan udara untuk sekadar berjumpa dan mengevaluasi visi misi secara berkala.