10 Juni 2015

Kartini

Postingan yang tidak menjual babar pisan. Sudah basi untuk ikut bicara mengenai “putri Indonesia yang harum namanya” itu. Selain karena kaum cerdik cendikia sudah selesai pada bab Kartini, ini juga bukan April. Orang takkan tertarik menyinggung di Juni yang bukan bulan kelahirannya. Sapardi mestinya lebih pas. Kalau jadi jurnalis gosip pasti saya sudah dipecat.

Kartini...

Kurang diomeli, lebih kencing lagi. Pernah kencing di toilet umum? Sekali kencing tarifnya 2000 rupiah. Kalau kurang meski cuma 100 perak jadi panjang urusan. Si penjaga pastilah kasih ceramah. Mulai dalil-dalil orang teraniaya sampai sesumpahan impotensi bila tak lunas tagihan bisa fasih saja dirapalkan. Tapi giliran bayar pakai 5000-an cuma dikembalikan 1000 rupiah. Sisanya disuruh kencing lagi.

Aturan toliet umum yang menyimpang dari GBHN (Garis Besar Haluan Nguyuh) itu jangan sampai berlaku di tukang sunat. Selesai sunat, pasien bayar lebih banyak, kemudian disunat lagi. Tadinya si pasien terkesan dengan pelayanan prima Pak Calak sang tukang sunat, makanya dibayar lebih hitung-hitung tips. Lha kok ndilalah malah kehilangan masa depan. Blaik!

Uhm... Kita kembali ke soal Kartini. Saya tertarik cari tahu tentang buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat “putri sejati” itu. Buku yang aslinya berjudul “Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini”. Kalau Kartini hidup di era kini pastilah bukan kumpulan surat yang dibukukan. Mungkin kultwit yang sering diselingi twitwar dan mention celamitan.

Persis. Persis dengan postingan ini. Mau menulis tentang Kartini saja mesti mlipir ke toilet umum sampai colek-colek tukang sunat. Memang apa hubungan kesemuanya? Hambuh. Yang jelas bukan perkara pertititan, melainkan kurang lebihnya.

Tak terhitung jumlah karya yang merujuk pada tokoh emansipasi wanita itu. Beberapa menggambarkan dengan kurang, tapi paling banyak dengan lebih. Salah satu contoh yang paling populer adalah lagu Ibu Kita Kartini ciptaan WR Supratman. Lagu tentang perempuan muda pemikir yang diagungkan sebagai pendekar bangsa. Kemudian dari syair yang sudah dimodifikasi oleh kepentingan kala itu, kita menangkap sosok Kartini sebagai wanita keibuan yang mesti menjadi panutan perempuan masa kini.

Padahal kalau mau sedikit lebih teliti, Kartini meningal dunia pada umur 25 tahun, beberapa hari setelah kelahiran anak pertamanya. Artinya Kartini tentu saja ibu muda yang kinyis-kinyis. Lagi itu belum sempat mengasuh anaknya. Belum utuh fungsinya sebagai ibu sungguhan. Belum mengantar anaknya ke Taman Kanak-Kanak, memakai rok mini, disiuli tukang ojek di pengkolan, dan yang paling penting belum sempat bersosialita bersama ibu-ibu muda lainnya. Lho jangan salah, Kartini ini dari kalangan priyayi.

Epik. Orang akan terus mendewi-dewikan. Cukup masuk akal untuk perempuan yang pemikirannya bikin lelaki macam saya pemuda generasi selanjutnya termehek-mehek. Tapi sepatutnya gambaran kita dilengkapi dengan masukan yang mengimbangi.

Beberapa bulan yang lalu saya membaca (lagi) cerpen Putu Wijaya berjudul Kartini. Dari tulisan itu kita bisa belajar tafsir yang lebih segar. Lebih relevan. Juga esai Goenawan Mohamad yang dengan cakap meletakkan Kartini sebagai sebuah persona. Memberikan perspektif lebih luas dan bebas.

Maka yang kita butuhkan adalah kesabaran mengkaji apa-apa yang akan kita ambil dari perempuan luar biasa ini. Harus pelan-pelan. Meski kalau kurang tak diomeli, kalau lebih tak perlu kencing lagi.