15 September 2019

Minggu

Apa yang ingin dicapai dari Car Free Day Minggu pagi, yang hanya memindahkan kepadatan lalu lintas dari titik satu ke titik lainnya?

Bahkan tidak cuma memindah, malah menambah. Sebab Minggu pagi biasanya orang menghabiskan waktu di rumah, menikmati tidur ekstra, melakukan pekerjaan domestik, paling jauh berbelanja ke pasar.

Car Free Day mengubah itu. Lengkap dengan pasar dadakan, justru Car Free Day menambah jumlah kendaraan bermotor beroperasi pada Minggu pagi demi menuju ke sana.

Saya usul nama Car Free Day diganti saja menjadi "Pasar Minggu Pagi", misalnya. Jadi kita tidak perlu malu-malu lagi mengakui bahwa yang terjadi di sana didominasi transaksi jual beli.

Car Free Day model ini mirip sekali dengan Earth Hour yang ditujukan untuk mengurangi buangan emisi pembangkit listrik, terutama yang bertenaga uap. Baiklah.

Saya penasaran bagaimana Pembangkit Listrik Tenaga Uap berhenti menghasilkan emisi gas buang setelah puluhan kota kompak mematikan alat elektronik selama satu sampai dua jam secara bersamaan.

James Watt harus bangkit dari kubur untuk menyaksikan betapa hebatnya praktisi pemasaran membuat ini tampak heroik.

Lalu kita bilang ini demi bumi. Asal tahu, bumi akan baik-baik saja dengan atau tanpa itu semua. Yang mungkin akan tidak baik-baik saja adalah manusia.

Polusi udara, hujan asam, kebakaran hutan, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, dan lain-lain itu kejadian wajar di bumi. Apa bumi rugi? Tidak juga. Setidaknya bumi tak mengafirmasi kerugian itu.

Saya lebih suka jujur saja mengatakan: ini semua demi masa depan umat manusia. Tidak perlu berpura-pura.

21 April 2019

Pandangan Tidak Populer Kartini

Saya sering mendengar dongeng tentang Kartini dari orang yang tidak pernah membaca buku ini: "Door Duisternis Tot Licht"--nyaris satu-satunya jalan untuk mengenal Kartini "selangsung" mungkin hari ini. Atau buku alih bahasanya yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Anak saya harus tidak mereduksi Kartini menjadi duta sanggul dan kebaya, maka saya membelinya. Suatu saat dapat saya wariskan.

Di buku itu saya menemukan banyak pandangan Kartini yang tidak populer, yang sebelumnya tidak pernah saya dengar, bahkan bertentangan dengan apa yang diceritakan oleh para pendongeng. Mungkin ini akan mengganggu kenyamanan, tetapi simaklah beberapa tulisan Kartini yang saya kutip berikut.

"Saya ingin bebas agar bisa mandiri, tidak perlu tergantung pada orang lain, agar... tidak harus menikah."

"Mengenai pernikahan itu sendiri, aduh, azab sengsara adalah ungkapan yang terlampau halus untuk menggambarkannya!"

"Bagaimana pernikahan dapat membawa kebahagiaan, jika hukumnya dibuat untuk semua lelaki dan tidak ada untuk wanita?"

"Saya gembira, bahwa saya suatu ketika dapat melepaskan tata krama Jawa yang ribet itu --"

"Di antara kami, mulai dari saya, kami tinggalkan semua adat sopan santun. Perasaan kami sendiri yang harus mengatakan kepada kami sejauh mana cita-cita ingin bebas kami boleh bergerak."

"... ajaran Islam sendiri yang mengizinkan laki-laki menikah dengan empat wanita sekaligus. Ajaran itu yang menyebabkan hal ini tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam. Tapi, saya selama-lamanya akan tetap menganggapnya sebagai dosa."

"Pekerjaan serendah-rendahnya akan saya kerjakan dengan rasa syukur dan rasa cinta, asal saya bebas dari keharusan menikah."

"Di sini orang diajari membaca Al Qur'an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya."

"Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad lalu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah."

"Tolong kami untuk memberantas sifat egois laki-laki yang tak mengenal segan itu: iblis, yang ratusan tahun mendera, menginjak-injak perempuan sedemikian rupa."

"Sebagai manusia, saya merasa tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu seorang diri, lebih-lebih dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi kebodohan perempuan itu sendiri!"

"Semasa kanak-kanak pun, laki-laki sudah diajar memandang rendah anak perempuan. Acap kali saya mendengar ibu-ibu mengatakan kepada anak-anaknya yang laki-laki, bila mereka jatuh dan menangis: Cis, anak laki-laki menangis, seperti anak perempuan!"

Demikian beberapa kutipan dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Lain waktu saya sambung lagi. Selamat mengglorifikasi Kartini.