25 Desember 2014

Kaya

Halo, Indonesia! Apakah kita kaya raya? 

Menurut Bank Dunia, Indonesia menempati nomor 108 negara terkaya berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Dengan nilai US$ 3.475 setelah Guatemala, Armenia, dan Georgia. Hebatnya lagi, Indonesia mengalahkan India, Filipina, Pakistan, Sri Lanka, Maroko dan lainnya. Tapi apakah distribusi PDB per kapita yang disebutkan itu merata? 

Tidak usah muluk-muluk, akan sangat sulit menilai kemakmuran suatu negara berdasarkan PDB per kapita. Kalaupun besar, belum tentu distribusinya merata. Apalagi Indonesia memiliki sektor informal yang besar, underground economy. Seperti pedagang asongan, tukang ojek, dan sebagainya. Menghasilkan nilai tambah tapi tidak resmi dicatat. 

Kita bicara dengan lebih gampang saja. Potensi alam kita besar. Minyak, emas, batu bara, nikel, tembaga, sawit, karet, ikan, bla-bla-bla. Banyak sekali yang bisa kita gunakan. Apakah cukup kaya? 

Seorang petani memiliki puluhan hektar sawah. Tiap hari dia pergi ke sana, mencangkul, menanam, memupuk, memanen, semua diawasi. Lengkap. Tapi hasilnya buat hidup sehari-hari saja pas-pasan. Malah kalau sakit mesti puasa, mengalihkan pengeluaran makan untuk keperluan berobat. Bahkan untuk biaya sekolah anaknya terpaksa mengutang ke bank. Apakah dia kaya? 

Sama seperti petani di atas, Indonesia ini potensinya besar tetapi masih harus berhutang untuk menutup defisit anggaran (APBN). Kita punya potensi alam yang luar biasa melimpah. Mau makan tinggal cabut ubi di kebun. Mau ikan tinggal lempar kail dan jala. Tapi ternyata kebutuhan hidup bukan Cuma itu. Kita butuh kesehatan, fasilitas, infrastruktur, dan seterusnya. 

Berpotensi besar belum tentu kaya. Karena kaya itu lebih soal prestasi (pencapaian) daripada potensi. Kalaupun tidak mencapai surplus, paling tidak APBN bertahan di Break Even Point lah. Bukan apa-apa, kasihan anak cucu kalau diwarisi utang segunung begitu. 

Tapi pendapat saya ini tidak perlu diambil pusing. Belum tentu benar. Karena kebenaran hanya Tuhan yang tahu. Postingan ini cuma upaya jualan jamu. Meneruskan omongan orang sini ke orang situ. Cuma omongan. Cuma kata-kata. Hah angin. Maklum, orang awam. Orang bodoh. 

Yang jelas, Kisanak, saya menolak Indonesia dikatakan kaya Raya (nama kawan saya). Soalnya Raya tidak sixpack, cenderung buncit. Mendingan kaya saya. One pack. Mirip papan talenan. 

(Berkaitan dengan postingan sebelumnya)

21 Desember 2014

Asing

Banyak orang kita yang alergi dengan kata investasi asing. Padahal banyak yang belum kita bisa, butuh bantuan orang lain.

Sebelumnya, mari kita simak hukum alam yang terjadi di dunia: di negara yang labor-nya melimpah, maka technology & capital-lah yang command. Mari kita catat 3 hal utama: labor (tenaga kerja), technology (teknologi), & capital (modal). Indonesia termasuk negara dengan tenaga kerja melimpah, maka dibutuhkan teknologi & modal untuk tumbuh.

Pertanyaannya, "Apakah kita punya teknologi mumpuni & modal yang cukup?" No! Dari situ kita tahu bahwa investasi asing itu penting. Kita perlu teknologi & modal.

Bayangkan, dengan jumlah manusia sebanyak ini, bagaimana soal mobilisasinya? Maka kita butuh investasi pabrik Toyota di Indonesia. Dengan begitu tenaga kerja juga banyak terserap. Akhirnya kita belajar teknologi yang belum kita punya pula.

Kita ibaratkan saja Indonesia sebagai sebuah keluarga. Sebutlah keluarga Pak Bejo. Keluarga itu memiliki sebuah warung bakso. Pak Bejo ingin mengembangkan bisnisnya, sedangkan anggota keluarganya tidak ada yang punya modal cukup, maka Pak Bejo pinjam dana di bank. Lalu dia mempercantik warungnya, meremajakan peralatan makannya, dan seterusnya.

Awalnya Pak Bejo menggiling adonan bakso secara manual. Tapi untuk meningkatkan produktivitas dibutuhkan mesin penggiling. Dana dari mana? Boro-boro beli mesin, hutang di bank saja belum lunas. Kemudian dia bekerja sama dengan tetangganya yang bersedia meminjami mesin penggiling. Dengan catatan bagi hasil.

Bla-bla-bla.

Itu semua untuk apa? Menyambung hidup, meningkatkan kualitas hidup, menjamin kehidupan generasi selanjutnya, intinya untuk kemakmuran.

Kita sering terjebak nina-bobo bahwa kita ini kaya. "Sumber daya alam kita melimpah!" Katanya. Kalau tanpa teknologi & modal buat mengelola ya tidak jadi apa-apa.

Pendeknya, karena itu kita juga butuh hutang luar negeri. Salah satu bentuknya SUN (Surat Utang Negara). Buat apa? Ya buat belanja. Pembelanjaan negara berbeda dengan belanjaan ibu-ibu sosialita. Contoh belanja negara seperti pembangunan jalan, dan sebagainya.

Bagaimana jika ngotot tidak menghutang?

Nah, sekarang anak Pak Bejo butuh biaya sekolah. Karena hasil bisnisnya tidak mampu membiayai seluruh kebutuhannya, maka Pak Bejo menggadaikan sertifikat tanah. Lalu anak Pak Bejo pun dapat melanjutkan sekolah dan belajar di kelas memasak. Anak Pak Bejo ini bercita-cita menjadi koki profesional. Dia berharap dapat mengembangkan bisnis bakso Bapaknya.

Asal anti asing bukan berarti paling nasionalis. Belum tentu. Jika Pak Bejo anti mencari pinjaman, anaknya mungkin putus sekolah. Mungkin isterinya yang sakit tidak tertolong. Mungkin bisnisnya yang redup malah gulung tikar. Jadi ketika Pak Bejo anti menghutang, bukan berarti dia sayang keluarga.

Lagipula tidak ada yang secara istiqomah anti terhadap asing. Media sosial yang kita pakai ini produk asing. Data base-nya ada di tangan asing. Gadget yang kita gunakan juga produk asing. Kendaraan kita itu produk asing pula. Bagaimanapun kita terlanjur menjadi bagian dari dunia. Kita butuh asing. Asing butuh kita.

Tapi investasi asing tetap harus dikontrol. Jangan asal hutang, asal gadai, asal-asalan. Misalnya, Pak Bejo tidak perlu menghutang untuk membeli batu akik. Pak Bejo tidak perlu menghutang untuk membelikan isterinya berlian. Pak Bejo tidak perlu hal-hal yang tidak dibutuhkan.

Terakhir, sebaiknya kita berhenti terlalu percaya diri merasa sebagai negara yang kaya raya.

Ngomong-ngomong, kalau anak Pak Bejo sudah ikut kelas memasak, tapi masakannya masih terlalu asing... Mungkin dia minta kawing.

14 Desember 2014

Natal

Ada perasaan seperti capek tiap memasuki Desember (Natal), Pebruari (Valentine), dan sebagainya. Selalu muncul debat tahunan, misalnya soal boleh atau tidak mengucapkan selamat Natal. Tahun ini ribut, tahun depan ramai lagi. Padahal tahun-tahun sebelumnya juga sudah begitu.

Zaman terus berkembang. Banyak perkara hari ini yang tidak ada dalil naqli-nya. Perkara-perkara itu akan selalu menjadi perdebatan panjang. Lalu muncul perbedaan pendapat. Itu boleh. Tapi jika kemudian salah satu pendapat mengkafirkan pendapat yang lain... Nah ini yang gawat.

Beberapa orang mengharamkan ucapan selamat Natal karena dianggap tasyabbuh (penyerupaan). Man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum; Barang siapa yang menyerupai golongan maka ia termasuk golongan itu.

Sebenarnya hadits tasyabbuh ini dulunya, di Indonesia, dipopulerkan oleh Mbah Hasyim Asyari (pendiri NU) untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Saya ulangi PERLAWANAN. Penjajah pantas dilawan. Saat itu NU membidik umat Islam yang memakai dasi, sepatu, dll menyerupai penjajah, bukan khas Indonesia. Itu perang budaya. Lalu sekarang ada yang pakai hadits yang sama untuk melarang ucapan selamat Natal.

Juga, mereka yang tidak memperbolehkan biasanya bersandar pada fatwa Ibn Taymiyah dan muridnya, Ibn Al-Qayim. Panutan kaum Wahabi. Tapi, jangankan mengucapkan selamat Natal, merayakan Maulid Nabi saja dilarang olehnya.

Lalu ada yang menarik. Beberapa orang menganalogikan ucapan selamat Natal dengan kalimat syahadat. Katanya, "Orang Kristen juga tidak akan mau mengucapkan kalimat syahadat!"

Itu analogi yang tidak berimbang. Kalimat syahadat itu isinya kesaksian bahwa pengucap mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Yang artinya pengucap mengakui ajaran Islam, ajaran Allah yang disampaikan Nabi Muhammad. Dengan kata lain dia memeluk agama Islam. Itu berbeda sekali dengan ucapan selamat Natal, yang lebih setara dengan ucapan selamat Lebaran.

Baiklah, itu beberapa alasan kenapa ada pendapat yang tidak memperbolehkan. Pendapat yang membolehkan mana?

Sumber-sumber otentik yang menjadi rujukan kaum Muslim tidak mempermasalahkan Natal. Silakan cek Quran & Hadits kalau tidak percaya. Bahkan pendapat ulama-ulama awal (salaf) pun tidak ada. Atau coba cek pendapat Imam Madzhab Syafii, Malik, Hanifah, Hambal, juga tidak mempermasalahkan sama sekali. Jadi persoalan ini muncul belakangan. Kenapa? Karena kelahiran Yesus itu tidak memiliki implikasi teologi. Malahan, secara garis besar narasi Quran tentang kelahirannya tidak berbeda dengan yang diceritakan dalam ajaran Kristen.

Singkatnya, atas dasar-dasar itulah ada pendapat yang membolehkan. Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin, misalnya. Menurut beliau, memang ada 2 pendapat yang berbeda. "Bagi yang ingin mengucapkan ucapan selamat ya kita hormati karena keyakinannya membolehkan." Katanya. Saya sepakat, hormati.

Nahdatul Ulama (NU) lewat Wasekjen PBNU, Sulthan Fatoni, kemudian mempublikasikan hasil muktamar. Bagi NU, tasyabbuh itu menyerupai sifat-sifat orang kafir dalam atribut, bukan dalam hal kebaikan. Jadi jika ada muslim memakai atribut Natal itu namanya tetap tasyabbuh. Hanya, bukan berarti otomatis menjadi kafir atau menjadi haram/berdosa.

Hadits di atas tadi menggunakan kata kerja (tasyabbaha), dan untuk memahaminya tidak cukup dengan "menyerupai (wujudnya)" tapi juga "motifnya". Lalu beliau menyimpulkan, "Maka adalah salah jika ada orang menjudge seorang muslim yang menggunakan atribut Natal sebagai kafir/berdosa."

Selain itu siapa lagi yang membolehkan ucapan selamat Natal atau bahkan rutin mengucapkan selamat Natal tiap tahun? Ada Syekh Al-Azhar Dr. Ahmad Al-Tayyib, Yusuf Qardawi sesepuh Ikhwanul Muslimin (induknya PKS) yang juga mengkritik fatwa Ibn Taymiyah, Din Syamsudin (Muhammadiyah), dan lain-lain banyak sekali.

Intinya, berbeda pendapat boleh. Itu biasa. Tapi tidak perlu sampai mengkafirkan pendapat yang berbeda. Toh tidak ada dalil naqli-nya. Sama halnya dengan perbedaan penentuan lebaran. Yang menggunakan metode hisab tidak perlu mengharamkan metode rukyat. Dan sebaliknya.

01 November 2014

Pasif

Ini tentang rokok. You know, bisa sangat panjang kalau bicara tentang batang itu. Batang tembakau. Seperti hal pro-kontra lainnya yang juga bisa menghabiskan berjam-jam obrolan.

Tengoklah infotainment kita. Makin kontroversial makin lama tayang menghiasi layar televisi. Coba saja hitung sudah berapa kali Jupe memenuhi program tivi Indonesia akhir-akhir ini? Orang besar memang begitu. Namanya yang besar, jangan berpikiran lain. Saya sedang membicarakan keinginannya mencari donor sperma yang ternyata banyak ditentang.

Lho ini jadi panjang membicarakan Jupe. Gawat. Padahal setahu saya, panjang-memanjangkan itu spesialisasi Mak Erot. Bukan Jupe. Mungkin dia sudah terlanjur memenuhi otak lelaki dengan kebesarannya.

Kembali soal rokok. Tetapi ini akan pendek saja. Atau paling tidak, saya usahakan tidak terlalu panjang.

Begini. Saya bukan perokok, meski dulu pernah coba-coba ikut hisap sekali dua kali. Biar dibilang gaul, trendy, dan masa kini. Kalau akhirnya saya berhenti mencoba itu bukan karena dengan merokok saya tidak merasa gaul, trendy, dan masa kini. Lebih soal bakat. Saya tidak berbakat merokok, dan tidak perlu dilatih supaya mahir.

Sering kali teman-teman mengatakan, lebih baik menjadi perokok aktif daripada perokok pasif. Katanya, perokok pasif lebih berbahaya.

Pertama, sebenarnya saya tidak sepakat dengan istilah perokok pasif. Kenapa orang yang tidak merokok disebut perokok? Rasanya aneh kalau menyebut saksi perampokan dengan perampok pasif. Atau menyebut korban pencabulan dengan pencabul pasif?

Oke, memang beda kasus. Maksud saya begini, ... Nganu ... Ah sudahlah, sepakat sebut saja perokok pasif biar mudah. Go ahead.

Kedua, saya setuju kalau asap yang terhisap perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif. Karena asap yang terhisap perokok pasif itu bekas perokok aktif. Ibaratnya asap rokok sebelum dihisap itu (maaf) sampah, setelah keluar dari perokok aktif jadi makin sampah.

Katakanlah kadar sampah asap rokok sebelum dihisap perokok aktif itu 1. Kemudian setelah dihisap dan dikeluarkan perokok aktif kadar sampahnya menjadi 2. Angka 2 inilah yang dikatakan lebih berbahaya jika terhisap oleh perokok pasif.

Tetapi jika saya (dengan sangat terpaksa) menjadi perokok pasif (yaitu ada 2 angka sampah terhisap oleh saya) lalu saya merokok aktif, apakah kadar sampah yang masuk ke tubuh saya menjadi 1? Jelas tidak. Jawabannya 3!

Jadi lebih beresiko mana?

Singkatnya, dengan merokok aktif tidak serta merta menghilangkan resiko sebagai perokok pasif. Seseorang menjadi perokok pasif karena ada orang lain yang merokok di dekatnya. Kalau kemudian dia ikut merokok aktif... Well, paham yang saya maksud? Biasanya perokok aktif itu juga sekaligus perokok pasif.

Sungguh menyakitkan jika dikatakan menjadi perokok pasif lebih berbahaya. Sakitnya tuh di sini! Melogika mestinya secara utuh. Jangan setengah-setengah. Jatuhnya bisa jadi semacam kemalasan berpikir. Barangkali benar kata Mc Cleland, "Human being is a lazy organism."

Astaga, ternyata tidak cukup pendek. Ya sudah lah. Ini pasti gara-gara Jupe Sang Pemanjang Pasif. Eh.

19 Oktober 2014

Pindah

Semua akan indah pada waktunya. Bisa saja, tetapi kasihan si Indah. Jadi rebutan semua orang. Padahal Puput saja masih jomblo, Fitri juga belum ada yang punya, banyak lah. Cuma, Fitri memang biasanya kuwalahan kalau sudah masuk lebaran. Karena begitu ramadan habis, tiap hati maunya kembali fitri.

Ngomong-ngomong soal keindahan, Kisanak, saya ada cerita menarik. Beberapa waktu lalu saya ke Karimunjawa. Di sana bertemu orang-orang dari berbagai daerah. Ada yang dari Semarang, Surabaya, bahkan dari Rusia. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, barulah saya tahu apa yang membuat mereka datang ke kepulauan yang terletak di utara Jepara, Jawa Tengah ini.

“Di sini indah!” Kata turis Rusia yang kebetulan bisa berbahasa Indonesia itu. Tasya namanya.

Saya mengamini saja. Meski sebenarnya dalam hati, “Di sini asin dan pedih di mata!” Karena waktu itu kami sedang snorkeling di Menjangan Kecil.

Usut punya usut, bule Rusia ini ternyata sudah cukup lama tinggal di Semarang. Tepatnya di Graha Estetika, Tembalang. Tapi apakah negara asalnya tidak indah? Kok sampai ke Indonesia segala. Entahlah, saya belum sempat tanya. Juga belum sempat ke sana.

Well, apapun itu. Tasya –barangkali- mengidamkan keindahan Indonesia, jadi ya worth it lah buat jauh-jauh datang ke Nusantara.

Sampean pernah dengar siklus hidup ikan salmon? Mereka tidak jauh beda dengan Tasya. Di musim tertentu ikan salmon akan bermigrasi dari laut ke sungai untuk bereproduksi. Seandainya bisa berbicara, Kisanak, mungkin mereka akan mengatakan, “Hidup ini indah ketika engkau dapat melanjutkan keturunan!” Jadi, apalagi tujuan migrasi kalau bukan menuju keindahan?

Atau ambillah contoh Theodore Roosevelt (TR), presiden Amerika Serikat termuda. Ia dilahirkan di New York, namun selanjutnya harus banyak berhijrah untuk mengatasi penyakit degeneratifnya seperti bronkial yang parah. Dari Paris, Italia, Austria, Jerman, sampai ke Mesir untuk mendapatkan iklim yang lebih bersahabat bagi tubuhnya. Perjalanan panjang, pergulatan dengan kondisi fisiknya, sebelum akhirnya Ia kembali ke Amerika Serikat, dan pada usia 42 tahun disumpah sebagai presiden.

TR bukan seorang playboy, Kisanak, meskipun telah banyak berganti-ganti.  Ia hanya berganti tempat tinggal, bukan pasangan.

Singkat saja. Banyak orang menginginkan sesuatu tetapi enggan melangkah. Sederhananya, mustahil bagi seseorang yang menginginkan ikan tongkol tetapi tidak mau beranjak dari tempat tidurnya di tengah ladang.

Kalau mau jadi perenang handal, jangan hidup di gurun. Kalau mau jadi orang lurus, jangan berkumpul dengan orang bengkok. Kalau bersama A tidak membuat bahagia, kenapa diteruskan. Kalau bersama B lah yang membuat bahagia, kenapa tidak diperjuangkan.

Kira-kira begitulah, Kisanak. Butuh kebesaran hati untuk mengakui, bahwa semua akan pindah pada waktunya. Move on!

Sudah ah, saya mau nelfon Fitri. Siapa tahu dia masih sendiri.

09 September 2014

Sembahyang

"Sampean ini lebaran apa natalan, toh?" Tanya seorang rekan dengan serius, "Kok saya ndak pernah lihat sembahyang...?"

Begini, Kisanak. Sembahyang itu terdiri dari 2 kata. Sembah dan Hyang (Tuhan). Kita mau membicarakan ini di tatar syariat, makrifat, apa srimulat? Mesti sependapat-sepemahaman dulu sebelum berdiskusi. Supaya tidak jadi sambal bawang rasa terasi.

Ada kawan saya yang kemana-mana pakai peci, celana cingkrang di atas mata kaki, jenggot panjang. Orang bilang dia rajin sembahyang.

Juga ada yang pasang foto Yesus melulu di internet, kutip surat ini-surat itu jadi status. Orang bilang dia rajin sembahyang.

Konon, seorang Semar dalam tidurpun sedang sembahyang. Bahkan, sebuah pantai wisata bernama Kuta di Bali, yang pernah kebanjiran sampah itu ternyata tempat sembahyang pula.

Apakah Tuhan ada dimana-mana? Di jalan, di internet, di dalam tidur, di tempat wisata, di mana-mana. Jadi tidak perlu repot ke masjid, gereja, pura, wihara, atau yang lainnya. Bisa di mana saja.

Di pesawat sering ada wanita komat-kamit terutama saat turbulence. Sekali waktu saya ingin iseng mengageti, "Tuhan bersama kita!"

Seandainya sampean tidak pernah berjumpa dengan seseorang di suatu gereja, Kisanak, mungkin dia beribadah di gereja lain. Itu kalau kristiani. Kalau muslim tidak solat ke masjid, bisa saja dia berjamaah dengan keluarganya di rumah.

Bahkan ada yang diam-diam sembahyang di kamar. Sengaja supaya orang-orang sebelah yang menonton bola tidak sungkan. Sehingga teriakan dari jiwa supporternya lepas. "Gol...!"

Ada lho, yang kalau baca quran dikencang-kencangkan agar orang di sekitar tenang. Sudah begitu, bacanya lama. Ternyata baru belajar. Itu belum wiridnya. Semua dibaca. Mulai ayat kursi sampai salawat nariyah. Kalau perlu khataman 30 juz. Doanya dari surat waqiah sampai sapu jagad tak ada yang ketinggalan. Jadi orang satu RT tahu dia sembahyang.

Ya tidak apa-apa. Orang kan beda-beda. Lain ladang lain belalang. Kalaupun belalangnya sama di semua ladang, asal ada sumur di sana bolehlah kita menumpang mandi.

Beda mereka, beda saya, Kisanak.

Saya kalau berdoa memang singkat saja. Rasanya sungkan. Karena makin lama kian mendikte. Takut kurang ajar sama Tuhan.

04 September 2014

Tertawa

Pertama kali saya menulis mungkin sewaktu TK. Untung saat itu belum mengenal media sosial. Betapa memalukannya jika memposting tulisan yang tidak rapi. Dokter saja membaca tulisan saya bisa gumoh semalaman.

Akun media sosial saya yang pertama adalah Friendster. Sekitar tahun 2006 atau 2007. Maklum, ABG masa itu. Biar dibilang trendy. Kalau online mesti ke warnet dulu. Bayarnya 3000 untuk 1 jam. Lumayan buat stalking profil gebetan.

Seiring berjalannya waktu, saya juga berjalan. Supaya sehat. Maksudnya, berusaha mengikuti perkembangan zaman. Ada Facebook, Youtube, Instagram, dan seterusnya yang entah berapa sekarang jumlahnya. Malah ada biro jodoh online segala. Bukan, saya bukan anggotanya. Cuma sempat mengintip sedikit saja. 

Saya 'kan tidak ikut begituan juga sudah laku. Kalau tidak ya obral.

Main media sosial kurang afdol kalau tidak pernah alay. Benar, saya juga pernah selfie dengan angle dari atas sambil manyun. Anak sekarang bilang sweet duck. Masih ada setumpuk foto itu di album Facebook. Sengaja tidak saya hapus. Supaya ingat, saya pernah se-menjijikkan itu. Bahan cerita buat anak cucu.

Dari sekian banyak akun terdaftar di media sosial, saya paling suka Blogspot. Di sini fluktuasi kejiwaan saya terdokumentasikan dengan cukup rapi. Misalnya, mudah melacak kapan hidup saya dikelilingi puisi. Ada juga masa-masa dimana rasanya ingin bunuh diri. Tapi akhirnya lewat blog saya berusaha menulis lebih serius. Menuangkan pemikiran-pemikiran canggih masa kini. Tampil berkelas. Sok pintar. Kutip sana-sini.

Tapi, lho, malah dianjurkan menulis buku komedi. "Cocok genrenya!" Kata seorang kawan.

Mestinya saya tersinggung. Orang sudah peras otak sampai mengkerut kok dikira sedang melawak. Dagelan itu biar jadi spesialisasi arek Srimulat. Tugas saya memberi pencerahan pada anak muda supaya tidak sesat. Bukan melawak.

Atau, apakah pelajaran hidup yang paling serius adalah lawakan? Belajar menertawakan orang yang gontok-gontokan membela agama. Menertawakan artis yang operasi plastik agar hidungnya lancip mirip tanduk rusa. Menertawakan semuanya. Meski ternyata yang ditertawakan itu diri sendiri.

Barangkali dunia ini hanyalah panggung komedi. Dan tingkat spiritual tertinggi adalah mampu menertawakan diri sendiri.

Ah itu filosofi hiburan. Gaya politisi cari makan. Diplomasi negara keok perang. Yang jelas semangat menulis saya runtuh lantaran saran teman tadi. Padahal tulisan ini demi kemaslahatan umat.

Biarpun sepertinya umat sudah cukup dewasa. Mungkin mereka bisa tanpa saya. Iya, mungkin bisa. Ah, lebih baik saya bunuh diri saja. Dengan cara yang tidak terlalu menyakitkan...

*tahan napas*

01 September 2014

Menua

Ternyata hari ini tepat beberapa tahun yang lalu saya dilahirkan. Berapa tahun? Ah, rahasia.

Oke, oke, 17 tahun yang lalu.

Jadi teringat banyak kejadian di 1 September sebelum-sebelumnya. Dilempar tepung, diteplok telur, diguyur air. Boleh juga ditambah irisan wortel dan kol, juga beberapa sendok garam. Supaya mirip adonan bakwan.

Tetapi sekarang bukan masanya. Mungkin saya tidak muda lagi. Ratusan ucapan di wall Facebook, telepon tengah malam, puluhan SMS, itu semua masa lalu. Hari ini berbeda. Malah saya terpaksa pasang kode persis paragraf pembuka di atas itu menjadi status BBM, FB, juga Twitter. Berusaha mengingatkan kawan-kawan.

Akhirnya ada juga yang mengucapkan selamat ulang tahun. Semoga umur panjang, rezeki lancar, dan yang paling menyebalkan cepat nikah. Whatever, terima kasih, Bro, Sist, Mas, Mbak, Dik, Kang, Yu, Pak, Bu, Tante, pokoknya semua. Doakan saja sakinah mawadah warahmah, dan segera diberi momongan. Eh, ini jadi mirip ucapan buat pengantin baru. Salah fokus. Maaf.

Di umur yang sekarang ini harapan saya tidak banyak. Cuma sekiranya menjadi prioritas... semoga Chelsea Islan segera luluh hatinya. Sehingga kami dapat mengundang sampean-sampean di hari bahagia itu. Mohon doa restu.

Sebagai penutup… bukan, saya tidak akan menyanyikan sebuah lagu. Karena bagi saya satu buah saja tidak cukup. Harus ditambah 2 biji. Iya, saya memang penggemar buah-buahan dikotil.

Baiklah, ini penghibur diri. Selamat ulang tahun. Atau lebih tepatnya selamat memperingati hari kelahiran. By the way saya tidak setua itu. Lagipula, age is just a number. Selamat menempuh hidup baru.

29 Agustus 2014

Arloji

"Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Sahabat saya yang super (apa sudah mirip Mario Teguh?), begitulah penggalan naskah proklamasi yang dibaca Bung Karno pada 17 Agustus 1945. Kemudian meski dengan seksama, tapi tak boleh lama-lama. Singkat, padat, dan jelas. Masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia zaman baheula?

Oh ya, sebelum terlampau jauh. For your information, saya menulis ini ditemani semangkuk bubur kacang ijo. Meski dari penampakannya lebih cocok disebut coklat butheg ketimbang hijau. Tapi apalah arti sebuah nama jika sendirinya ingin menjadi yang lain. Seperti Kangen Band yang kurang ngangenin, mungkin. Bubur ini juga memilih takdirnya sendiri.

Dulu waktu kecil saya hanya mengenal sedikit jenis bubur. Pertama, bubur kacang ijo yang selalu disajikan tiap Jumat di TK Bina Patra (Cepu), taman masa kanak-kanak saya. Kedua, bubur sumsum yang dijajakan penjual sayur keliling tiap pagi. Ketiga, bubur merah-putih yang kami, orang tradisional Jawa, gunakan untuk selamatan (syukuran) peringatan weton atau hari kelahiran sesuai kalender Jawa. Ada 3 jenis bubur.

Tidak lama, saya mulai melebarkan sayap ke pergaulan tetangga kota. Di sana berkenalanlah dengan bubur ayam. Perjumpaan ini pasti sudah diatur Tuhan. Karena saya langsung jatuh cinta pada jilatan pertama.

Sejak saat itu saya sering jajan bubur ayam di Tembalang, Semarang. Langganan saya bubur ayam di pojok area Toko Tembalang, namanya Bubur Ayam Totem (Toko Tembalang). Dan bubur ayam warung Pak Brewok, tapi namanya bukan Bubur Brewok. Untungnya begitu. Tapi apalah arti sebuah nama.

Sekarang betapa terkejutnya saya. Ternyata ada banyak sekali jenis bubur di Nusantara. Belum seluruhnya pernah saya rasakan, atau setidaknya saya jilat. Tetapi hampir semua ingin saya coba. Ya, hampir. Tidak semua. Karena saya pasti tidak doyan bubur kertas.

Eh, maaf, kok jadi bubur-buburan. Tadi niatnya bukan menulis soal ini. Tapi ya sudah, terlanjur agak jauh. Halamannya juga mulai penuh. Bubur di mangkuk saya sudah tak tersisa pula. Tak terasa. Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya singkat. Makanya saya butuh jam tangan dimanapun berada. Biar cuma main layangan di pekarangan. Kan sayang kalau menyia-nyiakan waktu yang tak banyak ini. Jadi perlu arloji, sekedar pengingat diri.

Urip iki mung mampir ngombe, kata Kakek saya. Njih, Mbah, semua ini akan diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

26 Juli 2014

Rengginang

Lebaran datang lagi. Seperti bayang-bayang mantan yang tak bosan menghantui. Bukan, bukan saya. Itu kamu. Iya toh?

Memang begitulah sang mantan. Datang tak diundang, pulang ditahan-tahan. Lho, iya?

Terserahlah. Kembali ke topik. Lebaran. Kita sudah mafhum dengan kesamaan-kesamaan lebaran dari tahun ke tahun. Masih di seputar mudik, angpau, dan lain-lain sampai tentang penipuan. Musiman.

Penipuan musiman ini modusnya sama, serupa, mirip, atau bahkan persis. Tapi lucunya kita tertipu lagi dan lagi. Mungkin karena dikerjakan dengan rapi dan profesional, kita jadi terkecoh berulang-ulang.

Apalagi kalau bukan soal Khong Guan isi rengginang. Siapa yang tidak geli jadi korban penipuan ini? Saat berkunjung ke rumah tetangga, ada rupa-rupa toples di meja, termasuk kaleng Khong Guan. Ketika tangan tergoda membuka, glek... SURPRISE... Rengginang!

Tetangga yang super iseng barangkali menyematkan tulisan di dalamnya, "Maaf anda belum beruntung!"

Atau yang lebih usil, malah ditambahkan, "Coba kaleng lain!"

Lalu empunya rumah nyengir sambil berucap, "Minal aidin wal faidzin. Kosong-kosong ya..."

Di rumah berikutnya kita akan lebih berhati-hati. Menebak kira-kira di kaleng mana rengginang berada. Bak main lotre, ini adalah hal yang sungguh mendebarkan. Terlebih jika ada 2 atau lebih kaleng Khong Guan. Kalau asal buka, glek... Alhamdulillah bukan rengginang, isi kaleng itu ternyata keripik pisang.

Begitu seterusnya sampai rumah paling belakang. Kejutan demi kejutan dihadirkan. Bayangkan jika keliling dari ujung kampung ini ke kampung itu. Sudah pasti adrenalin terpacu.

Tapi berbahagialah yang setia menjadi korban penipuan tetangga. Di mana lagi berbagi tawa kalau bukan dengan orang-orang di sekitar kita.

Selamat tipu-menipu.

26 Mei 2014

Akal

Bolehlah saya menduga bahwa manusia adalah makhluk yang paling banyak menderita, jika dibandingkan makhluk lain.

Tidak percaya? Coba, makhluk apa yang lebih menderita ketimbang manusia? Setan? Memangnya situ pernah mewawancara setan? Paling-paling kalau ketemu sudah ngiprit duluan sebelum disapa. Boro-boro wawancara.

Yang paling sederhana saja, ambillah contoh binatang. Saya tidak percaya binatang lebih banyak menderita daripada manusia. Buktinya binatang jadi buas, beringas, kebingungan, cuma karena satu hal: lapar. Setelah dapat makan, kenyang, ya sudah. Mereka akan melanjutkan kegiatan yang lain yaitu tidur atau kawin. Kan tidak menderita. Kita saja kalau sudah tidur atau kawin, bahagianya bukan main.

Itu binatang. Berbeda dengan manusia yang meski sudah kenyang tetap liar. Meski sudah kawin masih kurang bahagia. Makanya main madu. Kalau tidak dapat restu, kawin lari. Atau diam-diam nikah siri. Yang tidak mau repot, jajan. Lebih baik beli sate daripada pelihara kambing, katanya.

Mending mana, kelakuan binatang apa manusia? Sebelas dua belas?

Lho, lho, beda satu angka. Kelakuan manusia dekat sekali dengan kelakuan binatang. Benarkah manusia adalah binatang yang berakal? Jadi beda satu angka ya akal itu. Selebihnya sama.

Sekarang apa manusia boleh lega karena memiliki perbedaan dengan binatang, yaitu akal?

Jangan buru-buru. Akal ini justru sering merepotkan. Yang membuat manusia lebih banyak menderita.

Karena berakal, Paijo tahu Honda Jazz lebih cantik dibanding Honda Beat miliknya. Mulailah dia memutar otak buat mendapatkan mobil cantik itu. Hutang, kredit, atau apapun. Jika tetap tidak dapat, menderitalah dia.

@UntoldSecrets: People spend money they don't have, to buy things they don't need, to impress people they don't even like.

Jadi, berakal saja tidak cukup. Tetapi juga harus sehat. Akal sehat itu mahal. Dalam ilmu Fiqh (Islam) saja, hukum fardlu (kewajiban) banyak dilekatkan pada Mukalaf. Mukalaf adalah orang yang baligh (dewasa) dan berakal sehat.

Artinya, memang ada harga mahal yang harus dibayar orang-orang berakal sehat. Tapi akan jadi jauh lebih mahal bagi orang-orang berakal sakit.

Saya tidak menggurui. Ini kan cuma dugaan. Yang sebenarnya, saya sedang menderita memikirkan twit ini:

@infoLengkap: Pumbaa dari film The Lion King adalah karakter pertama yang kentut dalam film produksi Disney.

Kenapa ada info selengkap ini. Duh, Gusti, akan saya apakan info seperti ini? Apa saya harus mengusulkan supaya dimasukkan ensiklopedi? Hhh...

Life is suffering, kata Buddha. Siapa bilang bahagia itu sederhana?

06 Mei 2014

Pendek

Banyak orang sudah tahu jika melakukan sesuatu akan berakibat buruk (bahkan pada dirinya sendiri), tapi tetap melakukan hal itu. Tanya kenapa?

Ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Mungkin. Atau saya yang salah. Barangkali karena belakangan terlalu banyak mendengar carut-marut UN (Ujian Nasional) yang amburadul, semua orang jadi mudah menyalahkan. Termasuk saya. Maaf.

Orang Indonesia percaya bahwa penyakit datangnya dari Tuhan, kesembuhan-pun demikian. Maka mereka berdoa sebelum menghisap rokok supaya terhindar dari kanker, impotensi, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin, bla-bla-bla seperti tertera pada bungkus rokok itu sendiri.

Yang terbaru malah, "Merokok membunuhmu!"

"Mana buktinya? Aku ngerokok sehari 3 bungkus, sehat-sehat aja. Malah si Basiyo yang bukan perokok mati duluan." Katanya sambil menyalakan batang pertama.

Ceritanya, Basiyo (temannya) tewas karena kecelakaan lalu lintas. Waktu itu Basiyo ditabrak truk yang sopirnya batuk-batuk tersedak asap rokok. Truknya oleng, lalu menyeruduk Basiyo yang sedang mengayuh sepeda butut sepulang dari acara Car Free Day.

"Tuh, kan, merokok bukan membunuhmu, tapi orang lain. Makanya ngerokok aja!" Lanjutnya menyiapkan batang ke dua.

Whatever. Sebetulnya, ada pesan sederhana dari para non-perokok. Boleh saja orang merokok, tapi jangan seret non-perokok terkena dampaknya. Begitulah kira-kira.

Meminjam istilah Sujiwo Tejo-tapi dengan maksud lain, bahwa kita (atau bukan kita) terlatih menjadi manusia jangka pendek. Yang penting sekarang happy, masa depan urusan nanti. Karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Serupa dengan orang yang berdoa dulu sebelum 'jajan' agar tidak terkena penyakit kelamin. Yang penting sekarang enak, buntutnya dipikir besok kalau tiba. Orang macam ini layak dikebiri.

"Lha wong urip iki mung mampir ngombe. Hidup ini singkat saja. Yang penting senang sekarang. Daripada belum sempat senang mati duluan. Ndak usah terlalu mikir panjang. Belum tentu umur juga panjang. Ya, toh!" Tutupnya sambil menghisap batang ke 5.

Kesimpulannya apa? Karena ini bukan karya ilmiah, saya rasa tidak perlu disimpulkan. Sekian. Jangan mempermainkan Tuhan.

16 April 2014

Takut

Setiap makhluk dibekali rasa takut. Gajah, binatang yang demikian besarpun takut pada tikus. Memang cuma dongeng ala Disney. Tapi begitulah cara orang menggambarkan iman yang kadang tak bisa di-kata-kata.

Biarkan itu tetap menjadi keyakinan. Seperti kita meyakini gajah takut pada semut. Benarkah? Tanpa tahu kebenarannya, kita selalu mengimani. Buktinya tiap pingsut, kita sepakat bahwa jempol (gajah) kalah dengan kelingking (semut).

Pingsut menjadi doktrin yang begitu kuat melekat. Ditanamkan sejak dini sekali. Kita tidak pernah mempertanyakan. Apriori.

Gajah kurang besar apa? Makhluk darat paling besar yang pernah terekam sejarah. Kok takut semut.

Tapi saya tidak akan mendiskusikan kebenarannya. Jadi jangan bertanya.

Maka, tak heran pula manusia memiliki rasa takut. Yang justru belakangan menjadi alat serba guna. Ternyata. Bisa dijual dan dibeli. Yang penting, wani piro?

Ada rasa takut yang dipelihara demi langgengnya kuasa. Sampai 32 tahun.

Ada rasa takut yang disirami supaya laku itu dagangan air suci. Jimat, keris, mantra, dan kawan-kawannya lah pokoknya.

Tetapi, lho, ada orang yang mbalelo. Jangankan sama setan, sama macan saja tidak ada takut-takutnya. Apalagi kok cuma sama preman terminal. Kalau perlu dikudeta kekuasaan gali lokal itu. Entah dia lulusan padepokan mana.

Barangkali kalau ada perang, dialah yang maju paling depan. Yang seragamnya beda diganyang. Sikat habis-habisan. Tapi kita juga tidak tahu, bisa jadi dia mati duluan kena peluru nyasar. Kita tidak tahu.

Atas ketidaktahuan itulah, biasanya, manusia tetap menyimpan rasa takut. Sekecil apapun itu.

Ini yang disebut dengan taqwa. Tak peduli sekuat apapun kita, kita diminta bertaqwa. Takut. Ittaqullah (Arab); takutlah pada Tuhan. Kita tetap tidak tahu atas apa yang belum kita tahu.

Ittaqullah!

07 April 2014

Take For Granted

Seorang sahabat pernah menelpon saya. Cuma ingin bertanya apa maksud "take for granted".

Saya juga bingung. Apa tampang saya ke-dosen-dosen-an? Batin saya.

Tapi dulu kita memang sering berdiskusi. Dan karena saya lebih tua (sebenarnya cuma selisih 3 tahun), jadi barangkali dia anggap saya lebih bertanggung jawab atas hal yang tidak dimengerti.
Akhirnya saya menuakan diri. Dengan sok tahu, sampai bikin analogi.

Sahabat saya mendapat kata itu dari lagunya Maroon 5. Kalau tidak salah begini, "When you lifted me up, I take you for granted..."

Oke, dua kalimat itu memang saling berkaitan. Pertama "you lift me up", kedua "I take you for granted."

Analogi saya, seperti saat kita ditawari bekerja oleh perusahaan bonafit, katakanlah PT-X. Kita akan menyia-nyiakan PT-X. Atau menyepelekan, meremehkan, sok jual mahal, dan apapun namanya itu.

Kasusnya di sini, PT-X lifted you up. So, you take it for granted.

Keadaannya akan berbeda jika kita yang melamar bekerja di PT-X. Kita akan jauh lebih segan, tidak merasa di atas angin, dan jauh lebih menghargai PT-X yang sebenarnya memang bonafit itu.

Saya pernah membaca bukunya David J. Lieberman, juga sedikit menyinggung "taken for granted", arah penjelasannya pun ke sana.

Intinya, saat seseorang menyadari bahwa kita taken for granted, dia akan menyepelekan kita. Maka Lieberman dalam bukunya menyarankan supaya kita memberi bumbu atau kesan bahwa semua bisa terjadi, termasuk I'd leave you for a better one. Hukum ketidakpastian, kalau tidak salah.

Waktu itu saya memang update status BBM, "Never take someone for granted. Because you might wake up one day and realize that you've lost diamond while you were too busy collecting stones."

Kalimat yang juga saya dapat entah dari mana.

Pesannya, bahkan jika someone lifts us up, belum tentu dia batu kali. Mungkin saja dia berlian. Kita cuma mesti lebih menghargai orang-orang di sekitar kita.

Dan saat we take him/her for granted untuk mengumpulkan batu-batuan kali, kita mungkin saja kehilangan berlian yang tidak kita hargai tadi.

But #CMIIW

27 Maret 2014

Ketus

Ini hanya dugaan. Belum tentu benar. Hipotesis. Berangkat dari hal-hal logis. Dan tanpa pembuktian.

Saya sangat meyakini, karakter sebuah generasi bisa sangat dipengaruhi oleh musik mainstream di zamannya. Oleh apa yang radio siarkan. Oleh apa yang televisi tayangkan.

Orang bilang, generasi 2000 ini melankolis sekali. Sendu. Mendayu-dayu. Cinta melulu. Serba kelabu.

Berbeda dengan generasi 90-an. Mereka lebih beruntung. Mereka punya musik melow yang mainstream seperti Pearl Jam, Radiohead, Nirvana, dan seterusnya. Jadi mereka lebih kuat. Katanya.

Jika memang benar, keyakinan saya tadi dapat diamini. Jika salah, mohon dimaklumi. Postingan ini tidak berangkat dari penelitian. Cuma observasi kecil.

Tetapi hipotesis mengenai pengaruh musik bisa kita persempit menjadi area individu, bukan generasi secara keseluruhan.

Ambillah contoh pribadi pemurung yang lebih banyak mendengarkan lagu emo ketimbang yang lain. Bisa jadi genre tersebut bukan cuma dipilih karena pas. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bahwa musik emo-lah yang membuatnya jadi semurung itu.

Well, maksud saya, awalnya dia murung lalu mendengarkan lagu emo. Pada akhirnya dia benar-benar menjadi se-pemurung itu.

Memang masih tetap dugaan.

Termasuk dugaan saya berikutnya, tentang musik blues. Genre yang dicintai setiap gitaris, kata Joe Bennett, karena blues adalah sebuah cara yang keren untuk tampil cool. Cool.

Menurut para maestro blues, musik yang berasal dari Mississippi ini sangat mistis dan serius. Identik dengan kernyitan dahi, sinis, dan ketus.

Kali ini pengalaman pribadi. Memang sangat sulit melepaskan sifat-sifat identik di atas ketika bermain blues. Melekat begitu saja. Entah karena apa. Seperti kutukan leluhur blues itu sendiri. John Lee Hooker, Jimi Hendrix, Robert Johnson, Blind Lemon Jefferson, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Beberapa orang telah menyadari keketusan saya akhir-akhir ini. Namun ada 2 hal berbeda di dalamnya. Pertama, saya (dan orang lain juga) bisa menjadi ketus karena merasa superior. Kedua, saya ketus justru saat merasa nyaman. Saat merasa punya kedekatan khusus dengan orang yang saya ketusi. Sama seperti nyaman saat bermain blues. Tiba-tiba menjadi ketus.

Kadang ketus pada Ibu saya, sahabat, teman dekat, dan lain-lain. Lebih mudah ramah (baca: jaim) pada orang asing.

Biasanya saya buru-buru cari cara mencairkan suasana begitu menyadari keketusan tak terduga tadi. Semoga terampuni.

Whatever. Saya punya kesibukan yang menuntut untuk tidak ramah sepanjang waktu. Ini melelahkan. Tapi harus dilakukan.

Mohon dicatat, saya tetap (sangat) mencintai orang-orang yang saya ketusi berkali-kali. Saya ingin melakukan dengan cara yang lebih baik. I wish I could.

"Kamu orangnya ketus ya, Mas?" Ya, maaf tidak bisa selalu seramah itu.

23 Maret 2014

Rasa

Dari postingan sebelumnya, "Kadang kita tidak perlu melihat apa yang bisa atau cukup dirasakan saja."

Tidak bermaksud membuat serial post. Tidak berusaha menyaingi Tersanjung atau Cinta Fitri yang sampai sekian jilid. Postingan ini cuma kebetulan beririsan dengan postingan sebelumnya.

Saya suka irisan cabai di semangkuk Indomie rebus. Kuahnya jadi terasa semakin 'seleraku'. Pedas, berani, berkeringat, pokoknya uwenak tenan.

Tapi itu dulu. Itu masa lalu.

Pertama, saya sudah berhenti mengonsumsi mie instan. Kata dokter, mie instan mengandung bahan-bahan berbahaya.

Kedua, saya mengurangi konsumsi makanan pedas. Ya, cuma makanan. Hal pedas (hot) yang lain tidak. Bukan apa-apa, rasanya seperti ada gejala ambeien. Bisa dibayangkan betapa menderitanya orang yang kena ambeien setelah makan Maicih level 10.

Itulah kenapa Indomie rebus dengan irisan cabai telah menjadi masa lalu saya. Penjelasan singkatnya seperti di atas. Panjangnya? Panjangnya lain kali saja. Bisa kita bicarakan dalam bentuk seminar.

Memang begitu, ada yang sampai butuh seminar buat memperjelas sesuatu. Padahal, there's nothing new under the sun. Artinya itu bukan hal baru. Hanya saja penjelasan yang ada sebelumnya tidak menjawab semua pertanyaan yang kemudian muncul. Makanya ilmu pengetahuan terus berkembang. Menjawab pertanyaan-pertanyaan baru untuk sesuatu yang lama.

Tetapi, toh, ada pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Namanya retorika. Juga ada sesuatu yang tidak membutuhkan penjelasan.

Kalau kita ditanya kenapa suka lagu Wonderful Tonight (Eric Clapton), misalnya, mungkin kita akan kesulitan menjelasakan karena apa.

Ada jawaban (maaf) basi seperti, karena lagu itu diisi dengan iringan gitar Fender Stratocaster.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, berapa banyak lagu yang diiringi Stratocaster? Lalu, apa semua lagu dengan iringan Stratocaster kita suka? Lagu Californication - Red Hot Chili Peppers, katakanlah. Belum tentu (suka).

Maka jawaban basi itu tidak tepat. Meskipun benar, itu cuma upaya pembelaan atau apapun namanya untuk sesuatu yang kita suka. Yang sebenarnya, kita tetap tidak tahu karena apa.

Apalagi jika pertanyaan tadi ditujukan pada orang yang sama sekali tidak mengerti teknis musik. Jawabannya akan tetap, tidak tahu. Pokoknya suka.

Rasa suka/tidak suka itu sangat subyektif. Penjelasan dari rasa suka bukan tidak ada, tapi itu akan tetap menjadi hal basi yang sebenarnya cuma upaya melogika rasa.

Hal paling mendasar dari suka adalah rasa, yang kata orang tempatnya di dada. Bukan logika, yang ada di kepala. Tuhan memisahkan keduanya karena memiliki tugas yang berbeda. Mereka saling menjaga tapi tidak memaksa.

Ada penjelasan yang mengesampingkan perasaan. Ada perasaan yang tidak butuh penjelasan.

Jika semua bisa dijelaskan, Tuhan tidak akan memberi manusia perasaan. Mungkin. Cuma mungkin.

Linda Destya Kurniawati, semoga tulisan ini cukup untuk pertanyaanmu yang tidak bisa kujawab waktu itu (Semarang, Sabtu malam, 22 Maret 2014).