19 Maret 2014

Kacamata

Tidak semua kacamata cocok untuk semua kondisi. Sunglass itu tidak cocok dipakai buat berburu di malam hari.

Eh, tunggu dulu. Kalau yang diburu itu teman kencan, barangkali masih relevan. Meskipun namanya sunglass, bukan moonglass. Nyatanya banyak yang pakai buat dugem.

Baiklah, memangnya apa yang mutlak di dunia ini? Makan soto pakai sumpit juga sah.

Tapi kacamata renang sungguh tidak pas dipakai di meja makan. Nah, ini mutlak. Kecuali nekat ingin menyelam. Di ruang makan? Ya menyelami hati calon mertua.

Saya ingat teori Six Hat Thinkings yang dipopulerkan Eduard de Bono. Menurut Bono, untuk 1 kasus saja kita bisa menggunakan 6 topi berbeda buat menilainya. Misal, topi detektif, topi petani, topi sarjana, dan seterusnya. Misal.

Jadi, apa masih ada yang mutlak?

Oh, saya sedang tidak membicarakan dogma. Tuhan sang pencipta, makhluk yang diciptakan, itu tidak masuk hitungan. Biarkan saja tetap mutlak. Apa bisa dinego? Jangan menawar. Awas dosa. Bisa diganjar neraka. Mending ramai-ramai ke surga. Katanya.

Lupakan, kita tidak sedang berbicara teologi.

Saya ingin tahu, jika mata seseorang minus kemudian diberi lensa silinder, apakah dia bisa membaca berita pesawat Malaysia Airlines di koran? Saya khawatir yang terbaca olehnya malah soal Jokowi Nyapres. Itupun bukan terbaca, tapi mengaku membaca. Yang ternyata, berita tadi pernah didengarnya dari radio, tapi tidak tercetak di koran itu.

Buru-buru menyimpulkan setelah melihat dengan satu kacamata yang (bisa jadi) tidak cocok itu tidak baik. Penilaian itu mungkin saja keliru.

Sekali-kali gunakanlah kacamata kuda. Ditutup samping kanan-kirinya. Karena kuda tidak dapat melihat apa yang ada di depannya. Dengan kata lain, tidak melihat apa-apa.

Benar, kadang kita tidak perlu melihat apa yang bisa atau cukup dirasakan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok