09 April 2015

Ruang

Media sosial mengajari kita untuk senantiasa ge-er pada tiap postingan orang. Apakah status, meme, twit, apa saja yang penting curiga dulu. Begitu.

Tanpa bermaksud membangunkan Nokia dari tidur lelap, saya ingin mengatakan bahwa mimpi connecting-people mereka nampaknya dikabulkan semesta.

Orang-orang kini terhubung. Untuk sebuah postingan saja, misalnya, puluhan kepala bisa merasa itu tentangnya. Lalu mereka membalas dengan postingan juga yang ditangkap kepala-kepala lainnya. Terus saja menjadi nyinyiran berantai.

Begitulah jejaring sosial bekerja. Sayang beribu sayang pencetusnya tak turut merayakan. Yang terbaru malah mereka melepas Lumia. Semakin jauh. Semakin lelap.

Zaman memang takkan segan meninggalkan sesiapa yang tak mampu jalan beriringan. Berduyun-duyun. Berarak menuju satu arah. Meski pada waktunya gerak itu melambat karena padat. Merayap. Orang kota mafhum betul soal ini.

Dari sana lahir tradisi baru oleh masyarakat urban dalam menggugat kebuntuan; menyalakkan klakson kencang-kencang.

Mereka tahu itu percuma. Mustahil mengurai kemacetan dengan berkali meninju horn. Tapi setidaknya dalam situasi demikian sesak, dimana nyaris tak mungkin bergerak, masih ada celah untuk rasa kesal tumpah. Ada saluran yang terbuka.

Kata Goenawan Mohamad, "Dalam hidup selalu perlu ada ruang yang cukup untuk hal-hal yang privat, sederhana, kecil, romantik, tidak berguna."

Maka berterima-kasihlah pada (pertama) Mark Zuckerberg (kemudian pada yang lainnya) yang telah membuat ruang bagi kita untuk bersumpah serapah sedemikian rupa. Dan berkeluh kesah sejadi-jadinya. Atau apapun yang tak berguna.

05 April 2015

Air

Kita sedang berada di zaman yang amat runyam. Arus informasi mengalir begitu deras. -- Tidak peduli apakah dari sungai Ciliwung, Nil, atau Mississippi. Kalau dimensi sungai tak mampu lagi menampung debit air maka meluap. Ke pemukiman, jalan, dan mana saja yang mungkin.

Akibatnya bukan cuma lantai kotor karena lumpur naik. Lebih parah lagi, ada potensi aliran liar listrik. Orang tewas tersetrum, hanyut, longsor, dan sebagainya. Lalu kita mulai mengomel tentang tata ruang kota, bla-bla-bla. Ya. Pelan-pelan dicari solusi. Dengan (maaf) tumbal banyak kejadian buruk tadi.

Informasi juga sama dengan air; awalnya tersedia saluran yang cukup. Kali, kanal, sodetan, gorong-gorong, dan lainnya. Semua dikendalikan dan ditata. Kalaupun ada luberan tak seberapa. Itu pasti kasus kecil dan langka.

Namun suatu saat terjadi anomali. Bendungan jebol, curah hujan tinggi, dan saluran yang awalnya didesain untuk mengatur arah aliran tak lagi memadai. Sebagian orang mulai bingung. Meski sebagian lagi berpesta merayakan apa-apa yang bisa didapatkan dari sana.

Saya hanya ingin menggambarkan betapa arus informasi (di internet utamanya) hari ini perlu mendapat perhatian. Apa yang telah dilepas di internet bisa diakses oleh siapa saja. Jadi saya setuju bahwa tak ada yang rahasia atau privat di sini. Dengan kata lain, bahkan anak sekolah menengah dapat dengan mudah membuka situs lendir. Apa tidak cukup membuat khawatir?

Air memang bermanfaat bagi manusia. Banjir juga hanya terjadi kalau kita salah mengelola. Pun internet. Pertanyaannya, apakah kita memang benar-benar sudah mampu mengelola? Sebelum berubah jadi malapetaka.

Soal air, saya ada ada pengalaman menyebalkan di bandara. Delay 4 jam gara-gara hujan lebat. Serasa seluruh air dari langit tumpah di tanah Jogja. Saya curiga mercusuar pengawas di luar sana sampai kisut kedinginan. Ingin mengamuk tapi urung.

Sebab, pesawat yang delay karena cuaca buruk sama tak-terbantah-nya dengan perempuan yang sedang menstruasi. Lebih baik diamkan saja.

Tapi, jika ada air yang menyebalkan tak lantas air lain tak boleh digunakan. Ya, nanti kita cebok pakai apa? Dan, kalau ada yang menggunakan internet untuk memasarkan narkoba tak lantas internet jadi haram. Analogi ini sungguh "maksa".