20 Februari 2011

Barongan

Kita pernah kebakaran jenggot ketika kebudayaan bangsa kita, Indonesia, diklaim milik bangsa lain. Mulai dari lagu rasa sayange, kesenian reog, dan seterusnya. Bahkan batik tidak luput dari klaim mereka. Padahal batik Afrika terinspirasi oleh batik Indonesia. Untungnya United Nations Education Social and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia. Sekarang kita bias bernapas lega. Tapi jangan terlalu girang, karena masih banyak harta kita yg rawan dari maling. Ingat kata Bang Napi “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat sang pelaku, tapi juga karena ada kesempatan”. Kalau kita menggembala kambing dengan mengikatnya di tengah hutan lalu meninggalnya pulang, jangan heran kalau kambing kita hilang. Beruntung kalau pelakunya ketahuan.

Sama seperti gembala, kebudayaan kita juga harus dijaga. Tidak cukup dengan dijaga, juga harus dirawat. Misalnya kambing tadi kita buatkan kandang besi dan dikunci dengan gembok khusus rangkap tiga. Akan menjadi sia-sia kalau kita tidak rutin memberikan makan, tidak pernah membersihkan kandang dan kambingya. Kalaupun hidup kambing itu pasti berpenyakitan. Apalagi kalau kita tidak pernah memberikan makan, sudah pasti celaka. Jadi kita wajib merawat kebudayaan kita. Seperti kata orang Jawa “Nguri-nguri kabudayan Jawi.”

Barongan, kesenian yg berasal dari Kabupaten Blora. Nasibnya tidak akan berbeda jauh dengan kebudayaan lain yg diklaim Negara tetangga kalau kita tidak menjaga dan merawatnya.

Agar barongan aman dari incaran maling, kita perlu mencintainya. Salah satu cara mencintai barongan adalah dengan menjadikannya ekstrakurikuler wajib di sekolah-sekolah seluruh Kabupaten Blora. Kemudian diadakan lomba kesenian barongan antar sekolah. Saya pikir inteligensia muda perlu mencintai budaya bangsanya. Biasanya rasa cinta itu akan dibawa sampai tua –bahkan akhir hayat. Tidak melulu dicekoki kebudayaan asing.

18 Februari 2011

Jangan Gerogoti Kharisma Penegak Hukum

Mengerikan. Lihatlah Indonesia hari ini, chaos di mana-mana. Kita merayakan demokrasi, kita melakukan apa saja dan berlindung pada dalil-dalil reformasi. Kita mengaku Bhineka Tunggal Ika, tapi membungkam dan meraibkan kerikil dari jalan pluralitas kita. Kita mengaku negara hukum, tapi berbuat seenak hatinya. Kita mengaku bangsa yg sopan, tapi dengan bangga menginjak-injak nilai moral yg kita punya. Kita menuntut kebebasan, dan benar saja, membakar rumah sebebas-bebasnya, membunuh orang sebebas-bebasnya, memaki pemimpin dan tetangga sebebas-bebasnya, menyerang penegak hukum sebebas-bebasnya, membebaskan terpidana sebebas-bebasnya, kebebasan sebebas-bebasnya. Kenapa tidak berlakukan hukum rimba saja?

Ketika terjadi kerusuhan di Makasar, Jakarta, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Cikeusik, Temanggung, mereka menyalahkan polisi. Mereka menuding ini-itu tapi tidak mau membantu. Melah mengompori orang semakin berani melawan dan anarki.

Media massa sudah saatnya ikut ambil bagian dalam menjaga stabilitas keamanan Indonesia. Bukan selalu melaporkan dunia apa adanya, tapi juga menggambarkan bagaimana dunia seharusnya ada. Bukankah masyarakat kota B akan berani melawan polisi kalau mendengar berita seperti ini,
“Terjadi kerusuhan antara masyarakat kota A dengan polisi. Tiga orang polisi dikabarkan tewas dalam kerusuhan tersebut, tujuh luka berat dan lima luka ringan. Empat orang warga yang awalnya ditahan karena diduga provokator telah dibebaskan setelah ratusan warga lainnya menduduki kantor polisi”


Tidakkah menyedihkan polisi-polisi itu. Apalagi ditambah dengan gambar-gambar warga membawa parang dan bom molotof, merobohkan pagar, membakar mobil, mengeroyok polisi, dst. Bayangkan apa yg akan terjadi kalau masyarakat kota B bersitegang dengan kepolisian. Masyarakat kota B unjuk rasa di depan balai kota misalnya. Bisa jadi nasibnya tidak akan beda jauh dari kasus kota A. Barangkali akan lain cerita kalau berita tadi menjadi begini,
“Terjadi kerusuhan antara masyarakat kota A dengan polisi. Warga kecewa karena tidak diizinkan memasuki balai kota. Beberapa orang melakukan perusakan pagar. Polisi menahan empat orang warga yang diduga provokator dan beberapa orang yang membawa parang maupun bom molotof dalam aksi ini”

    Bukankah masyarakat kota B akan lebih tertib. Setidaknya mereka enggan membawa bom molotof atau parang. Sukur-sukur tidak merobohkan pagar, atau malah tidak rusuh.

    Meskipun tidak mengajarkan anarki, tapi seolah-olah media telah memberi contoh bagaimana kekerasan itu lolos dengan dalih kebebasan. Parahnya lagi kalau penegak hukum dan pemerintah benar-benar kikuk menghadapi persoalan ini, bisa benar-benar rimba negara kita.

    Pada zaman seperti sekarang ini, media memegang peran besar dalam pembentukan opini masyarakat. Bagaimana menjaga opini masyarakat agar tidak kelewatan, bukan melulu menjual berita dan menggadaikan kabar.

    Ingat kasus perseteruan Indonesia-Malaysia? Ternyata kabar di Malaysia tidak seheboh di Indonesia. Opini dan reaksi masyarakat Malaysia tidak seliar di Indonesia –sampai membakar bendera Malaysia. Karena pers di sana memang menjaga perkembangan opini masyarakat.

    Memang ada kalanya kita harus bereaksi keras, tapi tidak harus dengan kekerasan. Bukankah segala sesuatu bisa diselesaikan secara intelek dan santun.

    17 Februari 2011

    Sentilan

    Arsip ini berisi kalimat-kalimat sindiran sederhana yg saya angkat dari pengalaman pribadi. Biasanya saya tulis di twitter dengan hashtag #sentilan, kemudian terupdate otomatis di facebook. Karena akun twitter saya terhubung ke akun facebook saya. Ada rahasia penting di balik kalimat-kalimat ini. Artinya ini bukan kalimat lugu. Tidak akan saya jelaskan. Silakan menebak!
    1. Kenapa kamu lebay? Karena saya tidak suka dengan yg kamu lakukan, bicarakan, dan tulis.
      Pun kamu lebih mengagumkan ketimbang saya.

    2. Kamu freak sekali. Mondar-mandir macam orang penting dikejar deadline sana-sini.
      Pun sebenarnya saya iri dengan aktivitasmu.

    3. Biar saya tebak, hari valentine kamu pasti tidak sesibuk saya memanjakan pacar. Alasanmu, kamu punya urusan lain yg lebih menyenangkan. Padahal saya tahu kamu memang tak punya kekasih.
      Pun saya bilang kamu menyedihkan, kenapa saya ingin ikut serta bersenang-senang denganmu.

    4. Kita lihat besok, apa yg bisa didapat orang sok sibuk sepertimu.
      Tapi, kalau orang sibuk saja nanti terseyok-seyok, bagaimana dengan nasib penggembira seperti saya.

    5. Kamu menyebalkan. Kenapa sok tahu.
      Pun saya menolak teori-teorimu, tapi harus saya akui kamu logis, berdasar, dan meyakinkan.

    6. Ingin saya katakan padamu “kamu hebat, kamu tahu banyak”
      Tapi saya tak mau. Gengsi.

    7. Dasar bocah sok eksis!
      Pun sebenarnya saya juga ingin eksis sepertimu, tapi saya tak tahu apa yg bisa membuat saya eksis.

    8. Sebenarnya saya iri denganmu.
      Pemikiran-pemikiranmu tak pernah terpikirkan dalam pikiranku.

    9. Kenapa kamu banyak berbicara tentang buku ini, tokoh itu. Tahukah itu membosankan.
      Membosankan karena saya tak mampu berbicara sepertimu.

    10. Saya frustasi tidak bisa sepertimu. Yang bisa saya lakukan Cuma mengata-kataimu aneh, agar tidak terkesan terlalu bodoh darimu.

    11. Saya tidak mau percaya kamu. Kamu terlihat seperti bocah kemarin sore. Saya malu diajari anak kecil.
      Tapi wawasanmu begitu luas, pandanganmu sudah seperti master sungguhan.

    12. Kadang saya harus berbisik tentangmu “dia benar”
      Pun Cuma pada diri sendiri.

    13. Kenapa kamu diam?
      Saya tahu sebenarnya kamu bisa saja menjungkalkan pendapat saya.

    14. Sok suci sekali kamu.
      Tapi negara ini memang akan hancur oleh kelakuan orang seperti saya. Korup.

    15. Kamu pikir kamu bisa mengajari saya? Jangan harap!
      Pun sebenarnya saya ingin belajar darimu.

    16. Saya tidak ingin orang tahu, saya mengagumimu.

    17. Kamu Cuma bocah yg banyak cakap! Teoritis! Omong doang! Tapi sepertinya saya jauh lebih menyedihkan darimu. Bahkan berteori pun saya tak bisa.

    16 Februari 2011

    Akor

    Saya ingin sedikit sombong. Tak apalah sekali-kali. Atau anda berpikir sejak awal saya memang sombong? Kalau begitu anggap saja ini kesombongan saya yg ke-sekian kali.

    Tentang musik. Gitar, satu alat musik yg paling saya mengerti seluk beluknya -terutama akustik. Lain? Saya bisa memainkan drum atau yg lain, tapi tidak begitu paham seluk beluknya.

    Gitar akustik adalah alat musik yg paling akrab dengan kita -kaum adam. Pertama, mungkin alat ini cukup murah. Dengan 500ribu rupiah saja kita bisa mendapatkan gitar akustik cukup bagus. Biasaya gitar seri 200 atau 300an. Meskipun ada juga yg harganya jutaan, tapi dengan gitar 500ribuan saya jamin anda sudah mendapat sound yg enak.

    Kedua, selain murah harganya, gitar akustik juga murah memainkannya. Asal bagian penting gitar lengkap, kita sudah bisa genjrang-genjreng kapanpun. Tidak seperti gitar elektrik yg butuh ampli. Belum lagi kalau kita memikirkan efeknya, pick up-nya, dll. Mahal.

    Ketiga, mempesona. Inilah yg terjadi di Indonesia. Kaum adam yg bisa bermain gitar mempunyai pesona tersendiri bagi kaum hawa -bahkan berlaku juga sebaliknya. Selain itu kita bisa "merayu" lawan jenis dengan bernyanyi sambil bermain gitar. Bawa saja gitar akustik di bawah jendela pujaan kita, bernyanyilah dengan hati. Mudah sekali membuat mereka terpesona. Kecuali kalau permainan kita benar-benar berantakan. Jangan salahkan ada panci melayang ke kepala. Ya, inilah keunggulan gitar akustik. Dan masih banyak alasan-alasan lain.

    Hampir semua orang yg bisa bermain gitar mempunyai lagu sendiri. Maksudnya lagu yg diciptakan sendiri. Menguasai empat akor (umum disebut kunci) saja sudah bisa mencipta lagu. Ingat Kuburan Band? Bermodal C-Am-Dm-G saja bisa membuat hit. Jadi ada harapan menciptakan lagu untuk tingkat pemula.

    Tapi ada kelemahan terbesar pada pemula -bahkan orang yg mahir- dalam membuat lagu, yaitu pada pilihan akor. Akor yg mereka pilih umumnya mainstream atau konvensional. Bukannya band-band papan atas juga memakai akor sederhana? Ya, di Indonesia. Tahu sendiri kualitas band mayor di negeri kita tercinta.

    Saya memang tidak bisa bermain arpeggio super cepat atau tapping ala Eddie Van Halen, tapi soal feel saya yakin orang berskill tinggi sekalipun (mungkin) jauh di bawah saya -tidak semua. Misalnya Joni gitaris terbaik di kampus. Dia mempunyai sebuah lagu dengan akor intro F-Am-Bb. Kalau saya yg memainkan intro itu bisa menjadi F-Am7-BbSus4-BbM7-Cm7. Tentu saja dengan panjang ketukan dan bar yg sama.

    Akor-akor dan sentuhan semacam ini mempunyai nilai plus. Vokalis mendapat bahan improvisasi yg lebih kaya. Suaranya pun terdengar lebih enak. Dan seterusnya.

    Inilah salah satu penyebab penghujatan terhadap band-band melayu saat pertama kali muncul dulu. Musik mereka dituding sembarangan, ecek-ecek, dsb. Anda bisa menilai sendiri.

    Akor ini sebenarnya mudah bagi mereka yg mahir. Bagi pemula pun cukup mudah asal mau mempelajari. Tapi hanya orang dengan kepekaan tertentu yg bisa meraciknya. Kuncinya ada satu; referensi memadai. Kalau kita cuma mendengarkan lagu yg ecek-ecek, ya hasil karya kita nanti tidak jauh dari sana. Padukan dengan feel yg kita punya. Itu yg paling pentind menentukan. Feel bakat/selera. Orang yg mengerti musik menilai kualitas kita dari sana.

    15 Februari 2011

    Freak

    Lucu. Sepertinya itu kata paling tepat untuk mendefinisikan band jamur Indonesia hari ini. Bagaimana tidak, hampir tiap mendengar lagu-lagu di radio atau melihat di teve bisa membuat saya berkernyit tiada henti. Sungguh menggelikan.

    Anehnya band-band itu bukan grup musik dagelan macam Teamlo, bukan juga band medley macam Sastromoeni. Ya, itu musik serius mereka.

    Entah apa tujuan mereka bermusik. Uang, popularitas, soul, idealisme, atau...? Terserah lah apa. Tapi tidakkah mereka mempunyai konsep musik yg dewasa. Bukan kacangan dan terdengar -bahkan terlihat- freak.

    Saya memang mengapresiasi segala jenis musik, tapi kita sudah pantas prihatin dengan ulah produser. Saya menyalahkan mayor label. Mereka yg paling bertanggung jawab. Apa? Pasar? Itu namanya egois.

    Baru saja saya melihat sebuah band melayu di teve. Saya benar-benar terkejut ketika melihat gitarisnya. Berambut gondrong, memakai gitar stratocaster, kacamata hitam, dan topi bluesman. Mas Gugun? Ya, Muhammad Gunawan vokalis dan gitaris Gugun Blues Shelter. Salah satu gitaris terbaik di Indonesia. Bahkan pernah menyabet gelar gitaris terbaik se-Asia Tenggara. Lebih terkejut lagi setelah di close up. Beuh, bukan Gugun! Pantesan lagunya...*%##$**#!

    Saya curiga sejak awal. Licknya hancur, distorsinya tidak menggigit, sound...suck, riffnya pun...undefine.

    Melayu. Tidak ada yg salah dengan genre ini. Tapi siapa bisa memberi tahu saya tentang equipment dan tangga nada terbaik untuk melayu? Gila. Bahkan dengan percaya diri seorang berambut mowhak membawakan lagu melayu. Tidak tahu band apa itu.

    Karena musik etnik pun mempunyai standar tersendiri. Dan kalau dimainkan minimal sesuai standar, hasilnya akan luar biasa. Kita ambil contoh Tiga Pagi dengan lagunya Mari Menari. Betapa indah dan listenable lagu dengan sentuhan riff sunda itu. Atau lagu Trisums yg Cublak Suweng. Dengarlah lagu yg dimainkan Dewa Bujana, Tohpati, dan Balawan itu. Tetap terdengar elegan dan skillful. Atau musik dengan equipment paling sederhana milik Jubing Kristianto. Ayam Den Lapeh, Gundul Pacul, dan lagu-lagu anak yg diaransmen ulang seperti Hujan Fantasy, Becak Fantasy, Delman Fantasy. Dahsyat. Jelas sekali ini bukan musik sembarangan.

    Sayangnya (kabar buruk) musik pilihan kita identik dengan tingkat intelektualitas kita. Sepakat? Kalau saya sepakat. Pengalaman yg mengajarkan saya.

    14 Februari 2011

    Hari Merah Muda

    Coklat, mawar, dan merah muda. Ya, semua hal yg identik dengan 14 Pebruari. Orang bilang ini hari kasih sayang. Valentine's Day. Hari Valentin. Saya menyebutnya hari merah muda.

    Ada yg memberi coklat untuk pasangan sebagai tanda sayangnya. Ada yg lebih memilih mawar. Apapun bendanya, paling banyak adalah benda-benda pink. Kalaupun terpaksa membawa mawar merah, bisa diakali supaya agak kusam. Celup-celupkan ke air misalnya. Atau apapun agar selayu mungkin. Merah pudar atau merah muda memang beda tipis.

    Di sekitar kita tentu ada orang-orang yg ikut merayakan hari merah muda. Tapi ada juga yg anti bahkan mengecam dan mengharamkan perayaan hari ini. Terutama muslimin-muslimat. Mereka bilang ini kebiasaan orang **** -bukan orang islam. Ada yg menuduh hari merah muda dekat dengan free sex. Bukankah ini naif.

    Saya tidak merayakan hari merah muda, tidak juga termasuk yg anti. Mengapa saya tidak anti -padahal muslim? Ah, saya mahasiswa. Orang-orang pada tingkatan seperti kita seharusnya bisa berpikir sepositif mungkin. Memang Valentine's Day pertama kali dirayakan orang non muslim. Tapi apa esensi hari merah muda ini. Kasih sayang kan. Ya, saya tahu anda pasti ingin mengatakan bahwa kasih sayang tidak harus pada 14 Pebruari. Nah dalam V'day kan juga tidak mengajarkan kasih sayang itu cuma 14 Pebruari. Maksud?

    Anggap saja hari valentin itu idul fitri. Kita bilang itu hari di mana kita saling memaafkan untuk kembali suci. Tidak bisakah kita memaafkan setiap waktu? Persis kasusnya dengan hari merah muda. Tinggal kita bisa berpikir global atau tidak.

    Malah saya ingin berterima kasih pada siapapun yg mempopulerkan hari merah muda ini. Ya, seharusnya kita berterima kasih. Mengapa? Karena dengan adanya hari Valentin, kita diingatkan tentang kasih sayang yg universal itu. Setidaknya setahun sekali kita ingat dan tergerak untuk senantiasa memberi kasih sayang. Teman, keluarga, pada siapapun dan dengan hal-hal sekecil apapun. Bisa saja pagi-pagi membuatkan sarapan untuk Ibu. Apa iya kita membuat sarapan untuk Ibu setiap pagi -terutama yg cowok? Saya yakin tidak. Semacam itulah. Kita bisa melakukan apapun untuk menunjukkan kasih sayang kita yg sering terlupakan.

    Jadi bagi saya adalah naif jika kita mengutuk perayaan 14 Pebruari. Lagipula kita kan memang dilahirkan untuk berbeda. Kenapa mesti menuntut keseragaman. Bagi yg merayakan ya biarkan merayakan. Kita kan bisa ambil hikmahnya. 14 Pebruari adalah salah satu reminder kita dari sekian banyak pengingat.

    11 Februari 2011

    Mengaji

    Meskipun sama-sama membahas tentang islam, dalam pemahaman saya pengajian dan mengaji itu berbeda. Seperti perbedaan antara kuliah umum dengan kuliah kelas/reguler –meskipun dengan pembicara yg sama. Kalau kuliah umum lebih banyak berbicara soal permukaan, kuliah kelas berbicara persoalan yg lebih khusus. Dengan begitu soal permukaan sendirinya akan terbahas.

    Ibaratnya islam itu tanaman. Model pengajian akan banyak membahas buahnya, rantingnya, daunnya, atau batangnya. Selain membahas materi pengajian, mengaji lebih banyak membahas akarnya, tanahnya, pengairannya, pupuknya, iklimnya, literaturnya dst. Bahkan dengan mengaji, materi pengajian dapat lebih mudah dibahas.

    Karena ini pengalaman pribadi saya, mungkin agak sulit dimengerti kalau belum dipraktekkan. Bandingkan, apa bedanya mengikuti pengajian akbar oleh Ustadz A atau Kyai B, dengan mengaji di pesantren/langgar/mushola/semacamnya tempat ustadz atau kyai tersebut mengajar santrinya.

    Misalnya Kyai A mengisi pengajian dengan tema “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman”. Dalam mengaji mungkin kyai tersebut tidak akan membahas tema itu. Bisa saja ia membahas tentang “Syarat Syah Sholat”. Pembahasan tersebut akan dengan mudah mengarah pada wudlu - air suci mencucikan (thoharotul muthoharoh) – hadist: annadhofatu minal iman: kebersihan sebagian dari iman. Ya, semacam itulah.

    Lagi, perbedaan pengajian dan mengaji terletak pada intensitasnya. Mungkin pengajian akan dilakukan pada hari-hari tertentu. Misalnya hari Maulud Nabi, Nuzulu Quran, dst. Kalau mengaji lebih intens lagi. Minimal sehari satu kali atau seminggu satu kali. Tapi kadang intensitasnya tidak selalu mewakili jenisnya –pengajian atau mengaji.

    Belasan tahun sudah saya ikut mengaji di Langgar Irsyadussalam, Kelurahan Tambakromo, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Indonesia –pleonasm. Alhamdulillah di sini saya belajar banyak. Saya pikir kalau rutin mengaji, kita sudah sama dengan tholabul ilmi (mencari ilmu) di pondok pesantren. Terutama model Jawa Timur-an.

    Mengaji di Langgar Irsyadussalam dilakukan dua kali sehari pada hari-hari biasa –lima kali sehari pada bulan Ramadlan. Sehabis maghrib dan isya. Materi mengaji ba’dal maghrib seperti mengaji dalam pemahaman kebanyakan orang, yaitu tadarus Quran. Tapi cara mengajinya tidak seperti di tempat-tempat lain –sepanjang saya tahu. Santri menyimak gurunya membacakan ayat-ayat Quran, setelah itu kitab ditutup lalu besoknya dibacakan lagi menyambung ayat kemarin, begitu seterusnya. Bukan, bukan begitu. Sang guru memang membacakan ayat Quran dan santri menyimak, tapi kemudian santri harus mendarus. Besoknya sebelum guru menyambung dengan ayat selanjutnya, santri harus membaca ayat yg dibacakan guru kemarin. Sekarang giliran guru yg menyimak. Baru setelah itu sang guru membacakan ayat lanjutannya.

    Sedangkan mengaji ba’dal isya membahas materi-materi tertentu. Tetapi pembahasannya tidak seperti dalam pengajian yg temanya ditentukan. Mengaji ba’dal isya membahas kitab tertentu. Kitab tertentu? Misalnya Al-Ibris yg berisi Quran beserta terjemahannya yg ditulis pegon (huruf hijaiyah gandul di bawah kalimat. Biasanya dalam bahasa Jawa), Tanbihul Mutaalim, Maslakul Abid, dsb.

    Beberapa orang alergi terhadap kitab-kitab semacam ini –bahkan mengharamkan. Biasanya dengan sinis mereka menjauhi. Mungkin orang-orang ini termakan dalil bahwa dasar Islam Cuma ada dua (dan saklek) yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Dan bisa saja mereka lupa atau sama sekali tidak tahu bahwa Rosul Muhammad memerintah kita agar mengikuti jejaknya, sahabat-sahabatnya, tabi’in, tabi’it tabi’in, dst. Apa hubungannya?

    Begini. Kita bahas dulu apa itu sahabat dan tabiit tabiin. Dalam bahasa Islam, sahabat rosul adalah orang yg sempat menyaksikan kehidupan Nabi Muhammad SAW: Wong kang ngonangi uripe Kanjeng Nabi. Baik itu di rumah, di masjid, di pasar, di sawah, di mana saja. Itulah mengapa dulu Imam Hanafi mengumpulkan hadist-hadist dari para sahabat Rosul. Mereka tahu persis apa yg diucap dan dilakukan Rosul Muhammad. Ingat definisi hadits? Hadits adalah semua ucapan dan tingkah laku Rosul.

    Tapi lambat laun sahabat akan habis dari dunia. Itu sebabnya Rosul memerintah kita agar mengikuti jejak tabiin. Mereka adalah orang-orang yg mewarisi ilmunya setelah generasi sahabat. Artinya orang yg mengikuti jejak Rosul tapi tidak sempat menyaksikan kehidupannya. Kemudian ilmu itu diwariskan pada tabiit tabiin, tabiit tabiit tabiin, dst sampai sekarang.

    Di antara tabiin tentu ada imamnya (pemimpin). Mereka adalah orang yg memimpin umat menjalankan syariat islam. Yang menjadi referensi atau rujukan tentang islam. Umumnya, dunia mengenal imam sebagai pewaris ilmu Rosul yg terdekat –setelah sahabat. Mungkin satu sampai tiga atau empat generasi di bawah sahabat. Barangkali mereka adalah Ulama (para ahli ilmu) generasi pertama. Ada 4 imam yg paling dikenal dunia dan menjadi panutan umat islam sampai hari ini. Imam Hanafi, Imam Syafii, Imam Maliki, dan Imam Hambali. Kenapa ajarannya berbeda? Sebenarnya tidak ada perbedaan, hanya saja mungkin referensinya berbeda atau ijtihadnya berbeda. Kita memang diperbolehkan berijtihad atau menafsirkan dalil.

    Setelah generasi imam, ilmu warisannya lebih baku karena bermodel seperti kurikulum. Mereka membukukan hasil tafsir menjadi kitab-kitab. Dan pewaris setelahnya adalah tabiit tabiin yg dipimpin ulama. Tidak sedikit alim (bentuk tunggal ulama) yg mengarang kitab. Tentu saja hasil ijtihad.

    Nah, kitab-kitab inilah yg digunakan mengaji di Langgar Irsyadussalam. Kitab-kitab itupun tetap berdasarkan Quran dan Hadits. Biasanya isinya adalah dalil dari Quran atau Hadits kemudian ditafsirkan maksudnya. Kalau Quran berisi 30 juz, kitab-kitab ini hanya membahas bagian kecil dari juz tersebut. Misalnya kitab Sulam Safinah membahas persoalan fiqh atau hukum-hukum islam. Di dalam Sulam Safinah nanti akan membahas beberapa hukum islam seperti rukun sholat, hukum nikah, hukum waris, dll. Disertai hadits berikut riwayatnya, dalil Quran, pendapat alim, dst. Mengapa ada pendapat ahli? Kalau begini kita masuk dalam pembahasan tentang nahyidin (warga NU) saja.

    Nahdlatul Ulama (NU) mengakui Ijma’ dan Qiyash sebagai pegangan muslim selain Quran dan Hadits. Ini bukan menyalahi aturan, karena Ijma’ dan Qiyash dituangkan dalam kitab-kitab tadi. Qiyash menerangkan hasil ijtihad yg tidak dijelaskan dalam Quran maupun Hadits karena pada masa Rosul belum ada kasus seperti ini. Misalnya, apa hukumnya orang meminum arak? Padahal dalil Quran dan Hadits membahas haramnya meminum “anggur”. Atau apa hukumnya orang mengendarai sepeda motor. Padahal dalil yg ada membahas kendaraan kuda dan onta. Ya, semacam itulah. Membahas hal-hal yg serupa tapi belum ada pada masa Rosul.

    Sedangkan Ijma’ adalah pendapat ulama itu tadi. Hal ini dilakukan supaya sesuatu yg samar bagi masyarakat umum menjadi jelas. Contoh MUI mengharamkan rokok, dst –meskipun menurut saya pendapat tentang haramnya merokok itu agak naif. Tapi percayalah ulama lebih tahu daripada kita. Dengan demikian NU memiliki empat pegangan; Quran, Hadits, Ijma, dan Qiyash. Satu tambahan lagi, NU menganut Madzab Imam Syafii. NU mengaku ahlussunah wal jamaah (saya jelaskan nanti).

    Saya cukup mengerti tentang NU karena Langgar Irsyadussalam termasuk basisnya. Kalau di luar Indonesia tidak ada NU atau Muhammadiyah. Mereka secara langsung mengikuti madzab imam ini atau itu. Tidak ada yg paling benar dari organisasi-organisasi atau imam-imam ini. Semua benar. Karena kalau kita memperdebatkan perbedaan yg ini, Islam bisa tertinggal jauh oleh zaman. Yang penting adalah bagaimana kita hidup berislam sebaik mungkin. Sesuai syariat.

    Tapi meskipun ijtihad itu syah, jangan pernah termakan pendapat mencurigakan dari satu orang yg mengaku alim. Ingat! Pendapat ulama bukan alim. Karena ulama terdiri banyak alim, sehingga mempunyai bahan pertimbangan yg cukup untuk mengeluarkan fatwa. Kalau mendengar pendapat alim yg mencurigakan, tanyakan dulu kebenarannya pada alim-alim lain. Jangan telan begitu saja. Salah-salah kita menjadi sesat. Naudzu billah min dzalik.

    Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Apapun yg kita tempuh, ingat Rosul Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa umatnya nanti akan terpecah belah. Dari ke-72 umat hanya satu yg masuk surga. Mereka Ahlussunah wal Jamaah.

    Lalu siapa itu ahlussunah wal jamaah? Apakah NU, Muhammadiyah, Jamaah Islamiyah, Ahmadiyah, LDI, atau yg mana? Ahlussunah wal jamaah adalah orang-orang yg mengikuti jejak Rosulullah Muhammad: Wong kang manut tindak-tanduke Kanjeng Nabi. Bisa disimpulkan, mereka yg tidak hanya mengerjakan perkara wajib saja, tapi juga perkara sunnah. Karena Kanjeng Nabi tidak hanya menjalankan kewajiban tapi juga hal-hal sunnah. Contoh hal sepele: wudlu itu wajibnya membasuh satu kali. Tapi karena Rosulullah membasuh tiga kali, kita harus mengikutinya supaya masuk ke dalam golongan Ahlussunah wal Jamaah.

    Jadi, ahlussunah wal jamaah itu belum tentu orang-orang yg mengikuti Imam A, Organisasi B, Madzab C, dst. Lantas? Kembali pada diri kita masing-masing, apakah kita sudah “manut tindak-tanduke Kanjeng Nabi”.

    Tambahan!
    Kalau mau ikut mengaji di Langgar Irsyadussalam, silakan ikut sholat isya berjamaah di sana. Setelah itu akan langsung dimulai mengajinya. Tidak dibatasi umur santrinya. Tidak peduli dari NU, Muhammadiyah, atau yg lainnya. Tidak harus mengikuti Imam Syafii, Hambali, Hanafi atau Maliki. Tapi materinya berbasis madzab Syafii. Siapa saja boleh ikut. Paling lama Cuma satu jam kok. Dan tiap harinya memiliki jadwal kitab yg berbeda-beda.
    Ikuti dulu, baru nilai sendiri. Mau tanya jawab tentang hukum islam? Datang saja. Tanya tentang tauhid, fiqh, adab, bahasa Arab atau tajwid? Bisa. Bahkan nahwu dan shorof pun bisa.
    Mungkin anda tidak menyangka “wudlu kita tidak batal karena kaki kita menginjak tai”. Mengapa? Karena tidak ada dalil yg menyebutkan bahwa barang najis itu membatalkan wudlu. Tapi (menanggung) najis itu merusak sholat. Jelas beda. Cukup cuci kotoran itu, kita sudah bisa sholat.
    Temukan hal-hal lain yg belum pernah anda sangka di sini.

    09 Februari 2011

    Puisi - Soe Hok Gie

    Gie, legenda aktivis (mahasiswa) Indonesia yg namanya tetap akan disebut dalam forum kemahasiswaan selama kaum inteligensia masih membicarakan kebenaran dan mengenang sejarah pergerakannya. Selama hidupnya Gie aktif menulis di berbagai media massa. Tulisan-tulisannya yg tendensius dan kritis terhadap pemerintah membuat Gie sering menerima ancaman kaleng. Tapi Ia harus mengecewakan sang peneror karena kemanusiaannya mengalahkan rasa takut atas usaha pembungkaman terhadap dirinya. Gie baru benar-benar berhenti menulis ketika alam kembali memeluk jiwanya dalam ketiadaan, di puncak Mahameru. Tiga tahun usai menggugat Soekarno dan menumbangkan rezim orde lama. Alam seperti mengabulkan doanya,
    "Seorang filsuf Yunani pernah berkata,
    Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
    yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
    dan yang tersial adalah umur tua.
    Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."


    16 Desember 1969 Gie harus meninggalkan dunia yg kotor tapi indah ini setelah Ia datang pada 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Tapi nafas pemberontaknya akan terus diwarisi mereka yg menentang ketidakadilan.

    Umumnya orang mengenal Gie melalui catatan hariannya yg dibukukan oleh LP3ES dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Kemudian Ia lebih dikenal setelah Riri Riza mengangkat kisah hidupnya menjadi sebuah film berjudul Gie (2005). Atau beberapa lagi dari artikel dan buku-buku karyanya:
    1. Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920
    2. Zaman Peralihan
    3. Orang-orang di Persimpangan
    Hari ini buah pena Gie telah menjadi inspirasi banyak orang. Pemikiran-pemikirannya akan tetap hidup bersama hidupnya peradaban.

    Selain menulis artikel yg bermuatan kritik sosial dan politik, Ia juga penulis puisi yg handal. Meskipun saya sendiri bingung tulisan Gie mana yg tidak puitis, berikut beberapa puisi Soe Hok Gie yg sangat menarik untuk kita simak.
    Teks disesuaikan dengan EYD


    Hidup
    (5 Januari 1962)

    Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
    Tapi terasa panjangnya karena derita
    Maut, tempat penghentian terakhir
    Nikmat datangnya dan selalu diberi salam


    Kepada Pejuang-pejuang Lama
    (1965)

    Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya
    Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya
    Dan datanglah kau manusia-manusia
    Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu
    Dan kita, para pejuang lama
    Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
    Yang berani menempuh gelombang
    (padahal pelaut-pelaut lain takut)
    (kau tentu masih ingat suara-suara di belakang..."mereka gila")

    Hai, kawan-kawan pejuang lama
    Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita
    Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita
    Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita
    Mungkin kita ragu sebentar
    ya, kita yang dahulu membina
    Kapal tua ini
    Di tengah gelombang,
    ya kita betah dan cinta padanya

    Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan pemberontak-pemberontak rakyat
    Di sana...
    Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru
    Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini

    Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya
    Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya
    Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya

    Ayo,
    Laut masih luas
    Dan bagi pemberontak-pemberontak
    tak ada tempat di kapal ini


    Sebuah Tanya
    (1 April 1968)

    Akhirnya semua akan tiba
    Pada suatu hari yang biasa
    Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

    Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
    Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
    Sambil membenarkan letak leher kemejaku

    (kabut tipis pun turun pelan-pelan
    Di lembah kasih, lembah Mandalawangi
    Kau dan aku tegak berdiri
    Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
    Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

    Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
    Ketika kudekap kau
    Dekaplah lebih mesra, lebih dekat

    (lampu-lampu berkerlipan di Jakarta yang sepi
    Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
    Kau dan aku berbicara
    Tanpa kata, tanpa suara
    Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)

    Apakah kau masih akan berkata
    Kudengar derap jantungmu
    Kita begitu berbeda dalam semua
    Kecuali dalam cinta

    (hari pun menjadi malam
    Kulihat semuanya menjadi muram
    Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
    Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
    Seperti kabut pagi itu)

    Manisku, aku akan jalan terus
    Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
    Bersama hidup yang begitu biru


    Pesan
    (Sinar Harapan, 18 Agustus 1973)

    Hari aku lihat kembali
    Wajah-wajah halus yang keras
    Yang berbicara tentang kemerdekaan
    Dan demokrasi
    Dan bercita-cita
    Menggulingkan tiran
    Aku mengenali mereka
    Yang tanpa tentara
    Mau berperang melawan diktator
    Dan yang tanpa uang
    Mau memberantas korupsi
    Kawan-kawan
    Kuberikan padamu cintaku
    Dan maukah kau berjabat tangan
    Selalu dalam hidup ini?


    Tentang Kemerdekaan

    Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan yang tak pernah berakhir,
    kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
    dan adik-adikku di belakang
    tapi satu tugas kita semua,
    menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis

    ...
    Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
    Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;
    Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
    Seperti juga perjalanan di sisi penjara

    Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
    Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
    Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya
    Kita adalah manusia merdeka
    Dalam matinya
    Kita semua adalah manusia terbebas


    Mandalawangi - Pangrango

    Senja ini,
    Ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
    Aku datang kembali
    Ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
    dan dalam dinginnya

    Walaupun setiap orang berbicara
    tentang manfaat dan guna
    aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
    dan aku terima kau dalam keberadaanmu
    seperti kau terima daku

    Aku cinta padamu,
    Pangrango yang dingin dan sepi
    Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
    Hutanmu adalah misteri segala
    Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

    Malam itu ketika dingin dan kebisuan
    menyelimuti Mandalawangi
    kau datang kembali
    dan bicara padaku tentang kehampaan semua

    "hidup soal keberanian,
    menghadapi yang tanda tanya
    Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
    Terimalah, dan hadapilah"

    Dan antara ransel-ransel kosong
    Dan api unggun yang membara
    Aku terima itu semua
    Melampaui batas-batas hutanmu
    Melampaui batas-batas jurangmu
    Aku cinta padamu Pangrango
    Karena aku cinta pada keberanian hidup

    *Puisi-puisi lain menyusul...


    Kenapa tulisan Gie begitu mempesona? Simak resep darinya:
    "Apa yang lebih puitis selain berbicara tentang kebenaran?"