09 Februari 2011

Puisi - Soe Hok Gie

Gie, legenda aktivis (mahasiswa) Indonesia yg namanya tetap akan disebut dalam forum kemahasiswaan selama kaum inteligensia masih membicarakan kebenaran dan mengenang sejarah pergerakannya. Selama hidupnya Gie aktif menulis di berbagai media massa. Tulisan-tulisannya yg tendensius dan kritis terhadap pemerintah membuat Gie sering menerima ancaman kaleng. Tapi Ia harus mengecewakan sang peneror karena kemanusiaannya mengalahkan rasa takut atas usaha pembungkaman terhadap dirinya. Gie baru benar-benar berhenti menulis ketika alam kembali memeluk jiwanya dalam ketiadaan, di puncak Mahameru. Tiga tahun usai menggugat Soekarno dan menumbangkan rezim orde lama. Alam seperti mengabulkan doanya,
"Seorang filsuf Yunani pernah berkata,
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua.
Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."


16 Desember 1969 Gie harus meninggalkan dunia yg kotor tapi indah ini setelah Ia datang pada 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Tapi nafas pemberontaknya akan terus diwarisi mereka yg menentang ketidakadilan.

Umumnya orang mengenal Gie melalui catatan hariannya yg dibukukan oleh LP3ES dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Kemudian Ia lebih dikenal setelah Riri Riza mengangkat kisah hidupnya menjadi sebuah film berjudul Gie (2005). Atau beberapa lagi dari artikel dan buku-buku karyanya:
  1. Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920
  2. Zaman Peralihan
  3. Orang-orang di Persimpangan
Hari ini buah pena Gie telah menjadi inspirasi banyak orang. Pemikiran-pemikirannya akan tetap hidup bersama hidupnya peradaban.

Selain menulis artikel yg bermuatan kritik sosial dan politik, Ia juga penulis puisi yg handal. Meskipun saya sendiri bingung tulisan Gie mana yg tidak puitis, berikut beberapa puisi Soe Hok Gie yg sangat menarik untuk kita simak.
Teks disesuaikan dengan EYD


Hidup
(5 Januari 1962)

Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita
Maut, tempat penghentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam


Kepada Pejuang-pejuang Lama
(1965)

Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya
Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya
Dan datanglah kau manusia-manusia
Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu
Dan kita, para pejuang lama
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
Yang berani menempuh gelombang
(padahal pelaut-pelaut lain takut)
(kau tentu masih ingat suara-suara di belakang..."mereka gila")

Hai, kawan-kawan pejuang lama
Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita
Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita
Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita
Mungkin kita ragu sebentar
ya, kita yang dahulu membina
Kapal tua ini
Di tengah gelombang,
ya kita betah dan cinta padanya

Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan pemberontak-pemberontak rakyat
Di sana...
Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru
Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini

Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya
Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya
Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya

Ayo,
Laut masih luas
Dan bagi pemberontak-pemberontak
tak ada tempat di kapal ini


Sebuah Tanya
(1 April 1968)

Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

(kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat

(lampu-lampu berkerlipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)

Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

(hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu)

Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru


Pesan
(Sinar Harapan, 18 Agustus 1973)

Hari aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara
Mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang
Mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?


Tentang Kemerdekaan

Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan yang tak pernah berakhir,
kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
dan adik-adikku di belakang
tapi satu tugas kita semua,
menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis

...
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara

Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya
Kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya
Kita semua adalah manusia terbebas


Mandalawangi - Pangrango

Senja ini,
Ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
dan dalam dinginnya

Walaupun setiap orang berbicara
tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

Aku cinta padamu,
Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
menyelimuti Mandalawangi
kau datang kembali
dan bicara padaku tentang kehampaan semua

"hidup soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah"

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Melampaui batas-batas jurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

*Puisi-puisi lain menyusul...


Kenapa tulisan Gie begitu mempesona? Simak resep darinya:
"Apa yang lebih puitis selain berbicara tentang kebenaran?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok