"Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir
dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari
bahwa dia tidak dapat memakan uang."
Saya tidak tahu persis kata-kata di atas milik siapa. Tapi,
rasanya kalimat yang menggugah itu bakal sulit meresap ke dalam keseharian
masyarakat Indonesia yang akrab dengan klenik. Bukan berarti saya meragukan
literasi warga +62.
Waktu kecil saya dilarang keluar rumah saat maghrib. Kata nenek,
nanti bisa diculik Wewe Gombel. Pikir saya, nenek paham betul bahwa makhluk itu
bekerja di shift malam. Meskipun
tidak tahu apakah Wewe Gombel benar-benar nokturnal, tapi toh saya patuh juga.
Hikmahnya setiap maghrib kami sekeluarga berkumpul di rumah, salat berjamaah,
dan mengaji bersama.
Jika dijelaskan secara telanjang bahwa saat maghrib sebaiknya di
rumah untuk makan malam bersama, mengaji, dan sebagainya itu barangkali saya
masih kelayapan sampai petang.
Atau, saya masih ingat kakek dulu menunjukkan sebuah pohon yang
cukup angker. Kami percaya saja. Apalagi orang-orang dewasa pun tampak segan
mendekat ke sana. Jangankan menebang pohonnya, menginjak patahan rantingnya
saja bisa bikin kami demam mendadak lantaran takut kualat.
Walhasil pohon itu berumur panjang.
Setiap tempat memiliki kearifan yang khas untuk mengatasi
persoalannya. Mitos-mitos yang berkembang di Nusantara belum tentu
mengindikasikan bahwa negeri ini kalah canggih dibanding negara-negara barat.
Amerika Serikat, misalnya.
Nyatanya, hari ini Indonesia memiliki hutan yang lebih luas
daripada negeri Paman Sam itu. Jadi, lebih canggih mana?
Tantangan kita sekarang adalah bagaimana cara menerjemahkan
kearifan yang telah ratusan tahun menjaga keanekaragaman hayati dengan sangkil
mangkus, supaya tetap kontekstual bagi generasi kini.
Saya mulai berpikir, bagaimana jika kita ciptakan saja mitos baru: "Menebang
satu pohon tanpa menanam paling sedikit satu pohon, maka dia takkan pernah
menjadi orang terkenal."
Semakin banyak pohon yang ditanam, maka semakin besar peluangnya menjadi
idola. Apakah sebagai selebgram, youtuber,
atau artis TikTok itu bisa diatur. Yang jelas mendapat lampu sorot.
Meskipun mereka akan menyadari juga bahwa yang dibutuhkan
paru-parunya bukan popularitas, melainkan oksigen hasil fotosintesis dari daun pohon
yang dia tanam.