26 November 2020

Sampah

Negeri ini seru sekali. Mau buang sampah saja harus mikir agak lama. Timbang lempar doang. Sudahlah bertahun-tahun di sekolah harus menghadapi ujian sampai puluhan bahkan ratusan mata pelajaran. Di ruang publik pun harus memecahkan soal yang sebenarnya perkara sepele saja.

Jadi, begini. Saya menjumpai tempat sampah yang memiliki tiga ruang terpisah:

Organik | Daur Guna | Daur Ulang

Sampah organik mudah dipahami. Tetapi bagaimana dengan daur guna dan daur ulang?

Saya bukannya tidak mendukung diversifikasi sampah. Atau segregasi? Apapun itu. Saya setuju seratus persen sampah mesti dipilah sejak ia dihasilkan. Tapi kan orang yang lemah literasi seperti saya bisa kesulitan jika harus menghadapi persyaratan semacam ini.

Kenapa tidak mencontoh toilet umum, misalnya. Mereka membuat pemisahan dengan lugas melalui bentuknya. Bahwa urinoar khusus untuk orang kencing dan kloset bisa digunakan untuk kencing sekaligus berak. Kan tidak mungkin orang salah alamat: buang air besar di urinoar.

Maka berterimakasihlah pada product designer yang menjadikan itu mudah dimengerti. Sebab atas ide mereka kita tidak perlu menahan kencing terlalu lama akibat berpikir akan membuang air seni ke lubang yang mana.

Saya jadi paham kenapa ada pekerjaan yang bernama ux writer. Selain supaya para anak tidak perlu repot mengajari orang tuanya cara membuat akun facebook. Kalau toh para orang tua masih saja meminta bantuan anaknya, saya pastikan itu bukan karena ux writer tidak melakukan pekerjaannya dengan baik.

Seumpama pabrik tempat sampah tadi membutuhkan jasa semacam ux writer, mereka bisa menyewa saya. Setidaknya istilah Daur Guna x Daur Ulang diganti menjadi lebih sederhana. Misalnya Plastik x Non Plastik. Atau Botol x Non Botol. Atau Kemasan Utuh x Non Utuh.

Masih banyak lagi pilihannya. Saya bisa membuatkan itu seratus biji kalau harganya cocok.

05 Juni 2020

Pohon

"Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang."

Saya tidak tahu persis kata-kata di atas milik siapa. Tapi, rasanya kalimat yang menggugah itu bakal sulit meresap ke dalam keseharian masyarakat Indonesia yang akrab dengan klenik. Bukan berarti saya meragukan literasi warga +62.

Waktu kecil saya dilarang keluar rumah saat maghrib. Kata nenek, nanti bisa diculik Wewe Gombel. Pikir saya, nenek paham betul bahwa makhluk itu bekerja di shift malam. Meskipun tidak tahu apakah Wewe Gombel benar-benar nokturnal, tapi toh saya patuh juga. Hikmahnya setiap maghrib kami sekeluarga berkumpul di rumah, salat berjamaah, dan mengaji bersama.

Jika dijelaskan secara telanjang bahwa saat maghrib sebaiknya di rumah untuk makan malam bersama, mengaji, dan sebagainya itu barangkali saya masih kelayapan sampai petang.

Atau, saya masih ingat kakek dulu menunjukkan sebuah pohon yang cukup angker. Kami percaya saja. Apalagi orang-orang dewasa pun tampak segan mendekat ke sana. Jangankan menebang pohonnya, menginjak patahan rantingnya saja bisa bikin kami demam mendadak lantaran takut kualat.

Walhasil pohon itu berumur panjang.

Setiap tempat memiliki kearifan yang khas untuk mengatasi persoalannya. Mitos-mitos yang berkembang di Nusantara belum tentu mengindikasikan bahwa negeri ini kalah canggih dibanding negara-negara barat. Amerika Serikat, misalnya.

Nyatanya, hari ini Indonesia memiliki hutan yang lebih luas daripada negeri Paman Sam itu. Jadi, lebih canggih mana?

Tantangan kita sekarang adalah bagaimana cara menerjemahkan kearifan yang telah ratusan tahun menjaga keanekaragaman hayati dengan sangkil mangkus, supaya tetap kontekstual bagi generasi kini.

Saya mulai berpikir, bagaimana jika kita ciptakan saja mitos baru: "Menebang satu pohon tanpa menanam paling sedikit satu pohon, maka dia takkan pernah menjadi orang terkenal."

Semakin banyak pohon yang ditanam, maka semakin besar peluangnya menjadi idola. Apakah sebagai selebgram, youtuber, atau artis TikTok itu bisa diatur. Yang jelas mendapat lampu sorot.

Meskipun mereka akan menyadari juga bahwa yang dibutuhkan paru-parunya bukan popularitas, melainkan oksigen hasil fotosintesis dari daun pohon yang dia tanam.

08 Januari 2020

Meriang

Melihat situasi yang berkembang belakangan sungguh membuat hati saya tergerak untuk turun tangan, bukan cuma urun angan. Seingat saya kata-kata cantik itu diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Pak Anies Baswedan.

Pak Anies memang jagonya.

Ya tapi memang baru hati saya yang tergerak. Gerakan ini mungkin normal, mungkin juga natural. Tapi selama masih di hati apa layak disebut turun tangan? Atau sebut saja supranatural karena belum kelihatan wujudnya.

Baru-baru ini Jakarta dan sekitarnya banjir cukup hebat. Mau disebutkan yang lain? Baiklah, juga Jawa Barat dan Banten yang menderita kebanjiran. Juga genangan--baiklah.

Saya yang sedang di luar kota ingin segera pulang ikut menyelesaikan permasalahan bangsa ini. Sempat deg-degan juga sebab landasan pacu bandar udara Halim Perdanakusuma mendadak berubah menjadi danau. Padahal saya harus mendarat di sana. Untung saja air pergi sebelum saya masuk ke udara Jakarta yang hari itu tidak berengsek-berengsek amat.

Jakarta adalah ibukota. Yang terjadi di sana sedikit/banyak bisa berdampak pada seluruh negeri. Biarpun rumah saya tidak ikut kebanjiran, saya harus ikut turun tangan. Bukan cuma urun angan.

Maka, sebelum bergerak, saya menyimak setiap pemberitaan di teve dengan khidmat. Lalu di sana tersiar pula kasus dugaan salah kelola dana Jiwasraya. Triliunan uang yang dihimpun ludes. Penyedia jasa asuransi pelat merah ini mengalami gagal bayar.

Dada saya mulai sesak. Selain karena masuk angin Sabtu lalu yang membuat saya harus mendapatkan perawatan urut dari tangan tidak terlatih (tapi ampuh) isteri saya, juga tak kuasa membayangkan berapa karung uang yang lenyap itu. Rasanya bisa engap jika kebanjiran duit belasan/puluhan triliun.

Tapi televisi seolah tidak ingin berhenti menyiksa saya. Mereka mengabarkan kapal milik Tiongkok merangsek masuk ke ZEE Indonesia.

Kepala rasanya ingin pecah. Bagaimana mungkin itu terjadi, jika sebelumnya Menhan Prabowo Subianto melakukan kunjungan kerja sama ke Negeri Tirai Bambu. Lagipula Menteri KKP Susi Pudjiastuti sudah diganti Pak Edhy Prabowo yang jelas punya kemampuan mumpuni, juga akrab dengan Menhan.

Rasa nasionalisme saya membara. Jangan sampai kedaulatan negara kita tercinta diinjak-injak antek asing! (Semangat Pak Prabowo sewaktu kampanye Pilpres kemarin menular. Ada meja yang bisa saya gebrak?)

Tapi, Tiongkok kan negara sahabat, kata Pak Prabowo. Sebagaimana penyampaian Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut, tidak usah dibesar-besarkan.

Benar juga. Ada persoalan yang lebih besar. Masih di saluran teve yang sama, yaitu kabar AS melakukan serangan di Baghdad, Irak, dan menewaskan seorang jenderal negara Iran. Dan dibalas dengan peluncuran rudal Iran ke pangkalan militer AS di Irak.

Kali ini saya menggigil. Pertama, kaum cerdik cendekia memprediksi Perang Dunia 3 bakal pecah. Kedua, saya menggigil karena masuk angin Sabtu lalu belum sembuh juga.

Ngilunya hilang, batuknya datang. Anak saya juga begitu. Tirah baring sama-sama.

Permasalahan bangsa--apalagi dunia--saya tunda dulu sampai saya menyelesaikan urusan-urusan saya. Ya, setelah urusan kesehatan, sepatu futsal, gitar baru, sepeda, pulang kampung, portofolio, rekreasi, cicilan properti, 

Yang penting urun angan saja dulu. Turun tangannya lain kali.