22 Desember 2012

Mak Erot

Orang, saking obsesifnya "out of the box", perayaan hari yang cuma setahun-sekali pun dibilang latah.

Hari Ibu, misalnya saja. Makin ramai pembicaraan di ruang publik soal Ibu, makin banyak orang berkampanye mengolok-olok peraya 22 Desember. Katanya cuma ingat Ibu di hari itu saja, ada juga yang bilang korban trend, bla-bla-bla.

Padahal menurut kesimpulan saya, ramai-ramai mengolok peraya hari macam itupun termasuk aliran latah juga.

Perhatikan. Obsetor "out of the box" ini kenapa berlatah-latahan merayakan Idul Fitri? Kenapa jadi korban trend Natal? Atau Waisak juga Nyepi? Inkonsistensi? Bisa jadi.

Kembali pada apa yang saya tulis sebelumnya, soal valentine. Hari macam ini sekadar reminder. Seperti Hari Raya Idul Fitri yang mengingatkan kita untuk saling memaafkan. Tapi apakah artinya meminta maaf atau memaafkan hanya kita lakukan saat Idul Fitri tiba saja? Sama juga Hari Ibu. 22 Desember cuma reminder.

Merayakan atau tidak bukan soal. Asal tidak saling sikut. Saling sikut juga boleh, tapi jangan menyikut orang yang tak mau disikut. Kalau bersikeras menyikut ya silakan saja, resiko tanggung sendiri (pasti). Karena ratusan LSM siap menggonggong (hush!) memperjuangkan si tersikut. Human right, katanya. Mereka sudah seperti Hachiko saja. Royal. Eh, bukan, maksud saya (uhm) loyal (uhuk).

Kembali menyoal hari Ibu dan kemenakannya (maksudnya hari valentine, hari bumi, hari batik, dkk itu). Padahal kita tidak sedang merayakan. Me-raya-kan. Mem-besar-kan. Membesarkan. Kita cuma mengingat saja. Tapi terlanjur jadi perayaan meski tidak dibesarkan, terpaksa obsetor "out of the box" membesar-besarkan perkara yang sebenarnya sederhana saja-kalau tidak mau disebut kecil. Saya curiga mereka pewaris Mak Erot. Atau bekas pelanggan-malah masih.

Sudahlah, selamat membesarkan!

21 Desember 2012

Jaman

"Kita orang Islam belum mampu menerjemahkan kebenaran ajaran Islam dalam suatu program pencapaian. Antara ultimate values dalam ajaran Islam dengan kondisi sekarang memerlukan penerjemahan-penerjemahan. Dan ini tidak disadari. Di situ mungkin kita akan banyak berjumpa dengan kelompok pragmatisme, tapi jelas arahnya lain. Karena seperti itulah kita menjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha pencapaian dan cenderung ekslusif.

Terus terang, aku kepingin sekali bertemu sendiri dengan Nabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku sudah kurang percaya pada orang-orang yang disebut pewaris-pewarisnya." (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Saya muslim (meski pernah dikata-katai; sampeyan ini orang kebatinan atau animisme? kok sepertinya gak kenal Tuhan? -di Twitter), tapi tidak sefanatik (yang mengaku) penerus Kartosoewirjo yang keblinger. Maka sikap keras menjadikan negeri ini negara Islam bagi saya adalah lelucon. Merupakan keputus-asaan prematur yang ke-amrik-amrik-an.

Bahwa sebuah lantai paling bawah bernama lantai 1 (satu) yang menandai kebebasan tanpa diawali lantai 0 (nol) sebagai lapisan yang sudah terbentuk jauh-jauh hari dan sebab itu tidak perlu lagi dihitung, adalah pemahaman Amerika. Berbeda dengan Eropa yang menyertakan nama 0 (nol) sebagai lantai dasar. Meminjam pendapat Slavoj Zizek mengenai Amerika, "negeri yang tanpa tradisi sejarah yang sepatutnya".

Jadi kamu baru saja menjadi Amerika (yang liberal dan kamu benci) dengan mengamini Indonesia sebagai negara Islam. Segala gegar sejarahmu sah dimaknai salah kaprah. Karena kamu lupa pada tradisi sejarah yang sepatutunya di bumi pijakmu.

Kata Goenawan Mohamad, "Kemarahan kepada dunia modern adalah kemarahan kepada perubahan yang makin cepat. Dengan kata lain, kepada sesuatu yang tak terelakkan." Itulah kemarahanmu.

Kartosoewirjo pelopor DI-TII yang menggalang kekuatan membentuk negara Islam, bisa kamu temukan hari ini dalam wujud Rhoma Irama yang mengeluarkan pernyataan tentang keinginannya "nyalon" presiden. Semangatnya pantas kita apresiasi.

Bang Haji tampil menampar kejenuhan kita. Ketika partai-partai kendaraan "nyalon" telah mendeklarasikan capres yang diusungnya, ketika orang sudah tamat membaca panggung panas itu sebelum pentas dimulai, ketika kejenuhan-kejenuhan publik pada lakon tak lagi terkatakan, Rhoma Irama muncul dengan sangat sensasional.

Khusus bagi muslimin-muslimat, sunnah rosul adalah apa yang terjadi dulu. Jangan kelewat syar'i tapi lupa inti. Jangan mengaku penerus nabi tapi tidak mewarisi spiritnya. Itu sunnah dalam pemahaman saya.

Tentang Rhoma Irama, Putu Setia menulis, "Bang Haji, tetaplah tampil untuk selingan di tengah karut-marut politik ini. Namun pada saatnya nanti, ketika pertarungan berebut jabatan presiden tiba, lupakanlah niat jadi capres itu. Zaman sudah berubah."

Jaman sudah berubah!

07 Desember 2012

Omelan

Desember. Bulan yang melankolik. Kata Cholil (Efek Rumah Kaca), selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam. Benar memang. Bulan ini membuat setiap orang berelegi, meskipun cuma dalam hati. 

Saya jadi asik melamun. Menikmati sisa hujan atau gerimis. Tanpa secangkir kopi. Tanpa pelangi. Merenung dan bertanya, mengapa Tuhan mengirim saya ke sini. Ke tempat ini. Mengapa bukan tempat yang lain. Akan dibentuk menjadi manusia yang bagaimana saya ini. 

Ingatan saya tidak terlalu kuat, sekuat Irex atau Purwoceng, tidak. Tapi saya masih mampu mengingat, bahwa saya sudah banyak mengomel. Dan karena tidak terlalu kuat itulah saya tidak tahu sudah berapa kali mengomel. Bisa juga karena keterlaluan banyaknya.

Kadang saya berpikir, memangnya siapa yang saya omeli itu. Pantaskah saya mengomel. Adilkah jika korban omelan saya itu menjadi sasaran ketus yang inferior. Tapi beberapa kali atau malah banyak kali saya merasa harus mengomel. Jadi, dalam waktu super singkat omelan saya menjadi terasa mutlak benar. 

Saya bukannya tak paham, omelan saya akan membawa omelan berikutnya pada orang yang tak tahu apa-apa. Suami/isteri orang yang saya omeli misalnya. Omelan dari orang pertama pada orang ke dua, seringkali menjadi omelan dari orang ke dua pada orang ke tiga. Dan seterusnya. Maka, maafkanlah saya Bu, Pak, Om, Dik, semua saja. 

Karena, asal tahu, saya tak selalu menjadi orang pertama yang mengomel. Bisa jadi saya orang ke dua yang di omeli orang pertama. Dan karena saya merasa mengemban tugas mengomel pada orang berikutnya, maka berlanjutlah rantai omelan itu. 

Beberapa saat situasi ini seperti keruh, tapi kelak kita akan sama-sama menyadari bahwa mengomel bukan cuma mengandung omelan belaka. Ada pesan-pesan tersembunyi yang harus kita pelajari. Dari itulah rantai omelan sulit terputus. Kodratnya yang nomaden dari orang pertama ke orang berikutnya telah tertulis di kitab kehidupan kita. 

Bagi sebagian orang omelan layaknya kentut. Ditahan menjadi penyakit. Kembung, dan lain-lain. Maka sungguh bukan perkara sederhana menikmati omelan betapapun menyakitkan kedengarannya. Seperti orang yang ikhlas dihadiahi kentut, bahkan saat santap makan siang. Selamat menikmati.

14 November 2012

Gula

Ada penyesalan yang tak henti menghantui. Bahwa sebuah kekecewaan sepenuhnya karena tindakan orang lain itu urusan biasa. Tapi ketika kecewa itu bersumber dari inisiatif sendiri yang berakhir alpa, sungguh itu bukan persoalan yang mudah saja terampuni.

Mengutuk diri sendiri. Apakah kutukan itu seperti Mak Erot yang memperbesar rasa bersalah, atau sekadar upil yang dikorek-korek lalu disentilkan ke udara tanpa sesiapa menerima, yang jelas rasa itu sekarang ada.

Saya berlari ke club malam-dugem, karaoke, cafe-cafe, dan kawan-kawannya. Yang paling menyenangkan adalah pelarian saya di pantai. Tapi bagaimana kesenangan ini seenaknya menjelma menjadi boring, itu yang tidak saya sadari sebelumnya. Mentang-mentang sudah merdeka dia berubah tanpa aba-aba. Barangkali dia pernah belajar ilmu ninja, atau sudah berpengalaman mengibuli rakyat semalaman suntuk. Katanya dia tukang gombal yang gagal mengelola APBD juga APBN. Ah, itu bukan urusan saya.

Dari pantai, justru membuat saya ingin berlari lebih jauh lagi. Tapi ke mana, pantai adalah tempat paling tenang dan menenangkan yang pernah saya kunjungi.

Saya mulai mengidentifikasi penyebabnya. Kemana saya berlari, selalu ada saja mesiu yang siap memicu ledakan kemarahan yang sudah saya bikin melempem. Mestinya perlu digoreng dengan suhu ratusan derajat selsius untuk menjadikannya mudah tersulut. Tapi ini? Nihil.

Ternyata saya mengantongi gula. Barulah saya sadar bahwa semut-semut penyesalan, kekecewaan dan kemarahan itu mengejar gula dalam kantong saya. Semakin jauh saya berlari, sejauh itu pula semut-semut mengejar gulanya. Tak peduli apakah saya berlari kencang atau lambat. Bagi semut-semut itu alon waton kelakon. Yang penting sampai tujuan.

Benar saja, cepat atau lambat semut itu mengerubuti gula dalam kantong saya. Rasanya agak geli. Saya belum tahu apa rasa geli ini juga adiktif seperti kafein. Saya harap tidak.

Saya tinggalkan gula itu di dapur, kok eman. Saya simpan di kamar, rasanya sayang. Gula itu ngintil kemana saya pergi. Pernah beberapa saat gula itu tergeletak di atas meja atau ikut tergantung bersama celana saya, tapi tidak lama. Setelah saya mandi, gula itu kembali nemplok.

Seandainya meninggalkan HP itu perkara gampang, tentu akan mudah bagiku menulis cerita baru.

01 November 2012

Buma Management Development Program (BMDP) 23

BUMA adalah nickname PT Bukit Makmur Mandiri Utama. Mungkin plesetan dari Pama (salah satu kontraktor tambang terbesar di Indonesia). Seperti ada Pakdhe, ada Budhe.

Buma juga salah satu kontraktor terbesar di Indonesia. Di tahun 2010 kemarin saja sempat menjadi kontraktor tambang batu bara dengan revenue tertinggi. Sekarang, apa kabar? Saya tidak mengikuti.

BMDP (Buma Management Development Program) merupakan program dari Buma yang menyasar ke fresh-graduate. Mereka dididik menjadi foreman dan supervisor. Lulusan D3, D4, dan S1 fresh from the oven. Lamanya setahun (maksimal). Mereka diharuskan melakukan improvement untuk kemudian dipresentasikan.

Presentasi pertama di Jobsite (Borneo), pengujinya adalah all Section Head dan Project Manager (atau Deputy Project Manager). Dilanjutkan konsultasi dengan Department Head, atau functional, juga General Manager. Lalu dipresentasikan kepada all Division di Head Office (Jakarta). Biasanya yang datang para General Manager atau paling tidak Functional Manager. Hadir juga tim dari CI (Continuous Improvement) Department.

Jadi, saya katakan, tidak mudah perjuangan kita. Rangkaian proses recruitment mulai dari psikotes, diskusi kelompok, interview dengan HRD, dilanjutkan bertemu dengan General Manager, medical check up, dididik fisik dan mental (biasanya di Depok atau Bogor), kemudian dikirim ke Jobsite. Di sana bergumul (maksimal) satu tahun. Seringkali menjadi PIC (person in charge) satu atau lebih bidang. Diwajibkan melakukan improvement, dan proses laporan/presentasi yang demikian panjang tadi.

Seharusnya bangga. Barangkali memang harus. Bukan perkara gampang menyelesaikan semua itu. Itu tantangan. Itu ujian. Berhasil melewati ujian, mestinya bangga.

By the way, selamat buat kita semua yang telah dipromosikan. Selamat pagi!!!

26 Oktober 2012

Lilin

Saya mulai dengan A Thousand Candles Lighted-nya Endah And Rhesa. 

Pagi ini biasa. Tidak menyala-nyala. Matahari masih dengan gaya khasnya yang agak lambat merayap naik ke atap. Dia menggoda mata siapa saja yang memejam dengan segala alasan. 

Kicau burung juga masih seperti kemarin. Menyanyikan nada-nada sentimentil di sepenuh timeline. Kelas dimulai, atau dilanjutkan. Kelas linimasa. Guru dan murid sama-sama boleh bersuara. Sekedar iseng menggoreskan kapur setelah segelas teh panas pun silakan. Tapi jangan gaduh, masih terlalu pagi.

Saya ingin menyapa sebatang lilin yang tak kunjung padam. Sebuah salam yang rasanya cukup untuk memompa gairah seharian. Lilin itu pernah dinyalakan di samping cangkir kopi dan tumpukan buku di meja kerja saya. Biasanya dia menemani melodi gitar saya sepanjang malam.

Pagi ini saya menemukannya habis meleleh di pintu jendela yang terbuka. Nampak optimis menyambut embun di penghujung Oktober. Sebentar lagi hujan, bisik saya. Hujan sungguhan. 

Saya ragu lilin ini padam. Dia menyala. Masih menyala. Cuma, cahayanya sudah dipindahkan ke tempat lain. Tempat yang ingin dia terangi dengan sinarnya yang hangat. Saya iri, tapi lega. Akhirnya segalanya berada pada tempat yang tepat.

Lima bulan yang lalu, saya yakin lilin ini takkan pernah habis. Saya salah, baru saja saya temukan lelehannya mengirim api yang dia nyalakan sekian lama ke ruang redup entah mana. Dia ditakdirkan menerangi siapa saja yang membutuhkan cahaya, batin saya. 

Saya pernah menawarkan bingkai yang akan menjaga nyala apinya dari apapun yang mungkin memadamkan cahaya hangat itu. Dia menolak. Belakangan saya mengerti; sinarilah sudut-sudut redup yang membutuhkanmu. 

Tak ada api yang dinyalakan sia-sia. Bahkan api neraka pun ditugaskan menerangi hidup manusia. Meski pada saatnya dia harus menghukum mereka yang membangkang. 

Saya tidak yakin apakah ini berhubungan dengan Hujan Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono. Biarlah saya paksa. Karena Endah And Rhesa telah menyelesaikan lagunya. 

Selamat pagi! Masihkah nyanyianmu senyaring Juni?

Saya tulis buat Teteh Ades Mia Dewi Trisnawati.

08 September 2012

Secangkir Kopi

Aku rindu wajah-wajah samar di bawah lampu kuning 5 atau 10 watt cafe yang bibirnya mengecup cangkir-cangkir kopi 

Lalu musik jazz sayup-sayup terselip di antara obrolan kita dengan saxofon, perkusi, juga piano yang pentatonik 

Atau denting cangkir dan gelas yang beradu dengan apapun di sela-sela tawa ketika kartu remi jatuh di atas meja 

Kecupan terakhir untuk cangkir selalu dengan jemari tangan kanan pada kuping cawan dan kedua bola mata pada arloji melingkar di tangan kiri 

Biasanya kau dan aku akan segera pulang bermain dengan sisa-sisa malam yang seringkali terlewatkan sampai pagi 

Kita akan mengulangnya lagi malam depan 
Saat kau dan aku kembali dalam janji saling melepas rindu yang tak terucap dari bibirku dan bibirmu 

Barista itu selalu menungguku, juga kamu
Dengan berkeping CD musik jazz, juga biji dan bubuk kopi untuk membuat endorfin kita terus menetes

Aku rindu cangkir kopimu

24 Agustus 2012

Barista

Masih tentang kopi.

Saya tidak tahu sejak kapan gila kopi. Seingat saya, kakek dulu suka minum kopi setiap pagi. Sebagai cucu yang agak anu, saya suka ikut menyeruput kopi dari cangkirnya. Sedap. Tambah lagi ada satu atau dua lembar serabi. Nikmat.

Barangkali sejak itu saya jadi cinta cafein, eh, kopi saja mungkin.

Jangan heran jika banyak kopi di blog saya. Yang saya suguhkan memang akan berputar-putar di sekitaran kopi saja. Namanya juga Warung Kopi. Kebetulan kopi juga suka menginspirasi. Atau mengilhami.

Tidak ada rumus kopi paling benar. Setiap barista punya formula masing-masing. Cita rasa tidak bisa diganggu gugat, bahkan dengan sertifikasi ISO sekalipun. Kalau ada selera berubah karena dikili-kili MURI, itu pasti gengsi.

Aku sedang menyindirmu!

Seperti kopi, sekali aduk harus jadi. Karena kalau tidak, rasanya jadi nggak karuan. Takarannya harus langsung pas. Dalam kamus saya, tidak ada kopi yang di-remedy. Doyan; diminum, tidak; dibuang. Titik. Tidak ada diskusi tambahan.

Tidak ada ceritanya saya menambahkan gula ke dalam cangkir kopi karena kurang manis. Haram hukumnya. Nggak doyan? Buang! No remedy!

Kalau lidahmu terlatih, kamu tahu bedanya kopi yang di-remedy dengan kopi yang sekali aduk jadi. Itu kenapa kopi beda dengan teh atau susu. Saat masih panas-panasnya, sempatkan lidah mengecap. Maka, sisa kopi itu sampai tetes terakhir akan terasa nikmat luar biasa.

Bagi saya, merusak cita rasa kopi dengan menu lainnya adalah dosa besar. Rokok, misalnya. Atau gorengan. No! Kopi ya kopi saja. Kecuali kalau benar-benar kelaparan. Selembar serabi mungkin terampuni. Tapi saya sarankan untuk segera bertobat. Taubatannasuha.

Barista adalah nabi. Racikannya merupakan wahyu dari Tuhan. Rasa kopinya dogma yang tak terbantahkan. Jangan sekali-kali menyangkal, atau kamu akan dikutuk. Doyan; minum, tidak; buang. Sudah.

Hhhh... Heran. Filosofi kopi tidak pernah habis. Mencair begitu saja. Melumer tumpah ke mana-mana. Analogi yang hangat, pahit, manis, kental dan harum dalam satu cangkir dalil paling sahih. Kopi.

Itu kopiku. "Kopi paling enak sedunia!"
Hihihi....

19 Agustus 2012

Kolesterol

Hari ini, 19 Agustus 2012, untuk pertama kalinya melewati lebaran jauh dari keluarga. Ada tugas. Selalu saya katakan pada mereka, “Sedang menjalankan misi suci dari Tuhan.” 

Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur, Borneo Island

Seperti mati rasa. Sedikit haru tapi tak seberapa. Karena memang harus menemukan hal-hal yang menyenangkan untuk meringankan kesedihan. Ya, manusia mana yang tidak sedih harus jauh dari keluarga di hari yang sangat penting. Idul Fitri ini penting sekali. Dalam setahun cuma datang satu kali. Tidak sayang jika terlewatkan? Mana mungkin!

Sebenarnya tidak jauh beda dari lebaran-lebaran sebelumnya. Tetap ada opor ayam di rumah tetangga, jajanan mulai dari kue kering sampai minuman bersoda, anak-anak kecil yang berburu angpau dari pintu ke pintu, pakaian mereka yang serba baru, nyaris persis. Hanya saja, di tahun-tahun sebelumnya saya keliling ke rumah tetangga dan saudara bersama orang tua dan adik-adik saya. Sekarang, tetangganya saja sudah beda. Rombongan berkeliling beda pula. 

Saya sedang anti nonton tivi. Maklum anak rantau. Kami anak rantau sensitif dengan tayangan televisi yang bernuansa lebaran. Tayangan-tayangan itu selalu berhasil menjadikan suasana hati makin berantakan. Teman saya mengaku sempat menangis saat menyimak iklan mie instant di tivi. Nah! 

Ada satu hal lagi yang selalu terjadi setiap tahun. Setiap lebaran. Kolesterol meningkat pesat. Makin menumpuk. Kalau sudah over, persoalan jadi melebar kemana-mana. Hipertensi lah, ini lah, itu lah, bla-bla-bla. Bah! 

Maaf, saya jadi tertarik membicarakan kolesterol. Kolesterol ini kata orang dekat dengan makanan enak, hidup enak, pokoknya yang enak-enak. Kalau perlu, orang susah haram berkolesterol tinggi. Padahal beberapa mengatakan bahwa orang dengan hidup enak tetap bisa kontrol kolesterol asal tidak malas olahraga. Minimal tidak malas bergerak. Intinya tidak malas. Jadi, kolesterol ini identik dengan hidup enak atau hidup malas? 

Lalu, kalau dekat dengan peningkatan kolesterol, apakah lebaran identik dengan meningkatnya orang yang hidup enak atau orang malas? Ah, selamat bermaaf-maafan saja lah. Jangan lupa saling memaafkan dengan kolesterol. Ups… Minal aidin wal faidzin, semua saya maafin. Heheu 

Idul Fitri 1433 H

18 Agustus 2012

Matematika

Saya pernah mengirimkan tweet ini ke Linimasa (Timeline): “Cara berceritaku dipengaruhi matematika-ku. Celakanya, matematika-ku buruk. Jadilah ceritaku seperti matematika gagal.” 

Ini semacam belief. Tapi tidak terlalu belief. Teori yang tidak terbukti kebenarannya karena tidak pernah saya lakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran teorinya. Jadilah saya menjadikannya sebagai belief. Belief yang tidak terlalu belief. Saya percaya, cara bercerita seseorang sangat dipengaruhi kemampuan matematikanya. Atau paling tidak pengetahuan matematikanya.

Misal, untuk mendefinisikan 9, akan muncul banyak cara. Paling sederhana mungkin dengan mengatakan bahwa sembilan itu persis setelah delapan. Orang lain bisa saja mengatakan bahwa Sembilan itu 4+5. Lain lagi akan mengatakan 3x3 sama dengan sembilan. Ada juga yang mendefinisikan dengan akar 81. Ada yang bilang sembilan itu bilangan ganjil ke lima setelah satu, tiga, lima, dan tujuh. Mungkin juga, bilangan ganjil pertama yang tidak termasuk bilangan prima. Ada banyak cara untuk sampai di angka sembilan. 

Biasanya, semakin pintar matematika seseorang, semakin pintar juga dia mengolah kata. Dia menguasai variasi-variasi kalimat untuk maksud yang sama. Orang itu bisa membongkar-pasang kata menjadi kalimat yang tidak biasa. Bukan lagi kalimat-kalimat konvensional yang banyak dipakai orang. Non-mainstream lah pokoknya. Dan itu terjadi begitu saja. 

Saya simpulkan saja: Buat mencapai 5, seseorang suka dengan logika 3+2, orang lain lebih suka dengan ganjil ke tiga, lain lagi dengan akar 25, dan seterusnya, dan seterusnya. Jadi wajar saja tiap orang punya gaya bercerita yang berbeda. Banyak jalan menuju lima.

17 Agustus 2012

Selamat Pagi, Sore!

Selamat pagi, katamu. Padahal mungkin kita ini sudah sore. Aku heran kenapa kamu lebih suka menjadi pagi. Bukankah sudah lama kita mengibarkan keberengsekan? Lalu kamu bilang selamat pagi? Apakah kamu sepagi orok yang tak tahu cara berlari-bahkan melangkah-malah mengunyah? Duh Gusti, aku bersemedi.

Apalagi yang bisa kuganyang sekarang. Mereka juga sama, apa saja asal kenyang. Mungkin kalau batu bisa bikin kenyang pun diganyang juga. Siapa lagi yang bisa mendengar. Atau siapa yang mau. Mendengar itu perkara gampang, katamu, tapi wani piro. Setan, batinku.

Kita hidup di hutan. Dari dulu sampai sekarang. Rumah kita tetap rimba. Bedanya cuma soal pembagian peran. Dulu dibutuhkan tokoh konservatif, sekarang liberal-mungkin. Tapi dulu dan sekarang sebenarnya kan sama saja. Konservatif dan liberal selalu ada. Cara aktingnya saja yang agak beda. Jadi, beda casting saja. Dulu pakai keris, sekarang senapan. Laras panjang yang bisa didapat di pasar loak. Lho, itu kan kamu yang bilang. Aku cuma meneruskan. Kalau yang kuteruskan ternyata terlalu asin, kebanyakan bumbu, itu soal belakang. Biasanya juga begitu kan. Kalau tak ditambah-tambah bumbu mana laku. Kamu juga yang mengajariku. Jangan suka buru-buru menyalahkanku. Jangan belaga lupa, kamu yang banyak mengguruiku. 

Bersyukur matahari masih mau berbagi sinar. Rasanya berat sekali membuka mata. Entah ini sinar yang membawa benci atau cinta. Kenapa mata dan sinar matahari tak pernah mau bersahabat. Iya, tak pernah. Memangnya kapan pernah? Nah, kamu juga tak bisa kasih bukti. Kamu memang selalu penuh gombal. 

Matahari tanpa mata jadinya cuma hari. Jadi, mana mungkin bersinar tanpa mata. Melek saja susah begini. Pantaslah sudah kamu tak pernah bersinar. Merem kok hobi.

Burung-burung masih ada yang mau berkicau menyambutmu setiap hari. Tapi tak lama lagi kicaunya pun akan segera pergi. Juga karenamu. Akhirnya burungmu sendiri yang mengoceh. Burung yang kepalang bejat. Banyak maksiat. Kemudian kamu mengangkangi mereka yang tak tahu apa-apa. Kamu memang paling pintar berbagi dosa. 

Ya Tuhan, 17 Agustus 2012, pertanda apa ini?

08 Agustus 2012

Analogi Kopi

Mari kita membuat kesepakatan dulu di awal supaya tak perlu ada perdebatan soal racikan kopi. Meskipun debat itu cuma ada di masing-masing otak kita. Begini, ikuti aturan main saya. Apa yang saya katakan soal takaran ideal nanti mutlak benar. Sepakat! 

Saya adalah seorang barista. Agak ngeri memang untuk sebutan seorang pembuat kopi. Meski cuma kopi yang biasa dijual di tenda-tenda pinggir jalan atau trotoar. Tapi biarlah, biarkan saya terdengar ngeri. Sesekali.

Untuk membuat kopi yang sedap saya butuh air panas 200 ml, 2 sendok makan gula pasir, dan 1 sendok makan kopi bubuk. Paten. Kalaupun sedikit kurang atau lebih, terampuni. Saya yakin masih sedap. 

Dengan air panas 200 ml saja tanpa gula pasir dan kopi, saya sedang menghidangkan secangkir air panas. Yang namanya panas ya panas. 

Ditambah sesendok kopi bubuk, kali ini saya sedang menyuguhkan kopi pahit. Pahit pokoknya, tidak ada manis-manisnya. 

Dengan memasukkan sesendok gula, lumayan, sekarang terasa lebih "kopi". Tapi tetap kurang sedap. Sesendok gula lagi, nah ini baru namanya kopi yang sedap. 

Sama seperti hal-hal di secangkir kehidupan kita. Ada air panas, yang menghangat, mendingin, atau mungkin mengadem. Mengadem? Ah susah. Pokoknya itulah. 

Di dalam air itu kita sedang memasukkan kopi dan gula. Kadang-kadang kita eksperimental, secangkir kopi tadi sesekali terlalu pahit, juga terlalu manis. Keduanya sama-sama tak sedap. Ternyata terlalu manis itu tak sedap kan. 

Tapi tenang dulu, barista bisa bikin kopi baru. Selamat menikmati kopimu!

17 Juli 2012

Khawatir

Hidup ini kalau dirasa semakin lama semakin menyenangkan. Ada spot-spot tertentu yang selalu menarik untuk direnungi. Atau malah semua bagiannya menarik. Apakah setelah kematian akan ada bagian lain yang juga menarik? Siapa tahu. 

Seorang bocah laki-laki dulu begitu menggemari sepak bola. Sempat menyicipi disiplinnya organisasi. Mulailah pengalaman demi pengalaman datang dan antre. Beberapa tahun kemudian dia tumbuh menjadi lelaki yang mengenal musik. Dia meninggalkan hal-hal yang dulu digemari, meskipun sesekali dia menyapa ke belakang juga. Sekarang dia berusaha menjadi pria yang jauh lebih dewasa. Dan seterusnya. Begitu menariknya hidup ini.

Kalau boleh saya bilang, hidup ini sesingkat hujan. Banyak yang suka hujan. Beberapa orang menunggu hujan selesai. Tapi sayang hujan tak selalu menyisakan pelangi. Ada malapetaka yang sering mengintai. Banjir, longsor, belum lagi hujan yang disertai angin kencang, badai, petir, asam, dan kejadian alam lainnya. 

Semua itu terjadi bukan sebagai bencana, awalnya. Bukan malapetaka. Tak ada kehidupanpun alam berhak beraksi sesukanya. Hal-hal yang mestinya wajar saja. Tapi karena manusia punya kepentingan, mulailah kita beramai-ramai meneriaki “bencana!” 

Maaf, saya tidak tahu definisi bencana. 

Ilmu pengetahuan semakin berkembang. Pengetahuan untuk gejala yang sudah ada sejak lama. Pengetahuan yang ternyata makin mengkhawatirkan. Maksud saya, makin membuat kita khawatir. Dulu kita tidak tahu ada sebab-sebab kolesterol tinggi. Setelah ilmu pengetahuan mengungkap rahasia di baliknya, orang jadi antipati terhadap makanan berminyak, garam tinggi, bla-bla-bla. Katanya takut hipertensi, serangan jantung, dan sebagainya. Ternyata pengetahuan baru menciptakan kekhawatiran baru. Apakah lebih baik tidak usah diungkap saja supaya kita tidak mati dengan meninggalkan kekhawatiran untuk orang lain? 

“Mati ya mati saja, ndak usah pakai sebab! Kolesterol lah, jantung lah, kencing manis lah, saya jadi susah makan. Pilih makanan sehat kok susah amat! Coba kalau Si-A mati bukan karena penyakit anu, sebabnya ini, akibatnya itu….kan kita ndak khawatir! Kakek-nenek kita dulu mati, ya mati aja. Orang bilang karena tua. Ndak pakai embel-embel batu ginjal, stroke, dan tetek-bengek lainnya.” kata tetangga saya. 

Eh, jangan underestimate! Kamu pikir saya sedang khawatir? Khawatir untuk apa? Khawatir mengkhawatirkan kekhawatiran yang mestinya tak perlu dikhawatirkan? Saya nggak khawatir! Enggak! Tapi….

24 Mei 2012

Kejar

Seharian mendung. Jadi ingat kata Jubing Kristianto, “Once Upon A Rainy Day”. Produksi batubara dan OB tipis, tapi pengeluaran untuk site tetap jor-joran. Maaf, maksud saya sesuai planning. I have no idea. That’s not my business. In this case, I’m responsible for GA job, professionally. 

Dua minggu lagi saya cuti. Sebenarnya tidak genap dua minggu juga. Mestinya saya katakan ‘13 hari lagi’ saja. Baiklah, baru saja saya katakan. Paling tidak dengan hari lebih mudah dihitung berapa lama lagi saya harus menikmati rutinitas ini. Menikmati. Tapi sudahlah, ini bukan matematika. Kalaupun hidup ini adalah matematika, nyatanya 1+1 tak selalu sama dengan 2. Jadi?

Ada yang menarik di sini. Di tempat ini. Karena setiap hari melakukan hal yang serupa since the sun rises till it goes down (padahal menurut teori fisika, matahari tak pernah jatuh, cuma bumi yang berotasi. Heheu… What do I care?!), waktu jadi terasa sangat cepat berjalan. Jarum jam seperti berputar lebih cepat. Tahu-tahu sudah jam 6 lagi. Tahu-tahu sudah hari jumat lagi. Tahu-tahu….cuti lagi. 

Uniknya, dua minggu terakhir (menjelang cuti) justru terasa berjalan lebih lambat. Rasanya ingin memutar jarum jam secepatnya. Apa butuh baterai Alkaline supaya berputar kencang? Seperti kata Gatot Arifianto; ajarkan ruhku mematahkan jarum jam. Ah tapi kalau patahnya jarum jam sama dengan berhentinya rotasi bumi, mandeg, lebih baik terus berputar. Biar lambat, pun ngesot. 

Saya punya mimpi. Saya punya cita-cita. Ada di sini memang untuk mengejar mimpi. Tapi cuti juga demi cita-cita. Kata orang, ngapain ke Borneo jauh-jauh. Kejarlah ilmu walau ke negeri China, kata Nabi Muhammad. Padahal Borneo ini belum China. IQ? Imam Syafii pernah mengatakan, anak panah tak akan menemukan sasaran jika tak lepas dari busurnya. Nah, itu dia. 

Orang bilang hidup berawal dari mimpi. Mungkin Bondan Prakoso yang bilang seperti itu. Setidaknya banyak orang lain juga percaya. Nyatanya, hidup ini bukan mimpi. Hidup ini bukan ide. Ide itu menciptakan kehidupan, tapi hidup bukan sebuah ide. IQ? 

Untuk menciptakan kehidupan kita butuh ide. Sebagian orang lebih suka mengatakannya sebagai mimpi. Beberapa lagi mengatakannya cita-cita, barangkali. Atau ada juga orang yang lebih suka menggunakan terminologi “visi”. Saya pikir, semua itu memiliki pemahaman yang sama meskipun seandainya dengan definisi yang berbeda-beda. 

Ada yang lucu dari semua itu. Atau sekedar kegamangan atau semacamnya. Banyak orang ketika ditanya apa cita-citamu. Jawabnya menjadi orang sukses. Sesukses apa, katanya banyak uang. Apakah ini bukan sebuah klise? Bagi saya, cita-cita yang demikian adalah cita-cita yang tidak tuntas sebagai cita-cita. 

Kalau cita-cita saja tidak tuntas sebagai cita-cita, lalu apa yang dikejar? Angin? Anak SD saja mengejar layang-layang, bukan mengejar angin. Dulu sewaktu SD saya tahu, saat mengejar layang-layang dan mendapatkannya, saat itu saya sukses. Karena saya tidak mengejar angin. Mengejar angin itu klise. Kalau mengejar layang-layang itu konkret. 

Juga ketika ditanya, nak apa cita-citamu, saya jawab jadi insinyur. Saya tahu, begitu menjadi insinyur, artinya saya sukses. 

“Itu sih dulu, waktu belum ngerti susahnya hidup” kata seorang teman. Sejak kapan hidup ini tak susah. Bukankah hidup ini memang tak mudah. Apakah hidup ini segampang tarik dan buang napas? 

Jadi, dalam pandangan saya, ukuran sukses itu harus jelas. Cita-citanya mesti konkret. Katakan saja nominalnya kalau sukses itu banyak uang. Satu miliar, misalnya. Kalau belum punya satu miliar artinya belum sukses. Cita-citanya belum tercapai. Ketika visi itu konkret, kita lebih mudah meletakkan misi di relnya. 

Cita-cita bisa diubah, tapi harus tetap konkret. Ditingkatkan atau diturunkan itu tergantung selera empunya cita-cita. Kalaupun diturunkan nilainya, manfaatnya harus naik atau minimal tetap. Jangan sampai dekadensi total. Lho iya to?! IQ? 

Hhhhhh…. Banyak ngelantur. Maklum makin berumur. 

Today I don’t feel like doing anything…. Suara Bruno Mars menyambut suasana hati lewat headphone.

05 Mei 2012

Sepiring Goreng Singkong di Sebuah Sore

Lagi asik makan singkong goreng panenan dari samping pos security, seorang teman kerja nyeletuk, "Orang dulu kok lebih suka makan singkong ya?" 

"Bukannya lebih suka sih mbak, karena emang adanya itu." 

"Lho, orang-orang itu kan nanam padi."

"Padi kan dijual. Beras waktu itu mahal. Kroco macam mereka mana kuat beli. Hasil panenpun dijual buat nutup kebutuhan yg lain. Ya alternatifnya singkong tadi. Singkongnya pun singkong gaplek (singkong kering). Kalau di masak jadi gathot, ada juga yg ngolah jadi thiwul. Jangan dikira slogan swa sembada beras berarti semua kebagian nasi. Palsu lah itu. Orang-orang yg nggak tau emang nyangka kita makmur, waktu itu. Bahkan sampai sekarang masih ada yg belum mentas dari neraka itu." 

"Gitu ya, ngerti banget." 

"Lho saya ini hidup di kehidupan mereka. Saya ini mereka. Jangan bakti sosial sebulan dua bulan udah merasa paling ngerti penderitaan mereka. Aku ini kawin sama mereka. Bukan sekedar ikut acara Jika Aku Menjadi yang cuma sehari dua hari aja. Belaga nangis-nangis, udah sok ngerti, padahal casting dulu. Kalau mau tau penderitaan mereka ya harus jadi mereka, bukan cuma jadi bagian dari mereka. Pengabdian masyarakat, paling lama tiga bulan udah merasa ngerasain penderitaan mereka. Tai kucing lah." 

Kemudian teman saya ngakak.

20 Maret 2012

Bercumbu dengan Pagi

Seperti pagi-pagi sebelumnya di Cepu. Hampir dengan aktivitas yang sama. Dengan teman-teman yang sama juga.

Gitar akustik, tumpukan buku bacaan, kamus-kamus, gadget untuk browsing, dan sebuah buku tulis. Agak jauh lagi ada secangkir kopi.

Kalau sudah begini mau tak mau penyakit lama harus kambuh lagi. Melamun. Apa, bukan penyakit? Ya, terserah saja.

Baca buku ini, melompat ke judul lain di buku yang berbeda, memindahkan bidikan mata ke buku yang lainnya, pindah lagi, ke sana, ke mari, akhirnya berujung pada buku tulis yang tergolek di atas ranjang. Kontan pena menodai lembar demi lembar kertas buku yang semula perawan. Kertas tak pernah menolak. Kalaupun ingin berontak, nafsuku cukup kuat untuk menggagahinya-telak.

Sesekali kuletakkan pena ini saat cangkir kopi meminta jatah cipok. Berlaku adil. Semua dapat giliran. Termasuk sepotong kayu bersenar yang bohai dan aduhai. Lekuk tubuhnya mengundang birahi yang sedari tadi tinggi. Tanpa aba-aba lagi kupeluk dan kugerayangi setiap dawainya. Dia bergetar, merintih, menyemburkan puluhan nada dari liang resonansinya. Terciptalah orgasme pagi yang harmoni.

Aku melenguh, menikmati sisa-sisa libido pagi ini. Mungkin terulang lagi seiring ereksi sang mentari.