27 September 2018

Dadu

Saya baru saja menonton film terbaru Dian Sastrowardoyo, "Aruna dan Lidahnya". Di bioskop. Bukan download di internet, karena saya tidak punya koneksi sebagus itu buat mengunduh film. Bukan juga copy file dari warnet atau hardisk pinjaman.

Terlebih saya menonton di hari pertama film ini tayang. Kemungkinannya kurang dari 1% film ini sudah beredar di platform lain, apalagi secara ilegal.

Film ini secara garis besar bercerita tentang petualangan 4 orang di 4 kota mencicipi puluhan makanan. Maknyus.

Akting Dian memukau seperti yang sudah-sudah. Penampilannya tetap menawan sebagaimana waktu muda dulu saat bermain di Ada Apa dengan Cinta. Malah, saya hampir lupa bahwa dia adalah ibu dari 2 orang anak. Habisnya, tampak kinyis-kinyis begitu.

Ada beberapa adegan 'malu-malu babi' yang ditampilkan Dian ketika salah tingkah merespons hal berkaitan dengan Faris, yang diperankan Oka Antara. Kelihatan orisinil. Tidak pernah terbayangkan ada akting yang semenggemaskan itu.

Ngomong-ngomong soal tokoh Faris, dia orang yang paling dingin menyikapi makanan. Katanya, makanan hanya ada 2: enak dan tidak enak. Ini khas kita-kita.

Sebetulnya ini topik yang ingin saya bahas. Sebelumnya cuma intermeso.

Menurut Faris, makanan itu ya makanan. Enak dan tidak enak. Sudah. Berbeda dengan tokoh lain yang lebih asyik memaknai makanan.

Kecenderungan Faris ini ada di kita. Suka menarik garis batas untuk menjadi 2 bagian. Satu bagian di satu sisi, sisanya di sisi yang lain. Mutlak begitu. Tidak ada bagian yang lain selain 2 itu.

Kebanyakan dari kita diajarkan konsep surga dan neraka sejak kecil. Kalau tidak mau masuk neraka harus masuk surga. Kalau tidak masuk surga berarti masuk neraka. Tidak ada bagian lain. Misalnya ruang di antara ke duanya, semacam smoking room. Tidak ada.

Konsep polarisasi ini terbawa ke mana-mana. Hal-hal di dunia ini seakan serba biner. Macam sekeping koin: satu sisi benar, sisi lainnya sudah pasti salah. Hanya ada dua kemungkinan saja, dan saling bertolak belakang.

Karena dianggap serba biner, mustahil melihat isi semesta seperti sebuah dadu: satu sisi benar, satu sisi salah, empat sisanya mungkin benar dan mungkin salah. Tapi kita tidak tahu di mana letak sisi yang salah. Kita hanya meyakini mana yang benar tanpa menyalahkan sisi lainnya sebab mengandung kemungkinan kebenaran juga.

Belakangan ini gairah berpolitik kita meningkat pesat, meskipun cuma sebagai politisi amatir. Dan, betapa relijiusnya kita karena berpolitik sambil membawa-bawa konsep surga dan neraka. Berada pada satu sisi koin yang diyakini benar, ke surga, otomatis yang lain salah dan ke neraka. Cilaka.

Sah-sah saja mengimani surga dan neraka. Cuma, kita mungkin lupa bahwa surga dan neraka itu sepenuhnya urusan Tuhan--atau gantilah dengan kata lain yang menggambarkan kekuatan besar di atas ini semua, dan sederhanakanlah menjadi: transenden. Jika demikian, maka surga dan nerakanya pun tidak akan cukup kita (manusia) pahami dengan akal.

Oleh karena surga dan neraka itu ada di 'tangan' yang tak terjangkau oleh manusia, dan merupakan bagian yang transendental tadi, barangkali bagian kita hanya bermain dadu saja. Sebab alam semesta ini terlalu besar untuk dirangkum ke dalam sekeping koin.