25 Desember 2016

Telolet

Dua bulan lebih tak mengepos sehurufpun di blog ini. Suwung. Censuok!

Sampean sebaiknya mengira saya sibuk dengan dunia yang fana ini, tak sempat tengok blog. Coba lihat kegaduhan yang makin menggila di negeri tercinta. Siapa lagi yang bisa menjaga keharmonisannya kalau saya tak turun tangan.

Sebetulnya kita boleh mulai cekikikan melihat kedaifan yang terus menerus didaur ulang. Bajilak, kedaifan!!!

Sekejap, ini saya sampai bingung mau kasih tulisan miring. Banyak betul kata tidak baku. Cow-pad!

Jadi begini. Nampaknya beberapa bulan belakang kondisi Indonesia cukup genting. Sentimen negatif atas nama agama ditebar, disirami, dan lebih parah lagi tumbuh subur bagai jamur. Kalau jamur kulit bisalah diolesi Kalpanax, Ultrasiline, atau sebangsanya. Nah ini ‘kan lain. Mumes ndate!

Tapi segala ancaman disintegrasi itu, ndilalah, luntur berkat hal sepele. Telolet. Iya, cuma karena telolet yang bahkan kita kesulitan mendefinisikannya dengan apik. Siapa sangka?

Ternyata kita ini masih solid sebagai bangsa yang meski berbeda-beda tetapi satu jua. Pertama, setelah gempuran bertubi-tubi dari berbagai macam penjuru kita masih bisa bersorak satu barisan mendukung timnas melawan skuat Thailand. Hanya butuh 90 menit untuk membuktikan bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu nyata.

Ke dua, ya tadi itu, telolet. Kita bisa tertawa bersama tanpa mempersoalkan apa sikap politik sampean. Telolet tak usah dibebani definisi yang sulit-sulit. Yang penting kita bergembira, dan alhamdulillah-nya kok mendunia. Puji Tuhan.

Sekarang saya percaya Indonesia akan baik-baik saja. Kita punya banyak cara untuk terus menjadi Bhinneka Tunggal Ika.

Maka saya tanggapi enteng saja jika ada yang mendosak-dosakan saya. Om, telolet, Om!

13 Oktober 2016

Dylan

"Sometimes it's not enough to know what things mean, sometimes you have to know what things don't mean." -Bob Dylan. Pemenang Nobel Sastra.

Di atas itu saya kutip dari twit GM di akun centang birunya, @gm_gm.

Baru-baru ini Bob Dylan meraih Nobel Sastra. Dia seorang penulis lagu & penyanyi yang folk 'abis'. Rujukan yang ballad 'banget'. Atau, definisikan sajalah. Sampean bisa berselancar di internet untuk tahu lebih banyak.

Dylan mungkin tak terlalu dikenal kiwari. Tapi saya 'haqul' yakin musisi idola sampean tahu siapa dia. Eh, entah kalau musikus EDM ya. Atau penyanyi seperti Awkarin yang baru saja meluncurkan single bersama Young Lex. Ya embuh kalau itu.

Ndak jadi 'haqul'.

Generasi Z ini memang sepertinya tak akrab dengan Dylan dan legenda lainnya. Oleh milenialis akhirpun mungkin Dylan cuma samar-samar didengar.

Barangkali, nama dan lagunya sempat mengudara lagi di Indonesia tahun 2005, lewat (filem) Gie. Meski sebentar saja.

"Like a rolling stone..." Speaker First membawakan lagu Dylan, mengisi sound track filem garapan Riri Riza yang diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran itu. Buku harian Soe Hok Gie yang di kemudian hari banyak 'membakar' generasi selanjutnya.

By the way, saya masih menyimpan buku itu. Saya dapat dari LP3ES oleh bantuan seorang kawan. Kalau sampean berminat membaca bisa saya pinjamkan. Yang penting harganya cocok. Egimana.

Selain lagu Bob Dylan, filem tersebut diisi juga dengan lagu Joan Baez yang dinyanyikan oleh Sita Nursanti, berjudul Dona Dona.

"Stop complaining, said the farmer..." Saya membayangkan lagu itu dinyanyikan Dik Awkarin. Pasti menggemaskan.

Lalu saya menyambung dengan lagu Dylan yang lain, "Knock, knock, knockin on heaven's door..." Sambil sesekali menepuk nyamuk di leher dan lengan. Plak! Romantis ndak?

Menghayati lagu-lagu Dylan memang dibutuhkan suasana ala kadarnya. Gelar tikar, luar ruang, angin malam. Dik Awkarin tidak boleh pakai tanktop saja. Takut masuk angin. Nanti saya buatkan jahe hangat, singkong bakar, dan perapian.

"Forever young..." Lagu terakhir malam ini, saya bisikkan. I want to be forever young, Dik! (Ngomong sama Sodik)

-Pinjam joke Tuan Wahai-

03 September 2016

Kebenaran

Saya, juga kebanyakan dari kita, mengenal agama dari orang tua kita. Beriman karena diwarisi leluhur kita. Lalu kita merasa paling benar, yang lain salah kaprah.

Kita mungkin salah sangka.

Tuhan yang kita kenal sejak awal amat personal. Semacam obyek yang berusaha kita deskripsikan agar menjadi nyata melalui puluhan sifat dan nama.

Sebagai makhluk kita salah sangka. Menghendaki yang tak terjangkau (bahkan oleh akal) mendekati keterbatasan pikir manusia. Maka para ateispun mungkin salah sangka.

Ateis menggugat kesalahsangkaan kaum beragama. Bukan hendak mengembalikan iman pada Tuhan yang transenden, melainkan menuntut pembuktian rasional dari suatu keberadaan. Lalu, barangkali kita saling salah sangka.

Beberapa monoteis menghendaki setiap orang taat pada satu ajaran. Menurutnya hidup di dunia ini semacam kontrak, di mana manusia harus ikut aturan main. Tak masalah ikut aturan main kelompok mana. Yang penting teis.

Monoteis di atas mungkin salah sangka pula. Aturan yang dikehendakinya seperti tersurat dalam kitab suci. Kitab suci yang dimaksud adalah kitab-kitab dalam tradisi Ibrahimi, kitab dalam agama samawi, kitab dogma yang turun melalui wahyu ilahi.

Maka, monoteis tadi tak memberi ruang untuk ajaran lain seperti Buddha dan sejenisnya. Tak berlaku bagi pencerahan yang lahir dari penyadaran dalam diri.

Kalaupun dunia ini kontrak di mana kita harus mengikuti aturan main, seharusnya konteks yang digunakan lebih bebas dan luas. Bukan agama dengan kitab sucinya yang terbatas.

Terbatas karena sudah tak ada revisi, berhenti. Tak ada lagi addendum atau koreksi. Mandheg. Sedangkan zaman terus bergerak. Meski beberapa agamawan memang menawarkan tafsir yang dinamis.

Agama termasuk kategori norma. Jika hendak berlaku adil, norma lain menyediakan aturan main. Norma kesopanan, norma kesusilaan, bahkan norma hukum yang senantiasa diracik supaya kontekstual.

Melihat dunia dalam kerangka beragama mungkin akan sumpek. Terlalu banyak perbedaan. Terlalu banyak dosa. Tapi melihat dunia melalui jendela norma bisa jadi akan lebih lega. Meletakkan perkara pada konteksnya, pada tempatnya, pada waktunya.

Tantangan bagi agamawan di manapun berada adalah menerjemahkan ajaran yang lahir dari masa lalu dan suatu tempat tertentu, agar menjadi relevan di mana dan kapan dibutuhkan.

Sedangkan tantangan menjadi manusia adalah hidup sebaik-baiknya dengan liyan, dengan sesama.

Mungkin Tuhan hanya menciptakan purwarupa seisi semesta. Kemudian alam bekerja sendiri hingga entah kapan.

Jadi siapa yang paling benar?

01 September 2016

Anniversary

Birthday berarti hari kelahiran. Kita serap ke dalam bahasa pergaulan menjadi hari ulang tahun. Meski dalam bahasa Inggris ulang tahun lebih sepadan dengan anniversary ketimbang birthday.

Biarlah, terlanjur enak di lidah.

Bagi setiap orang yang berulang tahun, entah sebaiknya bergembira atau bersedih-atau ke duanya. Bolehlah bergembira sebab telah mendapat kesempatan menghirup udara lebih lama, menempa pengalaman lebih banyak, mengalami hidup lebih panjang, dan seterusnya-dan seterusnya. Tapi apa yang mesti dirayakan jika "hidup adalah penderitaan", seperti kata Buddha? Bukankah semakin lama hidup kian menderita?

Hari ini tanggal kelahiran saya. Tapi setelah membaca paragraf di atas saya harap tak ada yang minta traktiran. Cukup ucapkan selamat saja, tak apa-apa. Kado juga saya terima. Paling sedikit doakanlah kebaikan. Saya tidak memaksa. Tapi kalau bisa jangan berhenti di kamu, klik like, share, dan katakan amin.

Eh, maaf, maaf.

Kekasih saya adalah orang pertama yang mengucapkan selamat. Atau, dia ingin menjadi yang pertama. Beberapa jam sebelum tanggal 1 dia katakan, takut ketiduran kalau harus menunggu tengah malam. Maklum pelor, nempel molor. Walhasil dia curi start 3 jam.

Pasangan muda lainnya merayakan ulang tahun kekasihnya dengan kejutan tengah malam. Mengetuk pintu, kue, lilin, balon, nyanyian, bla-bla-bla. Kami tidak. Jarak "ibu kota - ujung Indonesia" ini bukan perkara seremeh temeh itu.

Lilin tengah malam? Huh, yang benar saja.

Orang pertama yang mengirim ucapan via WA hari ini adik saya, Pita (Dyah Puspita Ningrum). Yang pertama mengirim di dinding FB saya Momon (Roro Halif Nureviana). Yang pertama menjabat tangan dan mengucapkan langsung Irene. Disusul yang lainnya.

Tapi kita bukan kecap, maunya yang nomor satu. Tak menjadi yang paling awal tak jadi soal. Yang penting cek IG kita ya. Halah saya ini bicara apa.

Mungkin beginilah tingkah remaja yang menginjak 17 tahun. Ada amin, Saudara?

***

Catatan tambahan (edit):

Nama kekasih saya Anggraeni, biasa dipanggil Eni. Saya bikin catatan tambahan ini karena dia protes kenapa namanya tak tertulis di postingan di atas.

Padahal 'kan namanya sudah tertulis di hati saya ya. Halah.

Eni juga menjadi orang terakhir yang mengucapkan selamat dan doa pada saya, entah ucapannya yang ke berapa di hari itu. Hingga menjelang tengah malam, hingga hampir habis tanggal satu.

Ya, kita tak harus menjadi yang pertama. Kita bisa menjadi yang menemani hingga akhir. Terima kasih, Dik Eni!

06 Juli 2016

Terorisme

Lebaran lagi. Jika lebaran memiliki kata dasar "lebar", dalam bahasa Jawa berarti akhir, maka lebaran adalah pengakhiran. Akhir dari puasa Ramadan selama sebulan.

Sebelum Ramadan tahun ini berakhir, ada bom meledak di sejumlah tempat. Yang cukup mengejutkan bom di Madinah, dekat masjid Nabawi. Di sana terdapat makam Nabi Muhammad dan para sahabat.

Sebagian besar orang sepakat, menganggap ledakan-ledakan itu ulah kelompok ISIS. Terlebih setelah kelompok tersebut mengklaim serangan itu oleh mereka. Majelis Ulama di Saudi menyatakan bahwa pelaku adalah bagian dari kelompok Khawarij.

Kemudian kalimat ini populer kembali; terrorism has no religion. Ya, tapi bagaimana dengan sang teroris? Apakah beragama? 

Adnan ‘Ar’ur, seorang dai yang sangat populer di Saudi, mengatakan bahwa 99,9% anggota ISIS adalah muslim, ikhlas, dan jujur.

Kalau tak silap istilah “terrorism has no religion” populer pertama kali saat kejadian 9/11 di US. Kurang lebih mengandung pesan; terorisme tidak terdapat dalam ajaran agama manapun. Tak di Islam, tak di Yahudi, tak di Kristen, tak di Hindu, tak di Buddha, tak di mana-mana.

Tapi teror oleh pemeluk agama terjadi di seluruh dunia. Oleh ekstremis Hindu di India, oleh ekstremis Buddha di Myanmar, oleh ekstremis Islam di Timur Tengah, dan sebagainya. Ternyata teroris bisa beragama, meski terorisme tak diajarkan dalam agama.

Pada awal abad 20 kelompok Wahabi ingin menghancurkan makam Nabi, di Nabawi. Sejak dulu mereka memang menentang simbol-simbol pasca Nabi. Sampai kini benih ini bertebaran di sekitar kita. Mereka mudah menuduh bid’ah, mengkafirkan, menentang ziarah kubur, menentang peringatan maulid Nabi, mengutuk kelompok yang berbeda dengan mereka, dan seterusnya.

Jika pola ISIS menyerang masjid Nabawi sama dengan yang dilakukan kelompok Wahabi, maka umat muslim kini perlu mawas diri. Kapan harus berhenti menggunakan cara-cara ini.

Jika terorisme tidak beragama, maka yang kita lawan bukan agama yang dianut pelakunya (teroris) melainkan perilakunya. Jika ada anggota DPR korupsi, yang kita hukum pelakunya, kita lawan perilakunya bukan institusinya.

Jadi umat Islam tak perlu kebakaran jenggot hanya karena pelaku bom bunuh diri itu juga muslim.

Selamat Idul Fitri. Semoga kita senantiasa menjadi manusia yang saling mengasihi. Mari akhiri rasa benci yang tersisa di hati kita.

Saya sambung ke postingan berikutnya...

03 Mei 2016

Fix You

"When you try your best but you don't succeed"

Coldplay mengawali lagu itu sedikit murung. Kemurungan yang tak sepenuhnya miliknya.

Ia berbicara dengan kata ganti orang pertama, "I" (aku). Menggambarkan posisi sulit orang ke dua, "you" (kamu). Kemurungan yang menular pada "I" (aku) berasal dari kesulitan "you" (kamu).

"When you feel so tired but you can't sleep"

Menurut referensi lagu itu ditulis oleh vokalis Coldplay untuk sang isteri yang kehilangan Ayahnya. Chris said that it was written for his wife Gwyn after her father passed away.

Tapi toh seperti karya lainnya, ia bisa ditarik masuk ke dalam cerita semua orang. Tak terbatas dari mana dia berasal. Saya setuju, this song could be interpreted in many ways.

Seorang anak umur 10 tahun, waktu itu menceritakan tekanan yang dialaminya. Ayahnya pemabuk. Tiap kali dia minum, terjadi pertengkaran dengan isterinya, Ibu anak tadi. Akunya, "I cry whenever I hear this song."

Anak itu murung melihat Ibunya, atau Ayahnya, atau kedua orang tuanya. Ia murung bukan karena yang lain murung. Ia murung melihat masalah di hadapannya.

"Stuck in reverse"

Anak itu bukan satu-satunya. Kita mungkin saja ada di sana. Bertemu persoalan yang belum pernah terbayangkan, tak yakin punya kuasa menyelesaikan. Tapi apa salahnya mencoba.

"If you never try you'll never know"

Dimulai dari "you" (kamu), menemukan cahaya yang akan menuntunmu pulang, repetisi Coldplay dalam referansi lagu itu. Dan "you" (kamu) tak sendirian.

"I will try to fix you"

02 Mei 2016

Menyembuhkan

"Mari kita diskusikan permasalahan bangsa!"

Saya pernah ada di grup FB dengan tagline seangker itu. Ndakik tenan.

Dulu memang menjadi bagian dari sebuah forum nasional yang isinya mahasiswa se-Indonesia. Mahasiswi juga tentu saja. Kalau tak ada mahasiswi saya tak mungkin di sana.

Sempat ikut nimbrung di Surabaya, Semarang, Salatiga, dan Jogja untuk sekadar sharing. Lumayan jadi punya kawan dari Sabang sampai Merauke - ini supaya kece saja; sebenarnya tak sebanyak itu.

Pokoknya mah keren pisanlah, mendiskusikan permasalahan bangsa.

Sekarang ini beda lagi. Jangankan "mengurusi" negara, persoalan sendiri saja bisa bikin kewalahan. Padahal gemar berceramah. Seolah semua masalah punya solusi mudah. Giliran menghadapi kikuk juga.

Menasihati itu gampang sebab tak ditujukan pada diri sendiri, kira-kira begitu kata seseorang, sebut saja Tuan Wahai. Kini saya tahu persis itu benar. Wahai.

Tapi syukur juga punya rasa humor yang lumayan. Masalah sendiri saja bisa saya tertawakan. I laugh therefore I am (after - corgito ergo sum, Descartes).

Sampai di sini sulit menyangkal kebaikan hati orang-orang yang bersedia membantu orang lain menyembuhkan diri. Komedian yang mengajak tertawa, tak peduli apakah dia sedang ingin tertawa atau tidak. Motivator yang entah apa motivasinya. Musisi, penulis, terapis, escort... Eh, maaf, maaf.

Semoga dilimpahkan berkat atas kemuliaan beliau sekalian.

Kalaupun ada yang tak cukup terbantu oleh mereka, waktu yang akan menyembuhkan. Time heals.

Akhiru kalam wa bilahi taufiq wal hidayah, wa rido wal inayah, wa Siti Badriyah, wal Fahri Hamzah, halah... Mari kita diskusikan permasalahan bangsa!

16 April 2016

Sendirian

“Don’t think you can frighten me by telling me that I am alone... God is alone... the loneliness of God is His strength.” Sebuah lakon dalam Saint Joan karya George Bernard Shaw.

Jomblowan-jomblowati boleh bertepuk sebelah tangan telah membaca kutipan kece di atas. Silakan! Tapi jangan terlalu girang, ini bukan pledoi atas konten bully terhadap kaum kesepian.

Sebenarnya tak semua jomblo melewati hari-hari yang sepi meski sendiri. 'Sepi' memang tak sama dengan 'sendiri' meski mudah menyertai. Kesepian dan sendirian adalah 2 hal yang berbeda. Berangkat dari situ saya hendak menggugat sepenggal naskah Saint Joan di atas. Ahelah.

Dalam bahasa Indonesia, “Jangan pikir kau dapat menakutiku dengan mengatakan padaku bahwa aku sendirian... Tuhan sendirian... kesepian (loneliness) Tuhan adalah kekuatan-Nya.”

Kita simpulkan saja, menurut Joan (bukan Bernard Shaw), Tuhan sendirian dan-lalu Tuhan kesepian. Padahal sendirian tak sama-dan-sebangun (kongruen) dengan kesepian. Bagaimana kita tahu bahwa Tuhan kesepian dalam kesendirian-Nya?

Mudah ditebak, Bernard Shaw memilih kata “loneliness” karena sebelumnya terdapat kata “alone”. God is alone... the loneliness of God...Enak didengar. Mengandung rima yang catchy. Catchy Perry.

Seni seringkali membutuhkan itu. Namun saya tak sepakat jika “loneliness” digunakan untuk mewakili ke-Esa-an Tuhan. God is the one and only, but He is not lonely. Tolong koreksi bila saya silap di sini.

Andai Bernard Shaw menemukan kata yang lebih tegas dan sepadan dengan kesendirian, bukan "loneliness" yang multitafsir dan bisa diartikan kesepian.

Tapi jangan salah paham, itu bukan pendapat Bernard Shaw. Bahwa Saint Joan karya Bernard Shaw, ya, memang. Tapi pendapat tokohnya bukan berarti pendapat penulisnya.

Sama halnya dalam “Ada Apa dengan Cinta (AADC)” pendapat Rangga bukan berarti pendapat Rudi Soedjarwo sang sutradara, bukan juga pendapat Mira Lesmana atau Riri Riza yang punya ide cerita.

Tokoh cerita boleh jadi dipengaruhi orang di baliknya. Tetapi ketika karya itu selesai, ia berdiri sendiri.

Terlebih kalau kita ingat bahwa Saint Joan merupakan interpretasi kehidupan wanita pejuang asal Perancis yang dikenal Joan of Arc. Tentu saja dalam menampilkan sosok Joan, Bernard banyak dipengaruhi catatan sebelumnya (kalau tak boleh disebut sejarah). Maka Bernard semakin jauh dengan Joan bahkan dalam karyanya sendiri.

Orang lain mungkin menafsirkan “loneliness” dalam naskah di atas sebagai “kesendirian”. Tapi saya takkan mengutuk dan mendosakan hanya karena berbeda. Belum tentu mereka ahli neraka hanya karena tak sama dengan saya. Lagipula, tak enak di surga sendirian.

05 Maret 2016

Kado

Entah ini cuma terjadi di saya atau pada orang lain juga. Tapi jujur saja, bukan perkara mudah memilih kado pertama untuk perempuan.

Kesulitan saya berangkat dari apa-apa yang ada di kepala. Mulai dari kebingungan apakah harus benda fungsional atau emosional, hal umum atau khusus (ini biasanya identik dengan yang "spesial" meski tak melulu begitu), materi atau non materi, bla-bla-bla banyak sekali.

Setelah dapat pilihan terbaik (sebelum diwujudkan), masih ada saja yang menjadi soal. Yaitu kekhawatiran tentang apa yang akan menjadi kado selanjutnya.

Maksud saya begini. Kalau saat ini saya beri dia kado terbaik, lalu di momen yang celebrate-able berikutnya mesti memberi kado apa lagi? Rasanya tak mungkin harus menurunkan kualitas dari yang terbaik menjadi sekedar baik.

Kualitas di atas bukan ihwal mutu benda, melainkan bobot pilihan berdasarkan konteks saat itu. Secara sederhana; nilainya, bukan harganya.

Belum selesai dengan semua berondongan itu, saya buru-buru disergap kecemasan baru. Mengenai beban yang ditimbulkan dari kado tadi. Apakah benda itu akan membebaninya untuk menemukan kado balasan yang mungkin saja sama sulitnya?

Padahal tidak ada maksud, boleh di-high-light, tidak ada maksud mengharapkan kado balasan. Tak ada laki-laki yang mengharapkan kado balasan.

Kurang lebih saya berada dalam satu barisan dengan makhluk Mars yang menganut tradisi lama. Di mana lelaki lebih suka memberikan kado yang baik, tetapi tak menginginkan kado balasan. Pesan ini terangkum dalam kisah Adam & Hawa dengan persembahan buah khuldi.

Laki-laki lebih suka diurusi dalam lingkup domestik. Apakah itu dengan si perempuan memasak nasi goreng untuknya, menyiapkan keperluan kerjanya, atau sekedar teh hangat di sore hari sambil berbincang tentang film yang akan tayang di bioskop Sabtu depan.

Percayalah, masih banyak lelaki yang menyukai itu ketimbang benda-benda pemberian. Soal memberi kado biar jadi domain kaum Adam meski harus berpikir setengah mati.

Tapi toh jika terdesak mentok tak punya ide, masih ada warisan pendahulu kita seperti bunga, coklat, boneka, dan lain sebagainya yang relevan sepanjang zaman.

Akhirnya, biarpun tak terlalu tepat sasaran, paling tidak tulisan ini cukup mewakili apa yang tak seluruhnya bisa saya uraikan.

Tak semua dapat diringkas menjadi kata-kata seberapapun panjangnya. Persis seperti perempuan yang merayakan ulang tahunnya hari ini, Anggraeni Murdiastuti.

Happy birthday, Eni, thanks for being you.

20 Februari 2016

Jomblo

Februari. Sudah tanggal dua puluh. Seharusnya sudah aman bicara tentang valentine. Tanggal 14 sudah lewat jauh. Kecil potensi di-bully karena dianggap mendukung free sex.

Saya tak tahu kenapa valentine dianggap yang paling bertanggung jawab atas free sex (seks gratis?) pada (terutama) remaja. Kalaupun, seandainya valentine terbukti benar mendorong perilaku seks gratis (free sex), mestinya kita dukung.

Lho, iya! Seks gratis 'kan dilakukan oleh pasangan resmi. Yang tak resmi itu biasanya bayar (paid sex?). Artinya valentine bisa meningkatkan minat menikah - yang ibadah itu, supaya bisa melakukan seks gratis (halal). Jadi perayaan valentine boleh dipertimbangkan.

Tapi di postingan ini saya akan melarikan diri dari topik di atas. Takut di-bully. Ada hal lain yang lebih mendesak untuk dibicarakan. Yaitu, kenapa intensitas hujan di bulan ini tinggi?

Mohon sabar menyimak, saya akan mengangsurkan tuduhan dugaan pelan-pelan.

Saya menemukan pola menarik. Meski banyak yang enggan merayakan valentine, Februari terlanjur identik dengan bulan kasih sayang itu. Yang memiliki pasangan takkan terlalu risau jika harus berbasa-basi dengan coklat atau bunga. Mereka tahu mesti dialamatkan ke mana, walau tanpa itupun tak jadi soal. Tapi bagi jomblo, biarpun ia menolak perayaan valentine, tetap saja 14 Februari menjadi hari yang menegangkan.

Lalu? Sabar, pelan-pelan saja.

Entah kenapa kaum jomblo adalah objek yang paling bully-able di manapun berada. Dihina, diejek, direndahkan, ditertawakan, pokoknya dianggap paling menderita. Mereka sudah kenyang dizalimi.

Gawatnya, mungkin benar bahwa Tuhan mengabulkan doa orang yang teraniaya. Itu baru seorang (satu) teraniaya. Bagaimana jika menjadi "orang-orang" yang teraniaya lalu memanjatkan doa yang sama? Betapa ampuh, bukan?

Sampeyan boleh tak setuju. Tapi sabar dulu, saya tak butuh persetujuan situ. Pelan-pelan saja.

Bayangkan jika para jomblo yang teraniaya tadi bersatu. Dalam Majelis Jomblo Indonesia, misalnya, atau Front Pembela Jomblo. Pada saat itu tiba negara tak bisa lagi diam. Indonesia darurat jomblo. Jelas ini ancaman nasional.

Lho, kenapa? Sabar, jangan dimarah. Pelan-pelan saja.

Sampeyan tahu apa yang dilakukan para jomblo tiap malam Minggu? Ya, berdoa minta hujan. Jadi sampeyan tahu apa yang mereka lakukan menjelang Februari yang monumental itu? Ya, makin masif doa dipanjatkan.

Coba ingat lagi, mulai Desember hujan sudah tumpah. Majelis dan Front mulai gencar. Sampai masuk Maret nanti, barulah frekuensi doa berkurang.

Kita simpulkan pelan-pelan saja, sabar.

Sekarang sudah tahu kenapa intensitas hujan di bulan ini begitu tinggi? Jomblo? Bukan! Kehendak Tuhan lah! Piye sih...

01 Februari 2016

Mengurusi

Kita pastilah amat senggang hingga sempat mengurusi orang lain. Bukan sempat lagi, bahkan rutin. Orang merayakan valentine, cara berpakaian, orientasi seksual, semuanya diurusi.

Ada yang lebih kurang ajar. Mengurusi Tuhan. Malah cenderung mendikte. Misalnya tentang siapa yang harus masuk surga dan siapa yang harus masuk neraka. Padahal malaikat saja emoh campur tangan.

Segala hal memang enak diurusi (baca: dinyinyiri, dsb) selama bukan tentang diri sendiri. Itu cukup menunjukkan bahwa orang kita memiliki kepedulian yang tinggi. Care

Kabar buruknya, berangkat dari peduli dan mengurusi, banyak orang gemar memungut sepotong ayat untuk mengangsurkan vonis pada yang lainnya. Terutama menyoal perkara yang berhubungan dengan agama.

Betapa Rasul, Nabi, Buddha, dan lainnya akan kecewa menyaksikan petuahnya dipelintir sedemikian rupa. Betapa sedih mereka melihat pengikutnya dipenuhi syak wasangka.

Yang mendesak untuk diteladani dari Nabi (dkk) adalah kebijaksanaannya. Kenapa? Karena kita mudah menemukan dua atau lebih sabda/firman yang seolah saling memunggungi. Tanpa kebijaksanaan orang rawan tergelincir pada kebencian demi agama.

Tapi, daripada mengurusi urusan yang tak perlu diurusi (di atas itu), lebih baik simak tingkah pertelevisian kita. Di sana ada lembaga yang mengurusi moral anak bangsa. Sebutlah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), LSF (Lembaga Sensor Film), dan sebagainya yang berjibaku demi masa depan Indonesia.

Beberapa waktu lalu mereka memburamkan (blur) adegan seorang anak yang memerah susu sapi (hewan). Iya, sapi hewan itu. Barangkali takut ada sapi jantan yang lihat lalu birahi dan mengawini tivi. Yang terbaru mereka memburamkan Shizuka memakai baju renang, tokoh kartun dalam serial Doraemon.

Kini kita tahu, menurut pertelevisian kita, tokoh kartun anak memakai baju renang lebih bisa mengganggu moral ketimbang acara gosip dan sinetron yang penuh dengan adegan mulia.

Kalau jadi presiden, akan saya bentuk Kementerian Urusan Orang Lain (disingkat Kementuol) yang menaungi lembaga-lembaga dengan tingkat kepedulian tinggi.

26 Januari 2016

LGBT

Pada lagu melayu saja saya kikuk bagaimana harus bersikap, jangan ditanyai LGBT. Berat! Itu bagian menteri atau ulama saja. Kalau Menristek dinilai tak cakap berkomentar sampai dihujat, barangkali presiden harus membentuk kementerian baru. Kementerian Urusan LGBT, misalnya, seperti usul @ryuhasan.

Di samping itu Majelis Ulama junjungan kitapun siap sedia jika ada pesanan. Seperti biasa, selalu sigap dan tanggap membaca peluang.

Postingan ini diwarnai pile of crap kabar-kabar aktual, jadi sampeyan memang harus up to date buat mengikuti. Gaya betul!

Sebagai musikus (bukan musisi! Musisi itu bentuk jamaknya!) amatir, saya gamang bagaimana harus memandang lagu melayu. Pun cuma memandang.

Kalau sampeyan punya ide tolong ajari saya.

Lagu melayu paling enak diejek. Pertama, karena saya bukan bagian darinya. Ke dua, musikalitasnya rendah, tak berkelas, pokoknya murahan. Katanya. Ke tiga, karena banyak orang yang melakukan hal serupa. Jadi saya aman sebab tak sendirian.

Seolah lagu melayu memang pantas diejek, direndahkan, ditepikan, disingkirkan, dinomor-dua-atau-tiga-kan. Pun pada LGBT. Seolah dunia menjadi lebih baik dengan mengejek, merendahkan, menepikan, menyingkirkan, menomor-dua-atau-tiga-kan, atau nol bahkan.

Itu bukan berarti keberpihakan saya pada LGBT, bukan. Kalimat sebelum inipun bukan berarti penolakan. Jadi saya ada di kubu mana? Hambuh! Pokoknya saya tidak mau dibully karena dinilai berpihak atau tak berpihak.

Jangan membenturkan saya pada dalil-dalil agama (Islam). Kalau sampeyan sudah khatam kitab-kitab klasik yang membahas fiqh untuk waria, silakan ceramahi saya.

Begini duduk soalnya. Kalau ada fiqh yang memberi jalan tengah bagi kaum minoritas itu, artinya agama mengakomodir keberadaannya. Maka tak perlu buru-buru dibenturkan pada moral minoritas di atas. Tapi sekali lagi ini bukan menandakan keberpihakan saya atau tidak. Jadi jangan dibully.

Jika suatu hari saya lihat sampeyan mendengarkan lagu melayu, takkan saya bully. Ya mau gimana wong nyatanya ada kok. ‘Kan enak menikmati lagu yang cetek-cetek saja. Tak perlu pakai pelampung. Meh.

Moral lagu bukan urusan saya. LGBT-pun demikian. Kenyataannya mereka ada. Agama macam apa yang kemudian menepikan umat manusia? Bagaimana ia disebut agama jika tak mencakup seisi alam? Katanya saja "rahmatan lil alamin".

Jadi LGBT diterima? Ya, mudah saja, asal jangan keluarga saya. Lha. Ah, sudah saya katakan sejak awal saya gamang. Kikuk.