15 Maret 2013

Twitwar

Saya tidak akan mendefinisikan apa itu Twitwar. Di tempat lain sudah banyak yang membicarakan. Tapi boleh lah buat sedikit gambaran. Twitwar berasal dari dua kata; twit dan war. Perang twit.

Berkeliaran di timeline, kita perlu ekstra waspada. Dia bagian dari WWW yang digandrungi manusia di abad 21. Pisau bermata dua yang sama tajamnya. World Wild Web. Iya, wild.  Rimba lini masa. Namanya juga rimba, singa atau macan tidak berkandang. Berani masuk harus berani dicakar. Tidak mau dicakar, jangan masuk. Karena balas mencakar saja dihalalkan. Kecuali kalau eman dengan kuku yang mendapat perawatan manicure-pedicure tiap minggu itu.

Kita akan banyak menjumpai burung yang berkicau. Burung-burung yang bernyanyi. Melagukan ode kesedihan. Dan tidak cuma sekali/dua kali burung-burung itu saling memaki, bersumpah serapah. Sudah merdeka, katanya. Tapi jangan salah, mereka bukan burung beo yang dilatih berminggu-minggu untuk memenangkan festival. Mereka tidak dikarantina dan diberi makan pelet impor. Tidak peduli sedang nge-trend barang impor murah. Burung-burung itu makan apa saja. Mereka omnivora. Kalau sudah tidak ada lagi yang bisa dikunyah, mereka biasa mengganyang sesamanya. Sah. Yang penting kenyang.    

"Siapa suruh media nayangin berita Sumanto? Hayo!” kata burung yang nangkring di pohon bambu. Mereka berguru pada apa yang bisa ditiru. Asal terlihat berarti boleh diduplikat.  

Ada fenomena unik di rimba linimasa. Twitwar tanpa mention. Masing-masing cuma akan saling nyinyir pamer kebolehan berkicau sampai mulut berbusa. Kadang-kadang sampai berisik sekali. Senggol sana senggol sini. Mungkin kebanyakan nonton konser dangdut. Makin disenggol makin asik. Atau bekas anak metal, ditabuhi sedikit maunya moshpit.  

Di medan Twitwar, para burung dibekali ketapel. Untuk menembaki sesama burung itu sendiri. Tapi dengan konsep tanpa mention, jadilah perang twit itu membabi buta. Bayangkan saja sebuah arena adu jotos yang di dalamnya berisi algojo-algojo, yang tanpa ada penerangan sama sekali. Mike Tyson merasa dijotos Holyfield dari kiri, dia balas pukul ke kiri disangka tepat kena Holyfield ternyata kena Chris John. Chris John tidak mau kalah, diayunkannya pukulan ke kanan membalas Mike Tyson, rasanya tepat sasaran ternyata bersarang di muka Ronaldinho. Lho, rimba linimasa memang begitu. Dari pesepakbola sampai petinju jadi satu. Sudah tidak bisa dibedakan lagi mana yang alumni RSJ mana yang alumni ITB. Semua saling tembak dan tetap dengan saling buta. Saling merasa.

Rimba linimasa ini mengerikan. Lengah sedikit saja jadi bulan-bulanan. Keluar dari sana kita merasa saling bonyok. Tapi itu menyenangkan. Buktinya ketagihan. Sudah tahu bakal babak belur tapi masuk lagi. Tapi, meski bikin ketagihan untungnya tidak menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan, jantung, dan kematian.

Lain kali supaya lebih terarah, kalau Twitwar mesti bawa obor.

14 Maret 2013

Garam

Pernah penasaran kenapa ada orang suka mengoleksi buku? Bukan koleksi sebenarnya. Lalu? Sebentar, yang saya maksud bukan buku-buku ilmiah yang di dalamnya berisi teori atau kajian atau apalah namanya. Beberapa di antaranya berkumpul rumus-rumus angker. Bukan itu. Yang saya maksud buku-buku bermuatan pengalaman penulis.

Memang hampir semua buku bermuatan pengalaman penulisnya, tapi ada buku yang ditulis berdasarkan apa yang benar-benar dialami. Bukan buku yang ditulis dari pengalaman tangan ke dua. Atau ke tiga. Dan seterusnya. You know lah!

Baiklah, saya ingin berbagi cerita kenapa ada orang yang suka membaca pengalaman orang lain. Sekarang anggap saja saya suka membaca pengalaman orang lain. Ya, sayalah orangnya.

Kita tidak selalu sepakat dengan apa yang ditulis seseorang atau berorang-orang. Entah di Koran, buku, media sosial, atau yang lainnya. Tapi kita terus membaca lagi dan lagi. Minggu depan terbit lagi, kita baca lagi. Meski sudah tahu akan tidak sepakat, kita baca lagi. Semacam orang yang tahu rokok itu mematikan, tapi sedot lagi, hisap lagi. Sejenis tapi beda spesies.

Buat saya sendiri membaca pengalaman orang bukan untuk berguru. Karena saya tidak berguru pada sebuah buku. Buku cuma alat yang dipakai para guru saja.

Ada dua alasan kenapa membaca pengalaman orang lain menjadi penting bagi saya. Pertama, penerbit tidak mungkin mencetak buku dari pengalaman yang biasa saja. Dari ribuan pengalaman manusia di muka bumi ini, ada satu-dua pengalaman yang terpilih. Untuk buku tadi. Ya, terpilih. Dengan begitu paling tidak sudah bergaransi “lain daripada yang lain”. Soal isinya ternyata sama dengan yang lain atau biasa-biasa saja itu urusan belakangan. Kita sudah biasa ditipu. Sebangsa perokok tadi, sudah tahu bakal ditipu tapi dipilih juga. Sebangsa tapi beda suku. Saya tidak sedang membicarakan pilkada, pilgub, atau pilpres (uhuk). Ini tentang pil-KB (uhm).

Alasan yang kedua, karena itu pengalaman terpilih, sangat mungkin sekali apa yang tertulis itu belum pernah saya alami sendiri. Jadi saya akan membaca pengalaman orang lain yang belum pernah saya alami. Sedikitnya saya akan tahu apa yang belum saya tahu. Sukur kalau bisa belajar darinya.

“Sudah banyak makan garam”. Begitu mereka menyebut orang yang banyak pengalamannya. Tapi garam yang dibuat di mana? Orang yang 50 tahun memakan garam Madura melulu tentu tidak sama dengan orang yang 20 tahun memakan garam yang berbeda-beda. Garam Cilacap, Rembang, Indramayu, dan seterusnya. Ya memang sama-sama asin. Tapi kadar keasinan di laut Jawa kan berbeda dengan kadar keasinan di laut Merah. Di laut Jawa lebih asin karena rumah-rumah di pemukiman warga terdekat tidak memiliki toilet, misalnya. Kalaupun saya belum pernah mencicipi garam Amsterdam, paling tidak saya bisa membaca pengalaman orang mengenai garam Amsterdam.

Memang  buku tidak seharusnya disembah. Tapi juga jangan dibakar.
Ada lirik lagu bagus (Jangan Bakar Buku – Efek Rumah Kaca)

… setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya
… setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi …
Bait demi bait pemicu anestesi …