19 Juni 2011

Takdir

Kamu percaya takdir? Dalam Islam ada dua takdir; yang bisa diubah dan yang tak bisa diubah. Semua pertanyaan kita tentang masa depan akan dijawab takdir-yang dibawa waktu.

Takdir yang bisa diubah itu banyak. Makanya kita diperintah berikhtiar supaya jawaban yang kita dapat sesuai dengan apa yang kita harap. Kalau belum sesuai harapan, artinya ikhtiar kita belum optimal. Tak ada pengecualian. Titik.

Ikhtiar optimal tidak harus maksimal. Bisa jadi malah minimalis. Asal ikhtiar kita sudah bertemu garisnya, sukses!

Sedang takdir yang satu lagi benar-benar tidak bisa diubah. Di antaranya; hidup, mati, jodoh, dst. Tapi tetap kita wajib berikhtiar. Kalau takdirnya mati ya supaya khusnul khotimah-bukan ditunda matinya. Yang digariskan adalah kematiannya, bukan catatan yang dibawanya ketika mati. Kita berhak menentukan catatan apa yang akan kita bawa setelah itu-sebelum terlambat, maut menjemput.

Semua hal di dunia akhirnya akan bertemu takdir. Entah takdir membawanya ke mana. Entah takdir yang mana saja. Yang fleksibel atau yang paten. Biasanya takdir-takdir fleksibel akan bermuara pada takdir paten. Manusia boleh saja memenangkan takdir-takdir fleksibel, tapi tak akan dapat menawar takdir paten barang satu kata.

Kamu boleh saja mendapatkan perawatan kesehatan dari dokter nomor wahid di seantero jagad. Kamu mungkin saja memiliki jaminan gizi, vitamin, nutrisi, oksigen, dan tetek bengek lain yang terbaik. Kamu manusia dengan kawalan ketat bodyguard kekar dan pasukan anti teror sepanjang jalan. Kamu telah berikhtiar dan mungkin memenangkan takdir fleksibel. Tapi jangan bilang "nanti" pada malaikat pencabut nyawa. Orang paling sehat, aman dan terjamin seperti kamu pun akan gagal negosiasi maut. Itu salah satu takdir paten.

Berikhtiar saja dengan optimal, lalu bertawakal. Takdir paten sendirinya akan memperterang. Tak perlu banyak mempertanyakan. Saya harap kamu mengerti.

14 Juni 2011

Cemburu

Sudahlah, jangan bertanya terus. Saya tidak semengerti yang kalian kira. Soal pengalaman saya pikir kita sama. Kurang lebih 20 tahun bertemu orang-orang yang berbeda. Menghirup udara yang sama. Memijak tanah yang sama. Dipayungi langit yang sama. Bumi kita sama. Negara kita sama. Kalaupun memang berbeda mungkin cuma satu dua tahun. Atau paling pol tiga empat tahun. Malah beda kita cuma dalam hitungan bulan dan hari, bahkan jam. Itupun waktu saya yang lebih singkat. Jadi berhentilah bertanya!



Baik kalau kalian memaksa. Tapi untuk kali ini saja.

Cemburu? Cemburu itu gejala wajar manusia. Artinya kalau kamu bisa merasakan cemburu, kamu boleh tenang karena kemungkinan kamu manusia. Ditambah beberapa syarat mutlak lain, baru kamu bisa mengantongi KTP. Karena penduduk itu manusia. Kamu bebas menikmati fasilitas-fasilitas khusus manusia. Banyak LSM yang siap membela kalau kamu dihalang-halangi menikmati fasilitas tadi. Fasilitas asasi tentunya.

Jadi jangan khawatir, kamu sedang dicoba sebagai manusia. Kalau ujianmu gagal, … saya tidak mau mengatakan … .

Baik, baik, kalau gagal predikat manusiamu bisa dicopot. Memang menyeramkan. Tapi apa boleh buat. Ini aturannya.

Tenang saja, semua manusia merasakan cemburu yang juga kamu rasakan. Hanya takarannya berbeda-beda. Cemburu itu nikmat. Percayalah, tak ada satu hal pun di dunia yang sia-sia!

Orang bilang, cemburu tandanya cinta. Tepat! Manusia cemburu karena ada cinta. Hidup penuh cinta tanpa cemburu bagaikan sekeranjang jeruk manis tanpa satu buahpun jeruk masam. Lalu seorang teman menyela, “Bukannya bagai sayur tanpa garam?”

Saya lanjutkan, itu pendapat orang lain. Sayur tanpa garam itu hambar. Rasanya bukan tak enak, tapi tak sedap. Dan lidah saya tidak terlatih menikmati rasa hambar, tak sedap. Tak enak juga sih. Saya harap kamu pun demikian.

“Lalu bagamaimana dengan jeruk tadi?”

Cinta itu nikmat. Cinta bukan hambar, tak sedap, apalagi tak enak. Cinta itu manis. Ingatlah betapa manisnya Ibu mengantarmu ke sekolah pertama kali. Betapa manisnya Ibu mendekapmu saat hujan badai di luar sana. Betapa manisnya Ayah membawakan mainan kesukaanmu. Betapa manisnya Ayah terjaga hingga larut menunggumu pulang. Betapa manisnya cinta itu.

Tapi apa jadinya kalau sekeranjang jeruk manis tadi kamu santap tiap hari selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun? Pelan-pelan rasa yang tersisa tinggal manis saja. Kamu akan lupa nikmatnya rasa manis jeruk-jeruk itu. Jadi yang kamu butuhkan hanya satu buah jeruk masam di dalam keranjang supaya kamu lebih menikmati jeruk manismu. Dua boleh, tiga dimaafkan, tapi jangan terlalu banyak!

“Jadi apa hubungan semua ini?”

Ternyata kamu perlu diupgrade. Banyak processor canggih di luar sana. Murah meriah. Obral. Kalau hanya mampu secondhand juga banyak yang jual. Pasar loak pusatnya.

Kesimpulannya, sekeranjang jeruk manis tanpa jeruk masam tetaplah manis. Sampai kiamatpun tetap manis. Tapi kamu akan sulit menghargai manisnya jeruk itu kalau sesekali tak merasakan jeruk yang masam. Kecaplah jeruk masam itu maka kamu akan menyadari betapa jeruk manis itu nikmat luar biasa. Tak ada kertas paling putih kalau tak ada yang lebih hitam. Minimal lebih buram. Mau kertas terputih harus paham bagaimana yang lebih buram. Tidak mungkin mengakui paling putih kalau tak tahu ada yang buram.

“Dipermudah sajalah!”

Cinta itu manis. Cemburu itu masam. Cinta tanpa cemburu itu tetap manis. Tapi cinta dengan cemburu itu terasa lebih manis. Cinta dengan cemburu itu nikmat. Cemburu itu milik tiap manusia. Tiap orang. Kamu, saya, dia, mereka, semua. Jadi kamu normal! Kamu pasti pernah cemburu ketika orangtuamu lebih memperhatikan kakak atau adikmu daripada kamu. Kamu mungkin cemburu saat orangtuamu lebih asik dengan pekerjaannya daripada menanyakan nilai ulanganmu. Cemburu itu manusiawi!

“Tapi yang saya tanyakan cemburu pada lawan jenis –dalam tanda kutip! Itu lho si DOI!”

Ya sama saja. Tetap berlaku seperti itu. Tapi hati-hati jangan jeruk masamnya kelewat banyak! Nanti menyusahakan orang lain, menyusahkan diri sendiri juga. Salah-salah malah over dosis, cilaka Ente!

“O… ya, ya! Kamu kok pinter to?

Bukan saya yang pinter, tapi kamu yang belum paham. Semua orang juga pasti ngerti hal-hal begini. Kebetulan saja kamu bertemu saya. Kebetulan pula saya yang pertama membantumu memahami hal begini. Alhamdulillah.

12 Juni 2011

Berkendara

Saya benci menjadi melankolik. Tapi semakin saya membenci semakin menyiksa pula ketika dia datang. Biarlah, kita tak dapat merasakan nikmatnya keceriaan kalau belum pernah merasakan sendu. Dari melankolik juga blog ini jadi penuh.

Menjalani hidup sudah seperti berkendara di jalan raya saja. Sometimes bertemu persimpangan semrawut tak ada rambu lalu lintas. Tak semua persimpangan seberengsek itu tentu saja. Ada juga-malah banyak- yang penuh dengan rambu. Beruntung kalau melewati jalan seperti ini. Ada peringatan lampu kuning supaya mengurangi kecepatan. Banyak kendaraan-kendaraan lain tak kalah bernafsu ngebut daripada kita. Mereka juga punya kepentingan. Apapun itu. Meski cuma berkepentingan pamer kenekatan.

Saat lampu merah kita wajib berhenti. Ibarat menulis karangan, kita harus segera membubuhkan tanda titik. Mau dilanjutkan dengan kalimat baru atau paragraf baru, itu urusan nanti. Yang penting berhenti dulu. Kalau kita termasuk orang pamer nekat, jangan heran kalau tiba-tiba diseruduk kendaraan-kendaraan lain dari samping kanan kiri. Failed lah sudah. Itu kalau beruntung, kalau tidak ya game over.

Yang serasa nikmat, bebas, dan menyenangkan adalah ketika nyala lampu itu hijau. Bagi orang yang grusa-grusu pasti kendaraannya dipacu sekencang dia bisa. Namun sebagian lagi lebih memilih tetap pelan. Tergantung selera dan pertimbangan.

Saya termasuk orang yang cukup pelan. Tapi kadang juga harus ngebut. Semua pengendara selalu punya alasan untuk pelan atau ngebut. Bukannya pelan untuk mengulur waktu, bukannya takut ini atau itu, tapi usia yang menjadikan saya harus penuh pertimbangan. Dulu saya juga pengebut jalanan. Wajarlah abu-abu. Tapi sekarang lain cerita. Bagaimana kalau tiba-tiba jalan di depan penuh lubang? Bagaimana kalau mendadak ada orang nyeberang? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Semua harus diukur.

Saat ini saya sedang berada di persimpangan. Nyala lampu lalu lintas di depan sedang hijau. Tujuan awal saya lurus ke depan. Tapi lihatlah jalan melintang ke kanan dan ke kiri yang sepertinya teramat bebas untuk dilalui. Entahlah, lampunya di mana-mana. Kalau mendadak banting setir, bahaya mengancam. Kendaraan-kendaraan di belakang siap menghantam. Mungkin saya harus tetap lurus. Nanti kalau waktu membawa saya ke jalan melintang itu, biar saya jalani.

Di depan sana mungkin ada jalan berlubang, berdebu, berair. Mungkin suatau saat nanti saya harus melalui jalan-jalan tikus. Sempit, ramai, padat, berisik. Sama saja seperti jalan protokol.

Atau nanti saya putuskan untuk melewati jalan tol. Berharap lebih nyaman dari jalan konvensional. Ah, itu nanti. Sekarang biar saya jalankan lurus dulu.

Besok kalau saya lihat kamu di pinggir jalan, kamu boleh menumpang. Barangkali tujuan kita sama. Takdir yang akan memperjelas siapa nanti yang berkendara bersama saya sampai mana. Bisa jadi kelak saya yang menumpang orang lain. Kamu juga harus mau memberi tumpangan kalau memang saya butuh tumpangan.

Biarlah waktu yang menegaskan. Sekarang saya harus berkendara dengan tujuan semula. Kita memang harus konsisten. Sudahlah, sudah. Saya harus jalan. Kendaraan di belakang mulai berisik memainkan gas dan menyalakkan klakson. Iya Pak, Bu, Dik, Bro, Gan, Ndes, Dab, Cuk, …, sabar!

03 Juni 2011

Palsu (Cerpen)

Saya protes pada kalian. Tahukah bahwa kamu, kamu, kamu semua membosankan! Tidakkah kalian punya pakaian selain putih, putih, dan putih? Lalu apa yang kalian pamerkan dengan sayap di punggung itu? Semua orang bisa saja mengepak-kepak sesuka hati asal diberi. Kamu yang di pojok, sampai rela berdesak-desakkan di pasar loak berebut rompi bersayap itu. Rompi itu jahitan penipu. Dia menipu embahmu, pacarmu, anak cucumu kelak. Lepaskan! Terjun dari Monas pun kamu pasti modar. Baru jadi icon produk saja...

Belum sampai pria itu menamatkan kalimatnya, seorang berseragam putih dalam barisan memotong.

"Tapi saya juga masuk film, Pak."

"Saya belum selesai!"

"Meski cuma figuran" sahut yang lain.

"Diam!"

"Saya sedikit lebih apes, jadi stuntman," seorang lain lagi ikut berebut pamer.

"Hei kalian!"

"Iya, saya juga stuntman. Harus berkali-kali jatuh dari pohon. Sampai memar semua," barisan paling belakang menimpal.

"Kalian ini sudah goblok, tak tahu aturan! Ini orang tua lagi ngomong!" Pria itu terengah-engah. Tak terbayang olehnya akan menghadapi pasukan bengal ini. Bola matanya hampir keluar dari kantong keriput di atas pipinya yang kempot. Tubuhnya gemetar. Bukan karena gentar. Darahnya sudah mendidih. Kulitnya sebentar lagi pasti melepuh. Nyamuk mendekat beberapa inchi saja bakal gosong. Hangus. Terbakar.

Sial. Bukannya tenang, barisan makin ricuh.

"Apa mau ini pacul nancep di kepala?!" Pria itu mengangkat cangkul tuanya yang penuh karat.

Benar saja, ancamannya berhasil. Sekarang giliran pasukan bersayap yang gemetar. Semua tegap tak bergerak.

AC sudah disetel paling dingin. Tapi tak mampu menahan laju banjir bandang yang sekonyong-konyong menyambar. Hujan datangnya tanpa permisi. Derasnya tak bisa ditawar. Kali ini bendungan harus jebol. Awalnya hanya menerobos dari pori-pori. Mulai melompat dan menggenangi mata. Menyusul gempuran lewat hidung. Brolll...ambrol sudah sekarang membasahi celana dan kaki. Pesing. Tapi tak tercium. Hidung terlanjur penuh air. Tak ada kesempatan udara lewat, sedikitpun. Tegang.

"Gatotkaca yang punya Kutang Antakusuma saja tidak pernah terbang ke istana langit yang kalian ributkan tiap hari. Kalian rebutkan tiap pemilihan. Dia bisa duduk di sana kalau dia mau. Tanpa menyogok, tak perlu punya saudara orang penting, apalagi menjilat. Kalian baru pakai rompi kapas saja kok sudah berani ngakali. Mentang-mentang lulusan luar negeri. Ayo maju kalau mau tak pacul ndasmu!"

Tak satupun pasukan bergerak. Semua bungkam. Ketakutan. Katanya saja intelek, soal nyali sama kampungannya.

Langit menjingga. Bola raksasa yang sedari tadi menggagahi bumi mulai sayu. Cakrawala menyisakan garis tebal namun samar oleh fatamorgana.

Semua tubuh kehabisan keringat. Kehabisan air mata. Kehabisan ingus. Kering.

Pria itu meninggalkan pasukan bersayap. Menjauh. Dengan sigap, gelap menyergap sampai lenyap. Kemudian membanting pintu. Pelan, tapi menggema di dalam ruang.

"Lhadalah... Datang ndak diundang, pulang ndak diusir, kok banting pintu segala. Dasar tua bangka!" Pasukan 1 mulai berani.

"Ah kau ini berani bicara setelah si Tua itu pergi." Pasukan 2 angkat bicara.

"Sampeyan sendiri juga diam tadi."

"Lu berdua same aje. Omdo, omong doang. NATO, No Action Talk Only." Pasukan 3 tak mau kalah.

"Apalah bedanya kalian ni, Ambo amati juga sama sajo." Gerah juga pasukan 4 ternyata.

"Sudahlah, beta ada ide," Pasukan 2 terlihat meyakinkan, "kita minta pendapat ahli saja."

"Tapi saya mau tanya dulu ke receptionist, siapa Tua Bangka tadi."

"Beta ikut!"

"Ambo juga, ada yang lain?"

"Gue deh,"

"Sudahlah, semua ikut saja."

Pasukan berhamburan, mencair, mengalir ke luar ruang. Kali ini pintu dibanting sekencang-kencangnya. Tapi tak bergetar. Pasukan paling belakang sempat berhenti heran. Memandangi pintu kayu jati yang tebalnya hampir 20 sentimeter itu.

"Pintu itu kan kayu solid, Bos." Receptionist menyapa pasukan putih yang menghampirinya terhuyung-huyung.

"Lu, kenape terima tamu bangsat macam tadi?" Pasukan 3 mulai melampiaskan kekesalannya.

"Saya kan hanya menjalankan tugas."

"Apa tugas kau?" Pasukan 2 tak kalah geram.

Namun receptionist tetap tenang. Wajahnya penuh senyum.

"Ya mendata tamu yang datang, mempersilakan masuk, selesai itu..."

"Tapi kenape nggak pilih-pilih?! Ini kepala mau dipecah ame tu orang, tadi!"

"Lho saya kan tidak tahu tamu model bagaimana yang Bos inginkan. Lagipula jarang-jarang kan dapat tamu."

"Sampeyan ini kita bayar mahal, ndak bisa mikir ya?"

"Mikir sih bisa Den, tapi ini tugas."

"Kau bantah saja terus!"

"Saya kan sudah bilang, saya hanya menjalankan tugas."

"Membantah juga tugas?!"

"Bukan membantah, menjawab,"

"Tapi mbok ya pakai pikiranmu!"

"Maaf nih Den, tapi saya tidak dibayar untuk berpikir."

Pasukan itu hampir kehabisan kata-kata meladeni receptionistnya sendiri. Pasukan 3 mulai mencari-cari bahan pelampiasan.

"Berengsek lu ye, kite-kite lagi panas, lu senyum-senyum mulu!"

"Itu kau punya tugas?!" Pasukan 2 menambahkan.

"Termasuk juga,"

"Edan!" Pasukan 1 membentak keras.

"He sudah, Ente-Ente tadi ke sini mau tanya kok malah ribut. Ane heran. Siapa Pak Tua tadi?" Pasukan 5 maju ke depan barisan.

"Oh, ini, Gan..." Receptionist mencetak sesuatu kemudian menyodorkannya pada Pasukan 7.

"Ini data Tua Bangka tadi?" Pasukan 1 menyambar kertas itu.

"Tepat, Bos!"

"Kenape nggak kasih dari tadi?!"

"Kasih ke siapa Bos, tidak ada yang minta."

"Kau tadi tidak menjawab Beta punya tanya!"

"Tanya apa ya?"

"Siapa Tua Bangka itu, bangsat!"

"He sudah, Ente-Ente tadi belum sempat tanya."

"Di mane nih alamatnye?"

"Di pedalaman..."

"Gue kagak tanye lu, kampret! Heran gue, punya receptionist kayak gini.

Pasukan saling pandang dan mengangkat bahu. Sama-sama saling menunggu. Tak satupun tahu. Kertas sudah berpindah tangan berkali-kali, sampai kumal.

"Oke, lu jawab, di mane ni alamatnye?"

"Sudah boleh bicara, Bos?"

"Lu bilang tadi punya tugas ngejawab. Gimane sih!"

"Tapi kalau dipaksa tutup mulut ya diam, Bos. Ditodong pistol sih tidak seberapa, kalau yang ditodongkan sudah amplop tebal apa boleh buat."

"Kau ini banyak cakap, jawab saja!"

"Ya, ya... Ini di pedalaman bawah sana. Kira-kira satu minggu perjalanan naik bis."

"Sialan, kau pikir kita siapa mau naik bis! Siapkan helikopter!"

"Habisnya, mau mendarat di mana. Ini daerah terpencil. Aspal terakhir yang dituang di sana, sekitar lima tahun lalu. Sekarang sudah botak digerus hujan, disengat panas. Jalanan lebih mirip empang. Satu-satunya akses yang bisa dilalui ya itu, darat. Kalau mobil pribadi, kan eman-eman. Nanti malah korban shock breaker, ban..."

"Sudah, sudah, pesankan tiket bis untuk kita semua!"

"Lhoh kita mau ke sana?" Pasukan 1 mulai protes.

"Harus!"

"Buat apa?"

"Kita buat perhitungan."

"Kenapa ndak tadi saja?"

"Tadi Ane kira dia bakal presiden."

"O..ya, ya. Memangnya dia siapa?"

"Ente baca nih, petani dusun terpencil. Ane sendiri baru dengar alamat ini."

"Petani?" Pasukan 1 terkejut, "Wo...tak tumbak koe, Pak!"

"Gue sambit pala tu orang, ntar."

"Ya, ane cincang dia nanti. Ane DOR!"

"Sudah, kita kemasi barang bawaan. Satu jam lagi kumpul di sini. Beta mau bawa panah!"

Dalam sekejap saja para pasukan lenyap. Tak pelak lagi, ini akan menjadi pembunuhan paling keji di abad ini. Tidak ditandai badai bahkan mendung. Purnama tampak ramah. Tak biasanya bintang-bintang akrab dengannya. Siapa sangka dendam dari langit akan turun menjelma menjadi malapetaka.

"Gimana, tiket kita sudah ada?"

"Siap, Gan, ini," Receptionist membagikan tiket pada pasukan, "tapi, Gan,"

"Apa lagi, masih mau membantah?"

"Bukan. Lift kita kan sedang rusak. Sudah tiga hari tidak beroperasi. Kemarin saja saya tidak apel ke bawah. Jatahnya kan dua hari sekali."

"Segala urusan pribadi lu bawa-bawa. Nggak bisa apel kan dosa lu nggak jadi nambah. Palingan cuma mau minta cipok, kan!"

"Ha.. ha.. ha.. Ane kira Ente suci. Doyan maksiat juga."

"Namanya juga manusia, Gan."

"Heh, Beta kan sudah suruh kau hubungi tukang lift!"

"Sudah, dalam perbaikan. Tapi sampai sekarang belum ada laporan."

Pasukan mulai cemas. Kalau lift belum bisa digunakan, rencana mereka otomatis batal.

"Nah itu dia!" Receptionist menunjuk tukang lift.

Tukang lift itu mendekat, "Maaf Pak, liftnya..."

"Belum bisa?" Anggaran kita besar untuk lift ini! Kurang?"

"Besar kan di anggaran Bapak, di saya cuma berapa,"

"He Ente diam lah dulu, biar Tukang Lift ini selesaikan bicara,"

"Nah," melanjutkan kalimatnya, "liftnya sudah bisa beroperasi."

"Alhamdulillah!"

"Lho, nyebut, Bos? Saya kira sudah lupa,"

"Kalau cuma itu sih apal. Barang dagangan gue sih!"

Pasukan bersiap turun ke lantai dasar.

"Sebentar, Beta tanya, ini lift satu-satunya akses ke sini bukan?"

"Iye, kenape?"

"Lantas Pak Tua itu ke sini lewat mana?"

Sama seperti sebelumnya, semua mata adalah bertanya. Tak satupun kata keluar dari mulut mereka. Pandangan mendadak menyerbu receptionist.

"O.. Soal itu saya juga kurang tahu Bos, Gan, Den, Pak, semuanya saja. Dia datang dari koridor ini. Perginya juga."

"Jangan-jangan..."

Para pasukan bergegas turun. Berebut lift. Rebutan perayaan kemenangan di depan mata.

"Mampus! Dia pikir cangkulnya Kutang Antakusuma." Mereka terbahak sepanjang perjalanan.

"Kita mampir ke ruang ahli dulu ya. Beta sudah janji konsultasi."

Pasukan mengisi penuh bangku di ruang tunggu Sang Ahli. Tak satupun pasukan meninggalkan senyum.

"Wah, Bapak-bapak, kok tumben berkunjung ke lantai dasar. Biasanya cuma lewat." Sang Ahli keluar menyapa mereka.

"Ya... biar yang di lantai dasar punya kerjaan."

Pasukan-pasukan itu menceritakan kunjungan Pak Tua. Tetap saling sahut dan berebut. Sesekali mereka terbahak-bahak. Pembicaraan melebar ke sana ke mari.

"Begini bapak-bapak, Gatotkaca itu satu-satunya orang yang bisa terbang." Sang Ahli mengambil alih.

"Kutang Antakusuma?"

"Ya, menggunakan pusaka itu. Bukan rompi bersayap kapas yang bisa dibeli di pasar loak."

"Kok sampeyan menyindir?"

"O, bukan,"

"Kutang? Jadi?"

"Benar, tapi syaratnya tidak mudah. Bapak-bapak harus semedi di Pringgandani selama 40 hari 40 malam. Tidak boleh makan, tidak boleh minum. Jauhi minuman keras, dilarang berzina, berjudi, mencuri, mengakali..."

"Kok diteruskan?!" Pasukan 1 kembali panas.

"Menyindir? Bukan..." Sang Ahli hendak melanjutkan tapi dipotong pasukan lain.

"Ah sudahlah, kita cari mayat tua bangka itu!"

Para pasukan menyisir sekitar gedung. Dikerahkan pula anjing pelacak, tim SAR, dan detektif nomor wahid. Hasilnya nihil.

Mereka memutuskan untuk menyatroni alamat Pak Tua. Tepat tujuh hari mereka baru turun dari bis reyot warisan Jepang itu. Udaranya segar. Sangat segar. Lebih sejuk dari AC canggih manapun. Embun membelai lembut kulit yang sudah tujuh hari mendapat layanan spa dalam bis.

Gemercik air dan kicauan burung terdengar asing tapi ramah. Membuat tubuh siapa saja yang ada di sana ingin segera melepas baju dan terjun ke sungai. Amarah, dendam, benci, seketika akan sirna. Dahsyat. Tubuh sekekar Ade Rai pun akan segera melemas. Semuanya bebas dan damai. Rerumputan merdeka, menari bersama angin ke kanan dan ke kiri. Tak ada satu daun pun gugur sia-sia. Mereka tidak khawatir menjadi tumbal, bahan baku polusi udara yang mencekik kota. Mereka gugur untuk menghidupi yang bertunas. Akhirnya penghabisan akan selalu menjadi permulaan. Begitu alami.

Setelah bertanya ke sana ke mari, para pasukan itu menemukan titik terang. Dipandu seorang bocah, mereka menuju bukit kecil di belakang desa. Persinggahan yang jauh lebih damai dari pintu gerbang tempat mereka memijakkan kaki pertama kali di desa ini.

"Itu!" sang bocah menunjuk pria berpakaian hitam yang membelakangi mereka kemudian lari. Mereka mendekat. Menginjak dedaunan kering yang berserakan. Terdengar keras. Bahkan detak jantung pun terdengar begitu jelas.

"Ini makam siapa?" tanya seorang pasukan.

"Eyang Gatot, orang yang kalian cari. Menurut sejarah, dia wafat 300 tahun lalu ketika perang. Dipanah pamannya sendiri, Karno." Pria berpakaian hitam itu membalikkan badan.

"Kamu?" pasukan gugup, "receptionist di gedung kami?"

"Bukit ini bernama Pringgandani. Saya sudah berhenti jadi receptionist. Baru tadi pagi. Gedung itu hanya untuk orang-orang ambisius. Kalau mau terbang sungguhan, pindahkan ke bukit ini. Bukan gedungnya, karena akan merusak damainya tempat ini."

"Lantas apanya?"

"Itu juga kalau belum terlambat" Mantan receptionist itu kembali membalikkan badan.

Whush!!! Dalam sekejap mata saja dia menghilang dari pandangan. Udara gunung menusuk tulang, membekukan kaki. Gelap benar-benar telah memeluk mereka. Pasukan ambruk. Sayap kapas terbakar. Merah menyala. Mereka tenggelam di dalam lautan bara. Mengapung sesaat, lalu lenyap lagi. Mulut menganga, tak kuasa berteriak, apilah yang ditelannya. Sayap-sayap kapasnya membesar dan melebar. Api juga semakin beringas. Semakin menyayat. Semakin membakar.

"Semuanya palsu! Ini pasti palsu!" Para pasukan protes, dan tetap tersiksa.

Tapi Kawah Candradimuka tidak ditugaskan untuk menjawab, apalagi mengakali. Yang dia tahu hanya menenggelamkan, mengapungkan, menenggelamkan, mengapungkan... .

-TAMAT-

02 Juni 2011

Kantin TN

Pukul 06.55 Saya mulai duduk di sebuah bangku oranye yang kalau digoyang sedikit saja berisiknya minta ampun. Maklum, warisan sejak tahun '87 saat kampus ini masih bernama Politeknik Undip. Mudah saja mengetahui riwayat kursi-kursi udzur ini. Di belakang sandaran tiap kursi tercetak identitasnya secara permanen.

Saya sedang menikmati sibuknya pagi di Kantin Tata Niaga (TN) Politeknik Negeri Semarang (Polines). Lalu lalang khas yang hanya bisa saya dapat satu kali dalam satu hari. Tak ada satupun mahasiswa dan dosen yang berangkat luput dari bidikan Kantin TN. Bisa dipastikan mereka kebagian jadwal kuliah jam 7. Tapi hebat! Sampai pukul 07.25 masih ada saja mahasiswa atau dosen yang baru datang. So sweet.

Mungkin kamu pun akan betah berlama-lama duduk di sini kalau kamu juga menangkap semua adegan ini. Saya hampir melepaskan tawa mengisi penuh ruang kantin ketika mendapati seorang mahasiswi kesulitan menaklukkan high heel-nya. Betapa tersiksanya, bisik Saya. Mungkin ini hari pertama kakinya dibalut sepatu yang ditopang hak setinggi jengkalnya sendiri. Untunglah Saya masih bisa memaksa tawa redam menjadi senyum kecil. Apa jadinya kalau gagal. Saya memperhitungkan reaksi masa.

Tak jauh dari sana, bahkan tepat di belakangnya, mulai terlihat pemandangan demonstratif pasangan mahasiswa-mahasiswi memamerkan kemesraan. Yang lebih hoax adalah muncul sepasang dara yang lengketnya seperti ketumpahan alteco. Entah itu dara atau burung onta. Sampai Saya harus berbisik nakal, "itu yang cewek pasti korban high heel juga. Kasian yang cowok jadi pegangan sepanjang jalan".

Kamu (baca: lelaki) mungkin tidak akan mau beranjak dari kantin setelah meletakkan bokong di kursi tua ini. Bukan karena kursi tua ini bisa memijat bokongmu, tapi karena kamu sedang berada di pinggir catwalk dan karpet merah. Bayangkan saja, kamu sedang menjadi tamu kehormatan dalam pagelaran akbar. Pentas yang menyuguhkan bermacam seni. Fashion Show? Jelas. Cuplikan adegan sinetron atau film Indo? Ada. Ya, kadang-kadang atau malah terlalu sering melankolik.

Dan yang akan membuatmu betah adalah para aktrisnya. Tidak kalah fashionable dan menor dibanding para wanita bahan baku infotainment yang biasa kamu ikuti. Saya tahu kegemaranmu. Tenang saja, bisa ditemui di sini. Dengan sedikit sentuhan kuas dan tepung beras saja kambing bisa terlihat cantik di matamu. Poleskan sedikit gincu, sempurna. Tapi jangan khawatir, Men, ada yang benar-benar bening. Kapan-kapan saya tunjukkan.

Coba bayangkan berapa rupiah atau dolar yang harus kamu keluarkan untuk duduk di kursi VIP pagelaran akbar macam ini. Saya cukup dengan membayar secangkir kopi saja dapat duduk nyaman di kursi paling depan. Mau gratisan pun bisa. Boleh. Tak ada pijitan tak jadi soal. Apalah arti ke-empuk-an ketimbang sugesti menggelikan yang akan mengawali senyummu sepanjang hari. Indahnya hidup ini.

Eiitss, ada temen yang gabung nih. Ya udah, udahan.

Ya, awalilah dengan senyum, maka akan berakhir dengan senyum. Temukan caramu!

This is my way.