03 Juni 2011

Palsu (Cerpen)

Saya protes pada kalian. Tahukah bahwa kamu, kamu, kamu semua membosankan! Tidakkah kalian punya pakaian selain putih, putih, dan putih? Lalu apa yang kalian pamerkan dengan sayap di punggung itu? Semua orang bisa saja mengepak-kepak sesuka hati asal diberi. Kamu yang di pojok, sampai rela berdesak-desakkan di pasar loak berebut rompi bersayap itu. Rompi itu jahitan penipu. Dia menipu embahmu, pacarmu, anak cucumu kelak. Lepaskan! Terjun dari Monas pun kamu pasti modar. Baru jadi icon produk saja...

Belum sampai pria itu menamatkan kalimatnya, seorang berseragam putih dalam barisan memotong.

"Tapi saya juga masuk film, Pak."

"Saya belum selesai!"

"Meski cuma figuran" sahut yang lain.

"Diam!"

"Saya sedikit lebih apes, jadi stuntman," seorang lain lagi ikut berebut pamer.

"Hei kalian!"

"Iya, saya juga stuntman. Harus berkali-kali jatuh dari pohon. Sampai memar semua," barisan paling belakang menimpal.

"Kalian ini sudah goblok, tak tahu aturan! Ini orang tua lagi ngomong!" Pria itu terengah-engah. Tak terbayang olehnya akan menghadapi pasukan bengal ini. Bola matanya hampir keluar dari kantong keriput di atas pipinya yang kempot. Tubuhnya gemetar. Bukan karena gentar. Darahnya sudah mendidih. Kulitnya sebentar lagi pasti melepuh. Nyamuk mendekat beberapa inchi saja bakal gosong. Hangus. Terbakar.

Sial. Bukannya tenang, barisan makin ricuh.

"Apa mau ini pacul nancep di kepala?!" Pria itu mengangkat cangkul tuanya yang penuh karat.

Benar saja, ancamannya berhasil. Sekarang giliran pasukan bersayap yang gemetar. Semua tegap tak bergerak.

AC sudah disetel paling dingin. Tapi tak mampu menahan laju banjir bandang yang sekonyong-konyong menyambar. Hujan datangnya tanpa permisi. Derasnya tak bisa ditawar. Kali ini bendungan harus jebol. Awalnya hanya menerobos dari pori-pori. Mulai melompat dan menggenangi mata. Menyusul gempuran lewat hidung. Brolll...ambrol sudah sekarang membasahi celana dan kaki. Pesing. Tapi tak tercium. Hidung terlanjur penuh air. Tak ada kesempatan udara lewat, sedikitpun. Tegang.

"Gatotkaca yang punya Kutang Antakusuma saja tidak pernah terbang ke istana langit yang kalian ributkan tiap hari. Kalian rebutkan tiap pemilihan. Dia bisa duduk di sana kalau dia mau. Tanpa menyogok, tak perlu punya saudara orang penting, apalagi menjilat. Kalian baru pakai rompi kapas saja kok sudah berani ngakali. Mentang-mentang lulusan luar negeri. Ayo maju kalau mau tak pacul ndasmu!"

Tak satupun pasukan bergerak. Semua bungkam. Ketakutan. Katanya saja intelek, soal nyali sama kampungannya.

Langit menjingga. Bola raksasa yang sedari tadi menggagahi bumi mulai sayu. Cakrawala menyisakan garis tebal namun samar oleh fatamorgana.

Semua tubuh kehabisan keringat. Kehabisan air mata. Kehabisan ingus. Kering.

Pria itu meninggalkan pasukan bersayap. Menjauh. Dengan sigap, gelap menyergap sampai lenyap. Kemudian membanting pintu. Pelan, tapi menggema di dalam ruang.

"Lhadalah... Datang ndak diundang, pulang ndak diusir, kok banting pintu segala. Dasar tua bangka!" Pasukan 1 mulai berani.

"Ah kau ini berani bicara setelah si Tua itu pergi." Pasukan 2 angkat bicara.

"Sampeyan sendiri juga diam tadi."

"Lu berdua same aje. Omdo, omong doang. NATO, No Action Talk Only." Pasukan 3 tak mau kalah.

"Apalah bedanya kalian ni, Ambo amati juga sama sajo." Gerah juga pasukan 4 ternyata.

"Sudahlah, beta ada ide," Pasukan 2 terlihat meyakinkan, "kita minta pendapat ahli saja."

"Tapi saya mau tanya dulu ke receptionist, siapa Tua Bangka tadi."

"Beta ikut!"

"Ambo juga, ada yang lain?"

"Gue deh,"

"Sudahlah, semua ikut saja."

Pasukan berhamburan, mencair, mengalir ke luar ruang. Kali ini pintu dibanting sekencang-kencangnya. Tapi tak bergetar. Pasukan paling belakang sempat berhenti heran. Memandangi pintu kayu jati yang tebalnya hampir 20 sentimeter itu.

"Pintu itu kan kayu solid, Bos." Receptionist menyapa pasukan putih yang menghampirinya terhuyung-huyung.

"Lu, kenape terima tamu bangsat macam tadi?" Pasukan 3 mulai melampiaskan kekesalannya.

"Saya kan hanya menjalankan tugas."

"Apa tugas kau?" Pasukan 2 tak kalah geram.

Namun receptionist tetap tenang. Wajahnya penuh senyum.

"Ya mendata tamu yang datang, mempersilakan masuk, selesai itu..."

"Tapi kenape nggak pilih-pilih?! Ini kepala mau dipecah ame tu orang, tadi!"

"Lho saya kan tidak tahu tamu model bagaimana yang Bos inginkan. Lagipula jarang-jarang kan dapat tamu."

"Sampeyan ini kita bayar mahal, ndak bisa mikir ya?"

"Mikir sih bisa Den, tapi ini tugas."

"Kau bantah saja terus!"

"Saya kan sudah bilang, saya hanya menjalankan tugas."

"Membantah juga tugas?!"

"Bukan membantah, menjawab,"

"Tapi mbok ya pakai pikiranmu!"

"Maaf nih Den, tapi saya tidak dibayar untuk berpikir."

Pasukan itu hampir kehabisan kata-kata meladeni receptionistnya sendiri. Pasukan 3 mulai mencari-cari bahan pelampiasan.

"Berengsek lu ye, kite-kite lagi panas, lu senyum-senyum mulu!"

"Itu kau punya tugas?!" Pasukan 2 menambahkan.

"Termasuk juga,"

"Edan!" Pasukan 1 membentak keras.

"He sudah, Ente-Ente tadi ke sini mau tanya kok malah ribut. Ane heran. Siapa Pak Tua tadi?" Pasukan 5 maju ke depan barisan.

"Oh, ini, Gan..." Receptionist mencetak sesuatu kemudian menyodorkannya pada Pasukan 7.

"Ini data Tua Bangka tadi?" Pasukan 1 menyambar kertas itu.

"Tepat, Bos!"

"Kenape nggak kasih dari tadi?!"

"Kasih ke siapa Bos, tidak ada yang minta."

"Kau tadi tidak menjawab Beta punya tanya!"

"Tanya apa ya?"

"Siapa Tua Bangka itu, bangsat!"

"He sudah, Ente-Ente tadi belum sempat tanya."

"Di mane nih alamatnye?"

"Di pedalaman..."

"Gue kagak tanye lu, kampret! Heran gue, punya receptionist kayak gini.

Pasukan saling pandang dan mengangkat bahu. Sama-sama saling menunggu. Tak satupun tahu. Kertas sudah berpindah tangan berkali-kali, sampai kumal.

"Oke, lu jawab, di mane ni alamatnye?"

"Sudah boleh bicara, Bos?"

"Lu bilang tadi punya tugas ngejawab. Gimane sih!"

"Tapi kalau dipaksa tutup mulut ya diam, Bos. Ditodong pistol sih tidak seberapa, kalau yang ditodongkan sudah amplop tebal apa boleh buat."

"Kau ini banyak cakap, jawab saja!"

"Ya, ya... Ini di pedalaman bawah sana. Kira-kira satu minggu perjalanan naik bis."

"Sialan, kau pikir kita siapa mau naik bis! Siapkan helikopter!"

"Habisnya, mau mendarat di mana. Ini daerah terpencil. Aspal terakhir yang dituang di sana, sekitar lima tahun lalu. Sekarang sudah botak digerus hujan, disengat panas. Jalanan lebih mirip empang. Satu-satunya akses yang bisa dilalui ya itu, darat. Kalau mobil pribadi, kan eman-eman. Nanti malah korban shock breaker, ban..."

"Sudah, sudah, pesankan tiket bis untuk kita semua!"

"Lhoh kita mau ke sana?" Pasukan 1 mulai protes.

"Harus!"

"Buat apa?"

"Kita buat perhitungan."

"Kenapa ndak tadi saja?"

"Tadi Ane kira dia bakal presiden."

"O..ya, ya. Memangnya dia siapa?"

"Ente baca nih, petani dusun terpencil. Ane sendiri baru dengar alamat ini."

"Petani?" Pasukan 1 terkejut, "Wo...tak tumbak koe, Pak!"

"Gue sambit pala tu orang, ntar."

"Ya, ane cincang dia nanti. Ane DOR!"

"Sudah, kita kemasi barang bawaan. Satu jam lagi kumpul di sini. Beta mau bawa panah!"

Dalam sekejap saja para pasukan lenyap. Tak pelak lagi, ini akan menjadi pembunuhan paling keji di abad ini. Tidak ditandai badai bahkan mendung. Purnama tampak ramah. Tak biasanya bintang-bintang akrab dengannya. Siapa sangka dendam dari langit akan turun menjelma menjadi malapetaka.

"Gimana, tiket kita sudah ada?"

"Siap, Gan, ini," Receptionist membagikan tiket pada pasukan, "tapi, Gan,"

"Apa lagi, masih mau membantah?"

"Bukan. Lift kita kan sedang rusak. Sudah tiga hari tidak beroperasi. Kemarin saja saya tidak apel ke bawah. Jatahnya kan dua hari sekali."

"Segala urusan pribadi lu bawa-bawa. Nggak bisa apel kan dosa lu nggak jadi nambah. Palingan cuma mau minta cipok, kan!"

"Ha.. ha.. ha.. Ane kira Ente suci. Doyan maksiat juga."

"Namanya juga manusia, Gan."

"Heh, Beta kan sudah suruh kau hubungi tukang lift!"

"Sudah, dalam perbaikan. Tapi sampai sekarang belum ada laporan."

Pasukan mulai cemas. Kalau lift belum bisa digunakan, rencana mereka otomatis batal.

"Nah itu dia!" Receptionist menunjuk tukang lift.

Tukang lift itu mendekat, "Maaf Pak, liftnya..."

"Belum bisa?" Anggaran kita besar untuk lift ini! Kurang?"

"Besar kan di anggaran Bapak, di saya cuma berapa,"

"He Ente diam lah dulu, biar Tukang Lift ini selesaikan bicara,"

"Nah," melanjutkan kalimatnya, "liftnya sudah bisa beroperasi."

"Alhamdulillah!"

"Lho, nyebut, Bos? Saya kira sudah lupa,"

"Kalau cuma itu sih apal. Barang dagangan gue sih!"

Pasukan bersiap turun ke lantai dasar.

"Sebentar, Beta tanya, ini lift satu-satunya akses ke sini bukan?"

"Iye, kenape?"

"Lantas Pak Tua itu ke sini lewat mana?"

Sama seperti sebelumnya, semua mata adalah bertanya. Tak satupun kata keluar dari mulut mereka. Pandangan mendadak menyerbu receptionist.

"O.. Soal itu saya juga kurang tahu Bos, Gan, Den, Pak, semuanya saja. Dia datang dari koridor ini. Perginya juga."

"Jangan-jangan..."

Para pasukan bergegas turun. Berebut lift. Rebutan perayaan kemenangan di depan mata.

"Mampus! Dia pikir cangkulnya Kutang Antakusuma." Mereka terbahak sepanjang perjalanan.

"Kita mampir ke ruang ahli dulu ya. Beta sudah janji konsultasi."

Pasukan mengisi penuh bangku di ruang tunggu Sang Ahli. Tak satupun pasukan meninggalkan senyum.

"Wah, Bapak-bapak, kok tumben berkunjung ke lantai dasar. Biasanya cuma lewat." Sang Ahli keluar menyapa mereka.

"Ya... biar yang di lantai dasar punya kerjaan."

Pasukan-pasukan itu menceritakan kunjungan Pak Tua. Tetap saling sahut dan berebut. Sesekali mereka terbahak-bahak. Pembicaraan melebar ke sana ke mari.

"Begini bapak-bapak, Gatotkaca itu satu-satunya orang yang bisa terbang." Sang Ahli mengambil alih.

"Kutang Antakusuma?"

"Ya, menggunakan pusaka itu. Bukan rompi bersayap kapas yang bisa dibeli di pasar loak."

"Kok sampeyan menyindir?"

"O, bukan,"

"Kutang? Jadi?"

"Benar, tapi syaratnya tidak mudah. Bapak-bapak harus semedi di Pringgandani selama 40 hari 40 malam. Tidak boleh makan, tidak boleh minum. Jauhi minuman keras, dilarang berzina, berjudi, mencuri, mengakali..."

"Kok diteruskan?!" Pasukan 1 kembali panas.

"Menyindir? Bukan..." Sang Ahli hendak melanjutkan tapi dipotong pasukan lain.

"Ah sudahlah, kita cari mayat tua bangka itu!"

Para pasukan menyisir sekitar gedung. Dikerahkan pula anjing pelacak, tim SAR, dan detektif nomor wahid. Hasilnya nihil.

Mereka memutuskan untuk menyatroni alamat Pak Tua. Tepat tujuh hari mereka baru turun dari bis reyot warisan Jepang itu. Udaranya segar. Sangat segar. Lebih sejuk dari AC canggih manapun. Embun membelai lembut kulit yang sudah tujuh hari mendapat layanan spa dalam bis.

Gemercik air dan kicauan burung terdengar asing tapi ramah. Membuat tubuh siapa saja yang ada di sana ingin segera melepas baju dan terjun ke sungai. Amarah, dendam, benci, seketika akan sirna. Dahsyat. Tubuh sekekar Ade Rai pun akan segera melemas. Semuanya bebas dan damai. Rerumputan merdeka, menari bersama angin ke kanan dan ke kiri. Tak ada satu daun pun gugur sia-sia. Mereka tidak khawatir menjadi tumbal, bahan baku polusi udara yang mencekik kota. Mereka gugur untuk menghidupi yang bertunas. Akhirnya penghabisan akan selalu menjadi permulaan. Begitu alami.

Setelah bertanya ke sana ke mari, para pasukan itu menemukan titik terang. Dipandu seorang bocah, mereka menuju bukit kecil di belakang desa. Persinggahan yang jauh lebih damai dari pintu gerbang tempat mereka memijakkan kaki pertama kali di desa ini.

"Itu!" sang bocah menunjuk pria berpakaian hitam yang membelakangi mereka kemudian lari. Mereka mendekat. Menginjak dedaunan kering yang berserakan. Terdengar keras. Bahkan detak jantung pun terdengar begitu jelas.

"Ini makam siapa?" tanya seorang pasukan.

"Eyang Gatot, orang yang kalian cari. Menurut sejarah, dia wafat 300 tahun lalu ketika perang. Dipanah pamannya sendiri, Karno." Pria berpakaian hitam itu membalikkan badan.

"Kamu?" pasukan gugup, "receptionist di gedung kami?"

"Bukit ini bernama Pringgandani. Saya sudah berhenti jadi receptionist. Baru tadi pagi. Gedung itu hanya untuk orang-orang ambisius. Kalau mau terbang sungguhan, pindahkan ke bukit ini. Bukan gedungnya, karena akan merusak damainya tempat ini."

"Lantas apanya?"

"Itu juga kalau belum terlambat" Mantan receptionist itu kembali membalikkan badan.

Whush!!! Dalam sekejap mata saja dia menghilang dari pandangan. Udara gunung menusuk tulang, membekukan kaki. Gelap benar-benar telah memeluk mereka. Pasukan ambruk. Sayap kapas terbakar. Merah menyala. Mereka tenggelam di dalam lautan bara. Mengapung sesaat, lalu lenyap lagi. Mulut menganga, tak kuasa berteriak, apilah yang ditelannya. Sayap-sayap kapasnya membesar dan melebar. Api juga semakin beringas. Semakin menyayat. Semakin membakar.

"Semuanya palsu! Ini pasti palsu!" Para pasukan protes, dan tetap tersiksa.

Tapi Kawah Candradimuka tidak ditugaskan untuk menjawab, apalagi mengakali. Yang dia tahu hanya menenggelamkan, mengapungkan, menenggelamkan, mengapungkan... .

-TAMAT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok