Saya
sering mendengar dongeng tentang Kartini dari orang yang tidak pernah membaca
buku ini: "Door Duisternis Tot Licht"--nyaris satu-satunya jalan
untuk mengenal Kartini "selangsung" mungkin hari ini. Atau buku alih bahasanya
yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Anak
saya harus tidak mereduksi Kartini menjadi duta sanggul dan kebaya, maka saya
membelinya. Suatu saat dapat saya wariskan.
Di
buku itu saya menemukan banyak pandangan Kartini yang tidak populer, yang
sebelumnya tidak pernah saya dengar, bahkan bertentangan dengan apa yang
diceritakan oleh para pendongeng. Mungkin ini akan mengganggu kenyamanan,
tetapi simaklah beberapa tulisan Kartini yang saya kutip berikut.
"Saya ingin
bebas agar bisa mandiri, tidak perlu tergantung pada orang lain, agar... tidak
harus menikah."
"Mengenai
pernikahan itu sendiri, aduh, azab sengsara adalah ungkapan yang terlampau
halus untuk menggambarkannya!"
"Bagaimana
pernikahan dapat membawa kebahagiaan, jika hukumnya dibuat untuk semua lelaki
dan tidak ada untuk wanita?"
"Saya gembira,
bahwa saya suatu ketika dapat melepaskan tata krama Jawa yang ribet itu
--"
"Di antara
kami, mulai dari saya, kami tinggalkan semua adat sopan santun. Perasaan kami
sendiri yang harus mengatakan kepada kami sejauh mana cita-cita ingin bebas
kami boleh bergerak."
"... ajaran
Islam sendiri yang mengizinkan laki-laki menikah dengan empat wanita sekaligus.
Ajaran itu yang menyebabkan hal ini tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan
ajaran Islam. Tapi, saya selama-lamanya akan tetap menganggapnya sebagai
dosa."
"Pekerjaan
serendah-rendahnya akan saya kerjakan dengan rasa syukur dan rasa cinta, asal
saya bebas dari keharusan menikah."
"Di sini orang
diajari membaca Al Qur'an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya
menganggap hal itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan
makna yang dibacanya."
"Ya Tuhan,
kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama.
Sebab agama yang seharusnya mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad
lalu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan
darah."
"Tolong kami
untuk memberantas sifat egois laki-laki yang tak mengenal segan itu: iblis,
yang ratusan tahun mendera, menginjak-injak perempuan sedemikian rupa."
"Sebagai
manusia, saya merasa tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu
seorang diri, lebih-lebih dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi kebodohan
perempuan itu sendiri!"
"Semasa
kanak-kanak pun, laki-laki sudah diajar memandang rendah anak perempuan. Acap
kali saya mendengar ibu-ibu mengatakan kepada anak-anaknya yang laki-laki, bila
mereka jatuh dan menangis: Cis, anak laki-laki menangis, seperti anak
perempuan!"
Demikian
beberapa kutipan dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Lain waktu saya
sambung lagi. Selamat mengglorifikasi Kartini.