03 September 2016

Kebenaran

Saya, juga kebanyakan dari kita, mengenal agama dari orang tua kita. Beriman karena diwarisi leluhur kita. Lalu kita merasa paling benar, yang lain salah kaprah.

Kita mungkin salah sangka.

Tuhan yang kita kenal sejak awal amat personal. Semacam obyek yang berusaha kita deskripsikan agar menjadi nyata melalui puluhan sifat dan nama.

Sebagai makhluk kita salah sangka. Menghendaki yang tak terjangkau (bahkan oleh akal) mendekati keterbatasan pikir manusia. Maka para ateispun mungkin salah sangka.

Ateis menggugat kesalahsangkaan kaum beragama. Bukan hendak mengembalikan iman pada Tuhan yang transenden, melainkan menuntut pembuktian rasional dari suatu keberadaan. Lalu, barangkali kita saling salah sangka.

Beberapa monoteis menghendaki setiap orang taat pada satu ajaran. Menurutnya hidup di dunia ini semacam kontrak, di mana manusia harus ikut aturan main. Tak masalah ikut aturan main kelompok mana. Yang penting teis.

Monoteis di atas mungkin salah sangka pula. Aturan yang dikehendakinya seperti tersurat dalam kitab suci. Kitab suci yang dimaksud adalah kitab-kitab dalam tradisi Ibrahimi, kitab dalam agama samawi, kitab dogma yang turun melalui wahyu ilahi.

Maka, monoteis tadi tak memberi ruang untuk ajaran lain seperti Buddha dan sejenisnya. Tak berlaku bagi pencerahan yang lahir dari penyadaran dalam diri.

Kalaupun dunia ini kontrak di mana kita harus mengikuti aturan main, seharusnya konteks yang digunakan lebih bebas dan luas. Bukan agama dengan kitab sucinya yang terbatas.

Terbatas karena sudah tak ada revisi, berhenti. Tak ada lagi addendum atau koreksi. Mandheg. Sedangkan zaman terus bergerak. Meski beberapa agamawan memang menawarkan tafsir yang dinamis.

Agama termasuk kategori norma. Jika hendak berlaku adil, norma lain menyediakan aturan main. Norma kesopanan, norma kesusilaan, bahkan norma hukum yang senantiasa diracik supaya kontekstual.

Melihat dunia dalam kerangka beragama mungkin akan sumpek. Terlalu banyak perbedaan. Terlalu banyak dosa. Tapi melihat dunia melalui jendela norma bisa jadi akan lebih lega. Meletakkan perkara pada konteksnya, pada tempatnya, pada waktunya.

Tantangan bagi agamawan di manapun berada adalah menerjemahkan ajaran yang lahir dari masa lalu dan suatu tempat tertentu, agar menjadi relevan di mana dan kapan dibutuhkan.

Sedangkan tantangan menjadi manusia adalah hidup sebaik-baiknya dengan liyan, dengan sesama.

Mungkin Tuhan hanya menciptakan purwarupa seisi semesta. Kemudian alam bekerja sendiri hingga entah kapan.

Jadi siapa yang paling benar?

01 September 2016

Anniversary

Birthday berarti hari kelahiran. Kita serap ke dalam bahasa pergaulan menjadi hari ulang tahun. Meski dalam bahasa Inggris ulang tahun lebih sepadan dengan anniversary ketimbang birthday.

Biarlah, terlanjur enak di lidah.

Bagi setiap orang yang berulang tahun, entah sebaiknya bergembira atau bersedih-atau ke duanya. Bolehlah bergembira sebab telah mendapat kesempatan menghirup udara lebih lama, menempa pengalaman lebih banyak, mengalami hidup lebih panjang, dan seterusnya-dan seterusnya. Tapi apa yang mesti dirayakan jika "hidup adalah penderitaan", seperti kata Buddha? Bukankah semakin lama hidup kian menderita?

Hari ini tanggal kelahiran saya. Tapi setelah membaca paragraf di atas saya harap tak ada yang minta traktiran. Cukup ucapkan selamat saja, tak apa-apa. Kado juga saya terima. Paling sedikit doakanlah kebaikan. Saya tidak memaksa. Tapi kalau bisa jangan berhenti di kamu, klik like, share, dan katakan amin.

Eh, maaf, maaf.

Kekasih saya adalah orang pertama yang mengucapkan selamat. Atau, dia ingin menjadi yang pertama. Beberapa jam sebelum tanggal 1 dia katakan, takut ketiduran kalau harus menunggu tengah malam. Maklum pelor, nempel molor. Walhasil dia curi start 3 jam.

Pasangan muda lainnya merayakan ulang tahun kekasihnya dengan kejutan tengah malam. Mengetuk pintu, kue, lilin, balon, nyanyian, bla-bla-bla. Kami tidak. Jarak "ibu kota - ujung Indonesia" ini bukan perkara seremeh temeh itu.

Lilin tengah malam? Huh, yang benar saja.

Orang pertama yang mengirim ucapan via WA hari ini adik saya, Pita (Dyah Puspita Ningrum). Yang pertama mengirim di dinding FB saya Momon (Roro Halif Nureviana). Yang pertama menjabat tangan dan mengucapkan langsung Irene. Disusul yang lainnya.

Tapi kita bukan kecap, maunya yang nomor satu. Tak menjadi yang paling awal tak jadi soal. Yang penting cek IG kita ya. Halah saya ini bicara apa.

Mungkin beginilah tingkah remaja yang menginjak 17 tahun. Ada amin, Saudara?

***

Catatan tambahan (edit):

Nama kekasih saya Anggraeni, biasa dipanggil Eni. Saya bikin catatan tambahan ini karena dia protes kenapa namanya tak tertulis di postingan di atas.

Padahal 'kan namanya sudah tertulis di hati saya ya. Halah.

Eni juga menjadi orang terakhir yang mengucapkan selamat dan doa pada saya, entah ucapannya yang ke berapa di hari itu. Hingga menjelang tengah malam, hingga hampir habis tanggal satu.

Ya, kita tak harus menjadi yang pertama. Kita bisa menjadi yang menemani hingga akhir. Terima kasih, Dik Eni!