17 Maret 2017

Angkutan

Mengenai konflik yang terjadi di pelbagai kota, perihal keberadaan angkutan online yang ditentang penggawa angkutan konvensional.

Kita mafhum perubahan adalah keniscayaan. Ketika kereta zaman bergerak maju kaum puritan kerap tertinggal di belakang. Mereka yang tak mampu turut serta seringkali menggugat yang telah melaju jauh di depan.

Di Jakarta, pertama kali terjadi pertikaian yang melibatkan pemangku-kepentingan angkutan konvensional dan online. Disusul kemudian ketegangan di kota lain. Makassar, Bandung, Solo, Jogja, dan seterusnya. Saya yakin konflik ini laten.

Sebagian mencoba menasihati pemangku-kepentingan angkutan konvensional, terutama sopir, dengan dalil rezeki sudah diatur. Jadi tak perlu memprotes keberadaan angkutan online.

Lagipula angkutan online adalah jawaban dari tuntutan zaman. Menawarkan kemudahan, kenyamanan, keamanan, keterjangkauan, dan sebagainya dalam satu paket sekaligus.

Jika ingin dipilih pelanggan angkutan konvensional mestinya menyesuaikan diri.

Tapi barangkali kita lupa bahwa di belakang angkutan konvensional itu bisa jadi ada bayi yang harus minum susu, anak yang harus bersekolah, keluarga yang harus makan, dan setumpuk persoalan lainnya. Bahkan mungkin di bidang angkutan konvensional itulah keahilan mereka satu-satunya.

Mereka bukan tak mau memberikan kualitas prima pada angkutannya. Mereka hanya tak mampu. Dalam hal modal, pengetahuan, jaringan, keahlian, dan sebagainya.

Meskipun sangat menikmati keberadaan angkutan online, saya tidak setuju jika pemerintah mempertaruhkan hidup angkutan konvensional pada mekanisme pasar. Tak semua orang siap ada di dalam sana. Dan itulah kenapa ada negara. Pemerintah memiliki akses besar terhadap regulasi dan biaya.

Namun tak adil pula jika pemerintah mencekik angkutan online untuk melindungi angkutan konvensional. Pada akhirnya penyempitan ruang itu akan mematikan sebuah lapangan kerja yang pemerintah sendiri tak mampu sediakan.

Maka PR berat pemerintah kali ini adalah mengerek kualitas angkutan konvensional agar setara atau mendekati kualitas angkutan online. Melalui pembinaan, peningkatan kompetensi, pengawasan, pengaturan rute dan ketepatan waktu, bantuan biaya untuk peremajaan unit atau peningkatan fasilitas kendaraan, subsidi bahan bakar, atau apa saja yang memungkinkan.

Banyak hal yang dapat dilakukan tetapi bukan dengan memaksa biaya operasional pesaingnya meninggi, lalu membuat tarifnya menjadi tak "terjangkau" lagi.

Jika sudah mampu mandiri, terserah saja membiarkan mekanisme pasar yang bekerja tanpa intervensi. Tapi bukannya itu dekat sekali dengan anarki?

09 Maret 2017

Receh

Sebenarnya sudah lama saya berniat menarik diri dari pembicaraan tentang agama secara spesifik. Terutama di FB yang gaduh oleh komentar.


Tapi belakangan saya iseng main-main di platform yang didirikan Mark Zuckerberg itu. Semata-mata untuk menyalurkan keusilan saya, jujur saja. Dan kesan saya tentang FB tak berubah.


Kegaduhan bukan monopoli FB. Akhir-akhir ini Twitter juga riuh oleh buzzer (sebagian orang menerjemahkan itu "pendengung") politik. Yang menarik, ternyata semua yang ramai ini berkenaan dengan agama. Termasuk keisengan saya di FB pun.


Sekarang saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk membuat keramaian. Apa? Kuncinya jangan sepi. (Hihi)


Saya ingin kembali menikmati internet dengan gayeng melalui hal-hal receh seperti joke jayus di atas. Bukan mengurusi bentuk bumi yang domain ilmu pengetahuan itu. Meski yang dibangun melalui teori konspirasi memang selalu nampak hebat. Saya khawatir ilmuwan sungguhan akan membuat kaos bertulis "science is dead" karena frustasi.


Ilmu pengetahuan tak berlawanan dengan lelucon, bukan itu poin saya. Bahkan di National Geographic Channel ada program Science of Stupid. Isinya video-video tentang insiden konyol yang dijelaskan secara ilmiah bagaimana kekonyolan itu dapat terjadi.


Di Indonesia ada program serupa bernama CCTV di Trans 7. Beti, beda tipis. Isinya didominasi oleh video insiden. Jika Science of Stupid memberikan penjelasan ilmiah, maka CCTV cukup mengomentari video-video itu. Persis seperti keahlian kita.


Sebagai netizen sebaiknya jangan lupa bahwa kita dibesarkan oleh receh demi receh konten. Kalaupun harus mengomentari, rasanya kita lebih cocok menjadi CCTV ketimbang Science of Stupid. Akan lebih asyik.


Maka tak berlebihan kiranya jika kita menimbang gerakan make-internet-receh-again. (After-Trump)