07 Desember 2013

Desember

"If I could bottled the smell of the wet land after the rain..." Suara Adhitia Sofyan mengamini petrichor yang tercium sedari pagi. Harum. Saya masih memutar lagu ini. Entah sudah berapa kali.

Elegi di penghujung tahun. Nyanyian di balik awan hitam. Sampai kapan? "Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan luka, meretas duka, sampai hujan memulihkan luka," kata Efek Rumah Kaca, "Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember..."

Ada setumpuk pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Hutang tak berpiutang. Starlit Carousel, for Something More, merakit Mesin Penenun Hujan, "Hingga terjalin terbang tuk awan..." Denting piano juga falset Frau. Leilani Hermiasih. Begitu manis jemarinya menari di atas tuts hitam dan putih.

Masih ada ribuan baris bar untuk dinyanyikan. Tidak hari ini. Bukan untuk Once Upon A Rainy Day, pada enam nilon Jubing Kristianto, menyambut gelap beriring Sore. Lewat Etalase jendela. Menyaksikan raining out on Sunday. Because, of course this is a lazy funny calm day.

Sebelum hari benar-benar tenggelam. Sebelum angin pujaan hujan berhembus bercabang. Tak ada tempat berteduh sehangat bawah payung perempuan yang sedang dalam pelukan. Sehangat Payung Teduh ini.

Sementara Float memainkan Stupido Ritmo. Biarkan mengapung, karena tiap-tiap pandang tertuju pada gerimis yang dirindu. Merayakan cahaya dengan Waltz di Musim Pelangi. Untuk apa? "Menanti pelangi meski dunia tak lagi terpana..."

Dan lalu, ada yang sedang berbahagia. Ini hari saat dia dilahirkan ke dunia. Desember, hari ke tujuh. Meninggalkan belasan semakin jauh. But, age is just a number. Semoga coklat panas tak terlalu basi untuk berbincang kembali.

Selamat ulang tahun, Ima Dita Ratriana.

16 November 2013

Triple-A

Hallo! Triple-A muncul lagi. Sekedar mengobati rindu kalian pada kami. Setelah bertahun-tahun belum juga menelurkan satupun album. Jangankan album, 1 lagu hasil recording juga belum punya.

Triple-A ini apa sih?

Oke. Triple-A adalah sebuah band yang formasinya Aryo Hardanto (Gitar/Vokal), Adimas Hardianto (Bass), dan Asep Nugroho (Drum). Terdiri dari 3 pendekar yang namanya diawali huruf A, makanya kami menamakan diri Triple-A.

Tapi kalian para penggemar Triple-A harus bersabar. Kami sedang vakum. Aneh ya? Belum produktif kok sudah vakum. Ya itulah hebatnya kami. Band yang kalau manggung mesti sewa groupies bayaran. Biasanya kami bayar dengan nasi kotak. La-la-la ye-ye-ye...

Terakhir kali manggung pada Agustus 2009. Lagu yang kami bawakan waktu itu (1) When Your Heart Stops Beating, (2) Lika-liku Laki-laki, & (3) satu lagi lupa. Cuma 3. Maklum, itu bukan panggung khusus buat show kami. Kami cuma menyogok panitia supaya bisa diselipkan ke dalam acara. Kalau tidak salah itu kegiatan Posyandu. Untungnya masih ada tempat. Tepat sebelum acara dimulai. Saat orang-orang baru datang memarkir kendaraan. Jadi wajar kalau di depan panggung belum banyak penonton. Tapi cukup ramai. Sekitar 5 orang memeriahkan penampilan kami. Lima orang groupies yang kami bayar dengan nasi kotak tadi. La-la-la ye-ye-ye...

Kami adalah band yang amat idealis. Berkarya di jalur indie. Independen. Mandiri. Kami tidak berurusan dengan Major Label (karena tidak ada tawaran). Triple-A sangat visioner. Visi kami waktu itu adalah "Mencarikan menantu untuk Ibu". Ya, frontal sekali.

Perjalanan band ini tidak mudah. Berangkat dari obsesi menjadi boyband. Dan gagal. Kurang beruntung. Kami tidak ada bakat lipsync. Wajah kami juga tidak cantik. Persyaratan dasar tidak terpenuhi. Makanya kami bentuk band beraliran melayu bernama Kareku (berasal dari kata Karekku > Karepku > Sekarepku > Terserah Gue!). Tapi karena kerasnya persaingan di industri musik, Kareku sempat bongkar pasang personel. Sampai pada akhirnya tersisa kami bertiga, dan mendeklarasikan Triple-A; sebagai trio punk yang akan menggeser popularitas Blink-182.

Triple-A resmi terbentuk pada 06-07-08. Nomor cantik. Sengaja, agar kalian para penggemar mudah mengingat. Tapi kami lupa tumpengan. Mungkin nanti kami akan mengadakan gathering, potong kambing.

Bertahun-tahun berkecimpung di dunia musik, kami pikir genre punk sudah tidak menjanjikan. Dan yang terpenting, lagu punk bikin pegal-pegal. Kami sudah cukup berumur. Jadi harus memperhatikan kesehatan tulang. Maka kami mulai bergeser sedikit lebih lembut ke aliran keroncong. Genre ini tak kalah keren.

Satu hal yang saya (Asep) sesali. Yaitu, kenapa saya mesti jadi drummer. Penyesalan itu datang setelah saya lihat-lihat dokumentasi kami selama bertahun-tahun. Bayangkan, dengan panggung yang tinggi dan posisi drummer selalu ada di paling belakang (tidak bisa ditawar), belum lagi tertutup drum kit, nyaris cuma jambul saya yang kelihatan. Sungguh menjadi drummer itu tidak memiliki nilai jual.

Yah, itulah sedikit curahan hati kami. Triple-A harus kembali vakum. Para personel terpisah jarak. Sejak pertama kali dibentuk. Sang vokalis sedang sibuk mencarikan menantu buat Ibunya, di Jogja. Mas bassis sudah mempunyai kehidupan baru, di Cilacap. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah, wa rohmah. Dan saya, drummer, sedang berkelana di luar Jawa. Memperdalam ilmu ke-perkusi-an dengan menjadi pemain hadroh.

Oh ya, yang ingin minta tanda tangan atau foto bareng jangan sungkan-sungkan ya. Datang saja ke tempat kami. Bisa ke Jogja, atau tanah kelahiran kami Cepu. Atau berikan saja alamat kalian, kami akan datang. Kalau perlu kami bayar. Kami masih punya stock nasi kotak.

Demikian, salam 3 jari!!!

14 November 2013

Teror

Ketemu. Buku yang saya cari berbulan-bulan telah pulang. Tahu-tahu menampakkan diri di meja saja. Bisa ditebak, ini persoalan housekeeping yang buruk. Whatever. Come to Papa...

Who Will Cry When You Die?

Sebentar, saya tidak sedang bertanya. Itu tadi judul buku yang muncul tiba-tiba. Buku yang ditulis oleh penulis The Monk Who Sold His Ferrari, Robin Sharma. Buku hadiah dari seorang kawan, Yogi Prayogo.
 
Di awal bab, materinya main teror saja. Ya, karena itu juga saya menulis postingan ini.

"Siapa yang akan menangis ketika Anda meninggal?
Apa pengaruh hidup Anda bagi generasi mendatang?
Warisan apa yang akan Anda tinggalkan setelah Anda mengembuskan napas terakhir?"

Sengaja saya kutip buat menyebarkan teror. Saya tidak rela terteror sendirian. Sekarang mari renungkan sama-sama.

Barangkali, yang menangis paling kencang ketika saya mati adalah orang yang saya hutangi. Kasihan. Makanya saya banyak berhutang, supaya berumur panjang. Terima kasih sudah mendoakan, wahai para pemberi hutang!

"Saya ingin menjadi orang yang saya inginkan namun tidak pernah saya wujudkan," kata George Bernard Shaw. Jadi, Engkau bukanlah satu-satunya, kawan. Kita tidak sendirian.

Tapi saya jadi punya pertanyaan baru buatmu, "Adakah yang akan menangis jika Engkau mati?"

13 November 2013

Ndlodog

Edan. Saya baru saja membaca blog edan. Rasanya seperti saat pertama kali baca tulisan Prie GS. Segar dan gerrrr... Geli.

Manusia seperti mereka perlu dilestarikan. Malah, jika ada yang berkenan, harus dibudidayakan. Pertama, karena mereka pabrik endorfin yang punya segudang bahan baku untuk membuat kita ketawa. Kedua, mereka barang langka. Bukan, bukan barang mereka yang langka. Hush!

Lho jangan remehkan urusan kocok perut ini. Kita sama-sama jenuh nonton sinetron yang isinya melulu soal tangis-menangis. Layar kaca kita terlanjur begitu. Kalaupun ada yang lebih faktual, palingan cuma berita korupsi atau gosip selebriti.

Kita butuh orang-orang humoris yang segar. Eksistensinya perlu kita jaga. Buatkan kandang khusus kalau perlu. Jangan sampai kecolongan. Sebelum diakui negara lain.

Lho, biasanya yang unik-unik kan diklaim punya bangsa lain. Tapi untuk mereka, sepertinya bukan Malaysia yang bakal mengklaim. Mungkin Zimbabwe. Bisa jadi, bisa jadi. Maklum, hampir satu warna. Kira-kira kayak sawo kedalon.

Mereka menulis dengan gaya Njawani, atau kentara logat/dialek/aksen Jawanya. Materinya sangat orisinil dan ndlodog. Ndlodog itu saru. Atau...pokoknya itu. Tapi masih bisa dibawa ke meja makan. Semacam ceplas-ceplos.

Wah, wah... Kudu di-eman. Jangan sampai diculik tetangga.

Iya, lebih baik segera kasih cap di jidatnya "INDONESIA". Karena jika kita lengah sedikit saja, dia bisa lari ke luar negeri. Kalaupun bukan kemauan sendiri, nasibnya bisa kayak Habibi atau Sri Mulyani.

Begitulah. Yang begitu itu berlebihan. Maksud saya bukan pengusiran Habibi yang berlebihan. Tapi imajinasi soal penculikan tadi kurang masuk di akal. Bagaimanapun tampang udik tidak layak lirik. 

Eh tapi, tadi bilang usir-mengusir itu apa? Halah lupakan. Biar tenang dalam damai.
Mengungkit-ungkit masa lalu yang bikin malu itu ndlodog. Makanya, sudah, berhenti ingat-ingat mantan melulu. Mending kalau ingat bisa bikin hepi, nyatanya tiap ingat bawaannya mau minum pewangi. Pewangi itu paling pol buat ketek, jangan diminum.

Edan. Kata Jayabaya, ora edan ora keduman. Yang tidak gila tidak akan dapat bagian. Tapi giliran gila beneran kok malah dimasukkan Rumah Sakit Jiwa. Dasar anak durhaka. Mereka kan tidak sakit. Cuma gila.

Saya turut prihatin. Mari kita doakan Tony Blank and The Gank. Saparatos!

06 November 2013

Kromatik

Kromatik

Tak ada lisong, hanya secangkir kopi
Pekat melekat hitam ibrik berbusa
Riak berbiak menawar putih gula
Lantaran senja tak pernah datang lambat waktu
Menenun malam, mengepul setungku abu
Biar
Derik jangkrik menjaga tempo asik tabulasi kromatik

18 Agustus 2013

Refleksi

Bersyukurlah bagi yang sudah merasakan berbagai jenis sarana transportasi umum. Karena dari sana kita dengan mudah berkenalan pada karakter massa. Tidak butuh waktu lama. Bahkan sangat singkat.

Saya sendiri sudah pernah merasakan banyak alat transportasi. Manis, asem, asin. Ramai rasanya! Nano-nano, Bro!

Eh sorry, bukan maksud memelintir perkara. Tapi kadang-kadang memang manis. Karena di kereta api kelas ekonomi ada penjual teh atau kopi panas yang meski murah, tidak pakai gula buatan. Sesekali kopi ini tumpah di celana bahkan muka. Ternyata rasanya manis, setelah mulut kecipratan airnya.

Juga asem. Tahu sendirilah kalau pelayan publik ini bekerja seharian penuh. Terbayang betapa lelahnya mereka. Maka tak heran jika beberapa pramugari memasang muka masamnya. Sebenarnya bukan dipasang, tapi terpasang begitu saja. Tapi, ya Tuhan, betapapun dimasamkan tetap saja ada manis gula aren yang menyembul di antara peragaan keselamatan, pelampung, oksigen, juga pintu darurat. Apalagi yang berlesung pipi. Aduh.

Asin juga tak kalah banyak bertebaran di alat transportasi publik. Yang biasa berjejalan di bus ekonomi pasti sudah khatam. Berdiri berhimpitan di antara orang-orang yang berusaha berpegangan pada tiang bus agar tak jatuh ketika bus direm mendadak. Jangan bohong tidak pernah nyerempet ketiak pengamen atau Ibu-ibu dari pasar. Wuih, asin kan?

Pokoknya ramai rasanya.

Sekali-kali rasakanlah lancarnya melaju naik busway. Atau cicipi goyang kopaja juga bajai yang lincah meliuk-liuk di tengah kemacetan. Jangan antipati dulu dengan Damri, andong, dokar, dan feri. Tapi perlu juga mencoba nyamannya pelayanan di kereta api eksekutif, taxi, atau pesawat terbang.

Sungguh, masing-masing alat dengan kelas masing-masing memiliki kecenderungan penumpang masing-masing. Tingkah penumpang kereta api kelas bisnis tentu berbeda dengan penumpang bus patas. Berbeda pula dengan penumpang ojek. Penumpang becak. Dan lain lain dan lain lain.

Begitu mudahnya melacak karakter massa. Jenis alat transportasi yang kita pilih berikut kelasnya adalah refleksi kehidupan kita, penumpangnya.

16 Agustus 2013

Mental

Sulit menelusuri apa maksud pernyataan Founding Father, Ir. Soekarno atau Bung Karno, tentang mental tempe. Dulu kita mengamini saja, barangkali karena belum mengenal Twitter. Dari linimasa Twitter saya membaca:

@AndaTahu: Tempe sudah dinobatkan sebagai salah satu makanan paling sehat di dunia oleh WHO

Mungkin saja dulu tempe belum dikenal oleh WHO. Tetapi seandainya dikenal dan dinobatkan pun, belum tentu kita dapatkan beritanya. Bahkan sampai zaman Orde Baru siaran televisi dimonopoli TVRI. Stasiun radio di bawah pengawasan ketat Menteri Penerangan. Ingat Harmoko? Nah. Semua berada di bawah kendali Mr. President Soeharto. Sedangkan jaringan internet waktu itu belum ada. Kalaupun ada sudah pasti penuh dengan banning.

Apa yang berhasil dibangun rezim Orba sampai Mr. President dijuluki Bapak Pembangunan? Oh ya, membangun rasa takut luar biasa kepada rakyat Indonesia. Membangun mental inferior yang menghamba kepada penguasa. Membangun...hush!

Ndak etis, katanya. Biarin! Ngapain dipikirin? Kayak kita dulu dipikirin aja!

Kembali soal tempe.

@kang_anu: Jadi, mental tempe adalah mental paling sehat di dunia.

Berbahagialah orang-orang yang pernah dikata-katai bermental tempe. Orang-orang bermental paling sehat di dunia. Banggalah menjadi Indonesia yang serba tempe. Murah meriah tapi paling sehat di dunia. Hidup bangsa tempe!

Kita sudah mahir dalam bidang fermentasi sebelum barat mengupas apa yang ada di balik fermentasi itu. Baru kini mereka menyimpulkan bahwa tempe, makanan hasil fermentasi ini adalah makanan paling sehat di dunia. Kita jauh lebih maju. Jauh ada di depan.

Sayangnya kita lebih suka mengonsumsi makanan/minuman produk barat yang jauh di belakang kita. Minuman bersoda/berkarbonasi, misalnya. Kurang jelas apa minuman ini berbahaya. Kurang gamblang apa minuman ini tidak sehat.

Di Universitas Delhi India pernah diadakan lomba minum minuman bersoda. Pemenangnya berhasil menghabiskan 8 kaleng, dan tewas di tempat karena terlalu banyak karbondioksida di dalam darahnya.

Minuman bersoda dinamai berkarbonasi karena di dalam airnya dimasukkan karbondioksida. Maka itu disebut proses karbonasi. Padahal yang dibutuhkan darah adalah oksigen untuk dialirkan ke otak. Ketika karbondioksida terlalu banyak mengalir ke otak, gagal dan tamat lah sudah.

Belum selesai berurusan dengan minuman berkarbonasi, sudah mengidolakan junk food. Makanan ini digemari justru oleh kalangan menengah ke atas Indonesia. Padahal secara harafiah junk food berarti makanan rombengan/buangan/dsb. Jadi, itulah selera tingginya Indonesia. Junk food. Sudah tidak perlu saya beberkan lagi apa yang menjadikan junk food benar-benar sebagai makanan rombengan.

Saya sependapat dengan Sujiwo Tejo (@sudjiwotedjo) soal mental ini. Lebih baik bermental tempe ketimbang mental junk food, toh?

14 Agustus 2013

Asal Kopi Kothok

Dari mana asal kopi kothok?

Coba surfing di internet! Search engine menyediakan puluhan (suatu saat akan menjadi ratusan bahkan ribuan) jawaban. Ada yang bilang dari Blora, Tuban, Bojonegoro, dan lain-lain. Entah mana yang benar. Sejarah belum membuktikan. Tidak tertulis dalam kitab Negarakertagama (apalagi Kamasutra) dari mana kopi kothok berasal. Di mana kopi ini pertama kali dibuat dan dipopulerkan. Semua boleh berpendapat atau membuat pengakuan. Termasuk saya, berpendapat bahwa kopi kothok ini khas Cepu. Sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Blora.

Jika kita bergeser sedikit ke selatan Jawa Tengah yang berbatasan dengan Yogyakarta, tepatnya Magelang, di sana ada sebuah tempat ngopi bernama Kopi Klotok. You know what? Ternyata Sang Founder diilhami Kopi Kothok Cepu. Sekali lagi; Cepu. Bukan tempat lain.

Tapi tetap saja menjadi perdebatan di kalangan pecinta kopi ini. Whatever. Yang saya tahu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Da'i kondang di masanya yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) dan pemimpin DI/TII ini juga berasal dari Cepu. Tidak banyak yang ingat.

Juga pamannya, Marco Kartodikromo (Mas Marco), seorang aktivis, penulis, yang ditakuti pemerintah kolonial, yang akhirnya dibuang di Digul, berasal dari Cepu pula.

Pusat pemerintahan Kadipaten Jipang Panolan pada abad XVI yang terkenal dengan Aryo Penangsang (yang juga murid Sunan Kudus) dan kerisnya Setan Kober, serta kudanya Gagak Rimang juga Cepu tempatnya. Bukan tempat lain.

Di Cepu jugalah pasukan Ronggolawe berada. Pasukan berkuda yang gagah berani.

Yang terbaru adalah Blok Cepu. Wilayah kontrak minyak dan gas bumi yang memiliki cadangan minyak sangat besar, mencapai 2 milyar barel. Kabar ini ramai di tahun 2006, saat ExxonMobil Ltd. (salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia) masuk dan membantu Pertamina mengelola minyak di sana. Tetapi kemudian banyak yang lupa, bahwa dengan begitu mestinya mendukung kemajuan Cepu. Bukan stuck begini.

Banyak lagi yang lainnya. Singkatnya, yang ingin saya sampaikan adalah Cepu banyak dilupakan. Jadi wajar saja kalaupun Kopi Kothok benar-benar berasal dari Cepu, kemudian orang melupakan. Lalu orang mulai membuat pengakuan. Wajar. Seandainya memang benar.

Saya mulai berpikir, jangan-jangan saya masih mewarisi darah Kartosoewirjo. Juga Mas Marco (atau Mbah Marco). Bisa jadi. Saya ini asli Cepu. Memang campuran Pati. Tapi toh, dulu Pati di bawah kedaulatan Jipang Panolan yang pusatnya di Cepu.

Atau malah mengalir darah Aryo Penangsang. Berarti saya keturunan Raden Patah, Raja Demak. Saya berdarah biru! Sepertinya perlu Medical Check Up, siapa tahu darah saya memang biru. Tapi sudahlah, lupakan, memang biasanya dilupakan.

Sungguh malang nasib Kopi Kothok. Dia mengembara ke mana-mana, tapi tidak punya akta kelahiran. Orang bertanya-tanya dari mana asalnya, tapi tidak ada jawaban. Sementara yang lain terus membuat pengakuan. Menjadi perdebatan. Biarlah. Biarlah menjadi teka-teki seperti misteri gunung merapi. Ih...ih...ih...

Dari manapun asalmu, Cepu akan selalu menerimamu, Kopi Kothok. Ai luph yu pull...!

13 Agustus 2013

Dendam

Ramadan sesungguhnya adalah bulan kenaikan harga. Dan bagi sebagian orang, merupakan bulan kenaikan berat badan.

Kita telah melewati Ramadan. Sudah menang. Kenapa menang? Oh iya ya. Kenapa? Fitri artinya suci, bukan menang. Siapa bilang Idul Fitri artinya Hari Kemenangan? Wah ini. Biar para ahli bahasa yang kaji.

Kembali lagi soal bulan kenaikan; harga dan tentu saja berat badan tadi. Entah kenapa matematika saya jadi kacau. Lantaran kenaikan harga berbanding lurus dengan kenaikan berat badan. Umumnya kenaikan harga bikin orang berhemat. Dengan kata lain belanja dikurangi. Artinya asupan gizi juga turun. Kalau dulu minum susu 3 gelas perhari, kali ini Cuma 1 gelas saja. Tapi ini kok...?

Coba kita lihat dengan kacamata ekonomi. Pakai hukum supply & demand. [1] Semakin tinggi penawaran, semakin rendah harganya. Berarti semakin banyak barang, harga semakin murah. [2] Tapi semakin tinggi permintaan, semakin tinggi harganya. Berarti semakin banyak yang mau beli, harganya semakin tinggi.

Nah ketahuan.

Harga-harga meninggi karena makin banyak yang mau beli. Karena permintaan naik. But why? Kenapa permintaan naik? Bukannya di bulan Ramadan kita dianjurkan mengurangi porsi hari-hari biasa? Kalau hari-hari biasa makan 3 kali sehari, di bulan Ramadan cukup 2 kali sehari pas sahur dan buka. Tapi yang terjadi...?

Ternyata, kita memang mengurangi porsi dari 3 menjadi 2. Tetapi bobotnya sama. Awalnya 3 porsi sama dengan 3 piring, saat Ramadan 2 porsi sama dengan 3 piring juga. Dirapel waktu berbuka. Bahkan lebih dari 3. Ini namanya balas dendam.

Dendam memang tidak baik. Buktinya berat badan jadi naik. Tentu saja kenaikan ini tidak sehat. Karena lemak menumpuk akibat makanan masuk tapi menganggur. Hayo ngaku siapa yang selesai santap sahur/buka langsung tidur? Mestinya dibakar, bukan disimpan di lipatan perut.

Jadi ingat postingan saya tahun lalu tentang lebaran (baca), terminalnya kolesterol tahunan. Dan beberapa waktu lalu ada twit:

@jo_defretes: The constant battle (is) always between human and cholesterol, not devil :))

Tapi kolesterol ini cuma senjata yang digunakan setan saja. Musuh utama manusia tetap setan itu sendiri. Persis seperti apa yang terjadi pada Adam & Hawa. Setan menyodori buah khuldi sebagai senjata. Dimakan, lalu manusia diusir dari surga.

Pokoknya senjata setan akan menjauhkan kita dari surga. Dendam termasuk di antaranya. Naudzubillah min dzalik.

11 Agustus 2013

Seimbang

Menyambung postingan sebelumnya; Logika Matematika, sesuai janji saya.

Yah, setelah menunda dan menunda. Karena memang tidak enak sekali saat kita ditarget untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Sekarang saya tahu rasanya dikejar-kejar deadline. Deadline yang saya ciptakan sendiri. Yang tidak "line" sebenarnya. Karena saya tidak menentukan tanggal. Hanya saja saya terlanjur membuat pagar, "Saya janji akan saya sambung lagi di postingan berikutnya.". Walhasil, uneg-uneg lain yang ingin ikut nangkring jadi terpending. Daripada jadi bottle neck, lebih baik segera diselesaikan. So, here is it....

Matematika tidak bisa berdiri sendiri. Logikapun begitu. Sama kasusnya dengan Intelligence (Quotient) yang harus bekerja bersama Emotional dan Spiritual. Saya banyak mengenal ini lewat ESQ Way yang dipopulerkan Ary Ginanjar. Meski akhirnya metode yang digunakan menjadi perdebatan banyak pihak (bahkan MUI-nya Malaysia sampai menyatakan sesat), tetapi harus diakui ESQ Way membuka mata kita bahwa ada yang tak kalah penting di samping kecerdasan intelektual.

Jika tubuh kita ibarat perangkat komputer, maka kita butuh Operating System (OS) untuk menjalankan. OS inilah yang kemudian akan banyak mengambil peran. Mau disuntik hardware baru atau diinstal software tambahan, tidak jadi soal. Yang penting OS-nya settled.

Dari sisi intelligence harus kokoh. Supaya tidak keblinger juga diperkuat dengan emotional. Dan untuk mengendalikan dibutuhkan pula spiritual. Atau ditambahkan yang lain. Tergantung OS-nya. Windows, Linux, Macintosh, atau apa saja.

Operating System beserta softwarenya bisa diupgrade. Bahkan sekarang hardwarepun diperjualbelikan. Lihat saja di Korea. Di sana tidak ada hidung pesek. Semuanya mancung. Semua cantik. Untuk hardware ini yang penting wani piro?

Karena OS bisa diupgrade itulah semua orang berkesempatan mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti Erbe Sentanu tulis dalam Quantum Ikhlas, "Default factory setting (baca: fitrah) semua manusia adalah untuk berhasil, Tuhan menciptakan manusia bukan untuk mengalami kegagalan, kegagalan itu bukanlah nasib, melainkan serangkaian keputusan yang kurang tepat, dan selalu bisa di-reset, diputar kembali ke arah keberhasilan". Nah, panjang lebar!

Singkatnya, manusia butuh keseimbangan untuk mencetak file sesuai desain yang dibuat sebelumnya. Sesuai keinginannya. Baik itu cita-cita, visi, impian, dan sebagainya.

Pada dasarnya kehidupan inipun diciptakan dengan hitung-hitungan yang sungguh seimbang. Di hutan Sumatera ada 1000 harimau, 10.000 rusa, 100.000 hektar padang rumput. Misalnya. Tetapi tangan kita, manusia, lah yang merusak segala keseimbangan kehidupan.

Di Jakarta sudah tidak terhitung lagi banyaknya asap buangan knalpot dari ribuan kendaraan yang berkeliaran di sana. Kita penuhi kota dengan kuda besi tanpa memperhitungkan kapasitas jalanan, mengabaikan pohon yang harus bekerja keras membersihkan udara, melupakan lahan parkir yang ada, lupa cadangan bahan bakar, dan seterusnya-dan seterusnya. Cilaka!

Ya, itu memang di Jakarta. Tapi belum tentu di daerah lain kondisinya lebih baik. Lagipula Jakarta ibukota Negara. Jadi, Jakarta merupakan muka Indonesia. Wajah dianggap cukup buat merepresentasikan tubuh secara keseluruhan. Meskipun Bali lebih dikenal ketimbang Jakarta, sih.
Ah, akan sangat panjang sekali jika kita menguraikan betapa berengseknya negeri kita tercinta. Belum lagi di pedalaman Kalimantan yang tertinggal, sungguh timpang. Entah dari mana kita harus mulai membenahi keseimbangan negeri ini.

Ketimpangan ini bukan Cuma persoalan Indonesia yang kebetulan banyak boroknya. Tetapi juga semua yang menghuni bumi. Kabarnya, di India, sudah kerepotan menangani kotoran manusia, tinja. Tidak lama lagi kelangkaan air bersih atau bahkan udara mungkin saja menghantui. Ngeri!

Saya bukannya mengimani film-film Hollywood. Tetapi akan sangat mengerikan jika masa depan bumi seperti yang tergambar dalam film Wall-E. Apakah kita siap menghadapi zaman di mana bumi tak lagi memiliki daratan seperti di film Waterworld? Bagaimana dengan The Day After Tomorrow? Atau seperti film Earth 2100 tentang kehancuran bumi akibat tangan manusia? Ah, saat tiba hari itu aku pasti sudah mati. Kiamat.

11 Juli 2013

Logika Matematika

Matematika berbeda dengan logika. Keduanya memang sering bersentuhan tetapi tidak sama. Lebih-lebih di kehidupan sosial. Baik yang diperantarai media atau tidak.

Ada contoh sederhana. Pihak A terikat kontrak dengan pihak B, yang mewajibkan A membayar 10 juta rupiah ke B tiap bulan. Matematikanya, 10 juta rupiah setara dengan 1000 dolar Amerika. Matematika ini logis. Tapi apakah pihak A dapat membayarkan kewajibannya dalam mata uang dolar Amerika senilai 1000? Secara matematika, pembayaran itu sah. Tetapi tidak secara logika. Logikanya, kewajiban A adalah membayar 10 juta rupiah, bukan 1000 dolar Amerika.

Saya bukan ingin menyampaikan bahwa matematika itu tidak logis, atau logika itu tidak matematis. Bukan. Tapi ternyata matematika tidak bisa mencari jalannya sendiri. Dia masih butuh logika buat sekedar menjadi rambu supaya tidak sesat.

Logikapun begitu. Tidak bisa berdiri sendiri. Harus didampingi emosi, religi, dan anak-bini. Iya, anggap saja logika itu suaminya.

Begitulah. Saya sedang tidak ingin berpanjang-lebar. Katanya, terlalu panjang kasihan Ibu-ibu. Terlalu lebar kasihan Bapak-bapak. Saya janji akan saya sambung lagi di postingan berikutnya. Sekian.

18 Juni 2013

Apriori

Sssttt... Jangan berisik. Emak lagi asik nyimak berita politik. Itu lho soal kenaikan harga BBM. Masuk berita politik? Walah, walah. Dari bawang, sapi, sampai BBM juga kecipratan politisasi. Hush!

Subsidi BBM akan dicabut. Wacananya. Baru wacana saja sudah membuat goncang pasar. Biasanya yang bikin pasar goncang kan cuma arisan. Apalagi kalau yang dapat arisan tidak bagi-bagi rezeki.
"Ya apa, kek. Traktir es dawet atau apa gitu!" Gerutu tukang becak.

Padahal uang arisan itu paling pol buat beli mie instan. Lumayan, selingan menjelang ramadan. Cukup kalau cuma dibagi 3 porsi sehari. Dia sendiri, suaminya, dan anak semata wayangnya.

Eh, sebentar, Bu, Mbak, Yu, Teh, atau siapa lah. Interupsi! Mie instan itu tidak baik buat kesehatan lho. Memang praktis, mudah, uenak tenan, buka bungkus lalu siram air panas, maka jeng-jeng-jeng jadi. Tapi bagaimana organ tubuh yang melulu diasupi, 20 tahun lagi? Kita dibayang-bayangi kanker lho. Pokoknya banyak keburukan yang ngumpet di balik tedheng aling-aling tepung keriting itu.

"Begini, Dik," jawab Ibu yang dapat arisan, "20 tahun lagi belum tentu saya masih ada. Lebih baik menikmati yang sekarang ada saja. Lagipula kalaupun masih ada, syukur 20 tahun ke depan bisa bertahan dengan mie instan. Maksud saya, tanpa mie instan mungkin hidup saya cuma sampai minggu depan. Sekarang saya cuma bisa makan mie instan buat hidup. Masih terjangkau. Kalau sudah melambung, ya sudah, tamat."

Bukan, bukan begitu maksud saya. Kata para ahli, kita hidup harus dengan kiat. Orang dulu meski kere juga, maaf lho, tapi bisa bertahan. Sama-sama tidak mampu beli beras. Tapi ada gaplek, thiwul, dan kawan-kawan. Soalnya kalau terus-terusan makan mie instan, kasian keturunan kita.

"Biarlah para ahli mengoceh. Itu kan kerjaannya. Kalau tidak begitu mana laku. Ahli menakut-nakuti, tidak pernah memberi solusi. Hidup orang macam saya ini sudah ngehe, jangan dibikin makin serem dengan prediksi-prediksi. Makin nyahok."

Tapi subsidi BBM ini sungguhan membebani APBN. Siapa mau bayar hutang luar negeri? Bayar pakai apa? Kalau akibat mie instan masih mending, tidak bisa bayar obat ya biarkan saja, kan mati sendiri. Lha negara kita, masak mau dibikin, maaf, mampus?

"Lho, lho, saudara ini jangan memelintir perkara. Tadi kan kita bicara soal mie instan. Kenapa jadi BBM dibawa-bawa? Mana produsernya? Saya berhenti. Lanjutkan sendiri ceritanya! Orang saya dibayar buat ngomong mie instan kok. Boleh dong saya menolak ngomong BBM. Kontraknya kan sudah jelas."

Lhadalah. Ibu itu keluar dari studio. Saya jadi sendirian.

Saya buka FB. Ada notifikasi dari grup almamater kampus. Ternyata sebuah ormawa (organisasi mahasiswa) eksternal melakukan propaganda buat turun ke jalan. Agendanya menolak kenaikan harga BBM. Mereka mengaku berkoalisi dengan rakyat.

Hampir semua (sepertinya semua) alumnus menentang. Menurut saya sendiri, ormawa itu terlalu grusa-grusu. Karena saya yakin mereka belum melakukan diskusi dengan ahli, atau pengamat, atau setidaknya mengadakan forum pengkajian yang terbuka. Ada jalur audiensi, dan lain-lain.

Motifnya, yang saya amati, adalah solidaritas. Kebetulan ormawa ini berkelas nasional. Isu demonstrasi turun dari pusat, yang di daerah langsung tancap. Solidaritas, barangkali.

Santai. Selow. Calm down. Cuma karena aksi mahasiswa di Indonesia pernah 2 kali menumbangman rezim berkuasa, sekarang apa-apa maunya 'aksi'? Waduh, gawat beneran.

Jalur-jalur intelektual belum ditempuh, jangan tahu-tahu pakai cara preman ya. Reminder saja. Banyak jalan menuju Roma. Lewat begadang, misalnya. Atau Angel Lelga. Eh.

Demonstrasi ini dipayungi mendung sepanjang hari. Bukan cuma mendung, tapi juga gerimis. Di beberapa tempat bahkan sampai hujan. Lhoh, hujan? Ini kan bulan Juni?

Begini, saudara, ilmu petani hari ini sudah tidak apriori. Pak Tani bilang kalau Januari itu hujan sehari-hari. Tiba Juni, giliran hujan melipir pergi. Itu dulu. Sekarang sudah bukan apriori.

Hujan turun di bulan Juni justru makin bikin orang mengenang Sapardi Djoko Damono (SDD). Linimasa penuh SDD. Ini anomali, saudara! Dulu orang berelegi lantaran hujan itu di bulan Desember. Kalau Juni, orang menyanyikan lagu rindu kepada hujan. Hujan jangan marah, kata Efek Rumah Kaca.

Wah ini sungguhan anomali. Dulu, dulu sekali, waktu salah satu menteri kita menjadi presiden OPEC, kita eksportir minyak. Sekarang? Katanya, minyak yang menurut konstitusi menyangkut hajat hidup orang banyak itu melimpah di Nusantara. Lha kok pakai acara ngimpor?

Sabar, jangan curiga. Ternyata kita cuma sedang merayakan globalisasi. Kita bancakan sama-sama. Tapi kok tumpengnya dari kita semua. Yang dari luar mana? Coba cek. Yang di sana dikuasai asing. Yang di sini di tangan asing. Oh ya, ini globalisasi, ding. Tapi kok sampai hajat hidup kita dikelola asing? Lhadalah!

Kita dulu berjuang mati-matian, berdarah-darah, mengusir penjajah. Supaya mereka tidak ikut-ikutan, mengobok-obok, hajat hidup kita. Sekarang? Sesungguhnya dari mana akar anomali ini? Apa hujan yang turun sekonyong-konyong tanpa permisi di bulan Juni? Duh, Bung, rebut kembali!

@yellohelle: juni berakhir pada hari ini.

Ya Tuhan. Ini kan masih tanggal 17.

"Ndak papa kalau mau turun ke jalan. Ndak dilarang. Tapi izin ya, juga tertib, jangan nyusahin orang lain. Ini aja udah susah, jangan ditambah." Kata Ibu yang dapat arisan tadi. Lho kan sudah keluar studio. Kok masuk lagi. Honornya kurang?

"Kan saya juga punya aspirasi!" Si Ibu sewot.

Nah ini malah datang gerombolan anak muda. "Demo itu harus rusuh! Kita belajar dari pengalaman. Ingat tahun '66 & '98? Kalau waktu itu tidak rusuh, tidak mungkin ada hasilnya. Jasmerah, kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah sudah dicatat, kami melanjutkan!" Teriaknya.
Kok jadi runyam. Oke. Mudah-mudahan itu bukan demo pesanan ya.

Mereka mulai menyanyikan anthem
"Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan..."

Lho, lagu itu kan juga pesanan. Wealah. Gusti, tulung, Gusti...

16 Juni 2013

Utuh

Selamat pagi.

Ada orang yang tersinggung tiap mendapat ucapan selamat pagi. Pasalnya dia tidak pernah selamat dari galaunya awal hari.

Iya, orang sekarang lebih suka menghabiskan pagi dengan tekanan katimbang hati lapang. Padahal galau itu enakan menjelang tidur. Dulu juga begitu. Tapi harap maklum. Anomali sedang naik daun. Bukan cuma cuaca, kebiasaan galau juga berhak mendapat emansipasi anomali. Akur.

Para motivator telah gagal. Perlu kerja lebih keras lagi dari guru spiritual untuk meyakinkan manusia era milenium ini, bahwa banyaknya endorfin di waktu pagi akan menentukan debitnya sepanjang hari.

Ajahn Brahm, misalnya. Seorang ilmuwan fisika lulusan Cambridge University yang menjadi biksu di Thailand ini telah menuliskan cerita tentang senyum dua jari di bukunya "Opening the Door of Your Heart" yang terbit dalam 20 bahasa, bahwa senyum paksaan-pun yang dilakukan saat pagi akan membuat kita tersenyum sepenuh hati, sepanjang hari. Sungguhan, bukan lagi paksaan.

Tapi orang belum percaya? Padahal sudah mencoba? Memang perlu kerja lebih keras lagi, Ajahn Brahm.

Dalam Pasukan Galau Pagi, dibagi bermacam-macam peleton. Ada Peleton Galau Asmara, Peleton Galau Ekonomi, Peleton Galau Kesehatan, dan seterusnya.

Persoalan mereka tak selalu tentang serba kurangnya faktor kebahagiaan. Sehingga yang kita tahu cuma galau ujug-ujug datang tanpa aba-aba. Padahal bukan keluarga jelangkung; yang datang tak diundang, pulang minta ongkos. Jelangkung milenium ini galau sampai lupa bawa dompet. Akhirnya dia palak pasukan peleton sebelah buat ngojek. Lhoh? Satu keluarga toh? Keluarga ketemu gede. Oke.

Sebenarnya kita ini bukan ahli galau, tapi ahli grusa-grusu. Buru-buru mengaku galau tanpa menimbang, mengukur, menilik, dan meninjau aspek-aspek lain. Itulah mengapa kita diwajibkan melihat segala sesuatu secara utuh, bukan cuma dari satu sisi.

Sebuah sepatu yang kita lihat cuma dari sisi bawah, mungkin saja kita katakan itu sandal. Lain cerita kalau kita sempat melihatnya secara utuh. Ya dari bawah, atas, depan, belakang, kiri, kanan. Kalau perlu diraba atau dicium. Masih kurang? Boleh dijilat. Kali ini bukan wajib, tapi masuk kategori mubah.

Pada Peleton Galau Uang, contohnya. Di dalam otaknya cuma "uangku kurang". Tidak peduli berapa besar penghasilan. Karena nyatanya orang lebih jago membuat bengkak neraca belanja. Salah satu penyebabnya, tak mau melihat ada orang yang uangnya cuma cukup buat membeli makan 1 porsi sehari.

Orang banyak salah kaprah. Uang dikejar-kejar. Demi kebahagiaan, katanya. Lhadalah! Money is just a factor of joy, not happiness. Kita memang akan bersenang-senang dengan banyak uang. Tapi bahagia? Tunggu dulu. Saya sudah pernah menuliskan bahwa banyak konglomerat berakhir di Rumah Sakit Jiwa.

Mereka kurang tajir apa? Kurang senang apa? BMW limited edition pun tinggal tunjuk. Tapi kebahagiaan? Nah, ini.

Buru-buru galau karena satu hal tanpa melihat hal tersebut secara utuh itu buang-buang energi. Selamat pagi.

12 Mei 2013

Plan

Orang boleh bersabar. Setabah hujan di bulan Juni, seperti kata Sapardi Djoko Damono. Paham metode PDCA.

Plan, Do, Check, Act. Dari Plan; mengidentifikasi persoalan, merencanakan ide solusi dari persoalan, menghitung/mengestimasi manfaat atau hasilnya. Kemudian Do; mengeksekusi rencana/ide solusi. Check; memeriksa hasil implementasi dari Plan. Dan Act; standarisasi ide jika hasilnya memuaskan, menemukan peluang ide selanjutnya, atau sama sekali kembali ke Plan.

Sebenarnya saya benci membuka sebuah postingan dengan materi seberat ini, tapi sudahlah terlanjur saya tulis.

Bagi mereka yang setabah hujan di bulan Juni, bisa jadi selalu memiliki Plan di balik hasil implementasi yang kurang memuaskan. Tapi bukan berarti setiap Plan yang muncul setelah hasil tak sesuai harapan itu harus untuk objek yang sama.  

Ibaratnya begini. Dalam Fishbone akan muncul ManMethodMaterialMachineEnvironment, atau ditambah yang lainnya. Untuk Plan-A yang tidak memiliki hasil memuaskan, Plan-B bisa saja mengubah seluruh variabel Fishbone tadi. Why not?  

Sudah ah, ganti materi.   

Sayang, banyak dari kita yang mudah patah. Plan-A gagal, kemudian berhenti. Gawat. Padahal abjad itu sampai Z. Jadi, tak cukup sampai Plan-B untuk Plan-A yang meleset. Apalagi kepepet. Otak manusia terkenal encer kalau sudah masuk hal-hal yang butuh digeber.   

Berhenti itu tidak dilarang. Hauler yang mesin saja butuh singgah di pistop, sedikitnya waktu overshift. Apalagi manusia. Kita kan tidak minum solar.   

Ada baiknya beri penjelasan pada Emak, bahwa jika kita berhenti bukan berarti menyerah. Karena Emak berpesan, kejarlah sampai dapat. Tapi, Mak, kadang-kadang kita juga harus realistis. Irasional memang dianjurkan, terutama oleh Ippho, untuk mencapai hasil sedahsyat mungkin. But it must also be measurable.
  
Nah, kita memang harus sabar, tabah. Tapi jangan remehkan rasionalnya. Kalau sudah dikejar-kejar sampai mentok tetap tidak sampai, jangan-jangan yang dikejar itu immeasurable. Ya Tuhan, ternyata kita memang musti realistis. Tenang, masih ada Plan sampai Z. Apakah Plan itu untuk variabel fishbone yang sama atau direvisi, itu nanti. Yang penting tidak STUCK.

15 April 2013

Harmoni

Dalam hal ngopi, kopi itu nomor dua. Karena ketika duduk di bangku cafe atau tikar lesehan warung kopi, kita akan segera sadar yang terpenting harmoni. Bahkan di sepanjang malam pada sebuah bar bukan kafein yang melulu diperas menjadi endorphin. Kadang juga nikotin.

Dan seperti di kedai kopi sebelah, terima kasih sudah mampir. Socrates, Lao Tse, Jimi Hendrix, Kurt Cobain, Che Guevara, atau Soe Hok Gie, mereka semua mati sebelum sempat membaca blog ini.

Well, kamu boleh mulai menyeduh teh, susu, atau coklat panas. Hari-harimu pasti tak mudah.

No matter who you are, ketika cangkir atau gelasmu sudah siap, kita semua sama. Hidup itu huge, kita tidak bisa habiskan sendirian. Cangkir, gelas, botol red-wine atau bourbon juga whisky, semua legal di warung kopi.

It's not that bad.

Selamat menikmati.

Perbedaan itu unsur utama harmoni.

15 Maret 2013

Twitwar

Saya tidak akan mendefinisikan apa itu Twitwar. Di tempat lain sudah banyak yang membicarakan. Tapi boleh lah buat sedikit gambaran. Twitwar berasal dari dua kata; twit dan war. Perang twit.

Berkeliaran di timeline, kita perlu ekstra waspada. Dia bagian dari WWW yang digandrungi manusia di abad 21. Pisau bermata dua yang sama tajamnya. World Wild Web. Iya, wild.  Rimba lini masa. Namanya juga rimba, singa atau macan tidak berkandang. Berani masuk harus berani dicakar. Tidak mau dicakar, jangan masuk. Karena balas mencakar saja dihalalkan. Kecuali kalau eman dengan kuku yang mendapat perawatan manicure-pedicure tiap minggu itu.

Kita akan banyak menjumpai burung yang berkicau. Burung-burung yang bernyanyi. Melagukan ode kesedihan. Dan tidak cuma sekali/dua kali burung-burung itu saling memaki, bersumpah serapah. Sudah merdeka, katanya. Tapi jangan salah, mereka bukan burung beo yang dilatih berminggu-minggu untuk memenangkan festival. Mereka tidak dikarantina dan diberi makan pelet impor. Tidak peduli sedang nge-trend barang impor murah. Burung-burung itu makan apa saja. Mereka omnivora. Kalau sudah tidak ada lagi yang bisa dikunyah, mereka biasa mengganyang sesamanya. Sah. Yang penting kenyang.    

"Siapa suruh media nayangin berita Sumanto? Hayo!” kata burung yang nangkring di pohon bambu. Mereka berguru pada apa yang bisa ditiru. Asal terlihat berarti boleh diduplikat.  

Ada fenomena unik di rimba linimasa. Twitwar tanpa mention. Masing-masing cuma akan saling nyinyir pamer kebolehan berkicau sampai mulut berbusa. Kadang-kadang sampai berisik sekali. Senggol sana senggol sini. Mungkin kebanyakan nonton konser dangdut. Makin disenggol makin asik. Atau bekas anak metal, ditabuhi sedikit maunya moshpit.  

Di medan Twitwar, para burung dibekali ketapel. Untuk menembaki sesama burung itu sendiri. Tapi dengan konsep tanpa mention, jadilah perang twit itu membabi buta. Bayangkan saja sebuah arena adu jotos yang di dalamnya berisi algojo-algojo, yang tanpa ada penerangan sama sekali. Mike Tyson merasa dijotos Holyfield dari kiri, dia balas pukul ke kiri disangka tepat kena Holyfield ternyata kena Chris John. Chris John tidak mau kalah, diayunkannya pukulan ke kanan membalas Mike Tyson, rasanya tepat sasaran ternyata bersarang di muka Ronaldinho. Lho, rimba linimasa memang begitu. Dari pesepakbola sampai petinju jadi satu. Sudah tidak bisa dibedakan lagi mana yang alumni RSJ mana yang alumni ITB. Semua saling tembak dan tetap dengan saling buta. Saling merasa.

Rimba linimasa ini mengerikan. Lengah sedikit saja jadi bulan-bulanan. Keluar dari sana kita merasa saling bonyok. Tapi itu menyenangkan. Buktinya ketagihan. Sudah tahu bakal babak belur tapi masuk lagi. Tapi, meski bikin ketagihan untungnya tidak menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan, jantung, dan kematian.

Lain kali supaya lebih terarah, kalau Twitwar mesti bawa obor.

14 Maret 2013

Garam

Pernah penasaran kenapa ada orang suka mengoleksi buku? Bukan koleksi sebenarnya. Lalu? Sebentar, yang saya maksud bukan buku-buku ilmiah yang di dalamnya berisi teori atau kajian atau apalah namanya. Beberapa di antaranya berkumpul rumus-rumus angker. Bukan itu. Yang saya maksud buku-buku bermuatan pengalaman penulis.

Memang hampir semua buku bermuatan pengalaman penulisnya, tapi ada buku yang ditulis berdasarkan apa yang benar-benar dialami. Bukan buku yang ditulis dari pengalaman tangan ke dua. Atau ke tiga. Dan seterusnya. You know lah!

Baiklah, saya ingin berbagi cerita kenapa ada orang yang suka membaca pengalaman orang lain. Sekarang anggap saja saya suka membaca pengalaman orang lain. Ya, sayalah orangnya.

Kita tidak selalu sepakat dengan apa yang ditulis seseorang atau berorang-orang. Entah di Koran, buku, media sosial, atau yang lainnya. Tapi kita terus membaca lagi dan lagi. Minggu depan terbit lagi, kita baca lagi. Meski sudah tahu akan tidak sepakat, kita baca lagi. Semacam orang yang tahu rokok itu mematikan, tapi sedot lagi, hisap lagi. Sejenis tapi beda spesies.

Buat saya sendiri membaca pengalaman orang bukan untuk berguru. Karena saya tidak berguru pada sebuah buku. Buku cuma alat yang dipakai para guru saja.

Ada dua alasan kenapa membaca pengalaman orang lain menjadi penting bagi saya. Pertama, penerbit tidak mungkin mencetak buku dari pengalaman yang biasa saja. Dari ribuan pengalaman manusia di muka bumi ini, ada satu-dua pengalaman yang terpilih. Untuk buku tadi. Ya, terpilih. Dengan begitu paling tidak sudah bergaransi “lain daripada yang lain”. Soal isinya ternyata sama dengan yang lain atau biasa-biasa saja itu urusan belakangan. Kita sudah biasa ditipu. Sebangsa perokok tadi, sudah tahu bakal ditipu tapi dipilih juga. Sebangsa tapi beda suku. Saya tidak sedang membicarakan pilkada, pilgub, atau pilpres (uhuk). Ini tentang pil-KB (uhm).

Alasan yang kedua, karena itu pengalaman terpilih, sangat mungkin sekali apa yang tertulis itu belum pernah saya alami sendiri. Jadi saya akan membaca pengalaman orang lain yang belum pernah saya alami. Sedikitnya saya akan tahu apa yang belum saya tahu. Sukur kalau bisa belajar darinya.

“Sudah banyak makan garam”. Begitu mereka menyebut orang yang banyak pengalamannya. Tapi garam yang dibuat di mana? Orang yang 50 tahun memakan garam Madura melulu tentu tidak sama dengan orang yang 20 tahun memakan garam yang berbeda-beda. Garam Cilacap, Rembang, Indramayu, dan seterusnya. Ya memang sama-sama asin. Tapi kadar keasinan di laut Jawa kan berbeda dengan kadar keasinan di laut Merah. Di laut Jawa lebih asin karena rumah-rumah di pemukiman warga terdekat tidak memiliki toilet, misalnya. Kalaupun saya belum pernah mencicipi garam Amsterdam, paling tidak saya bisa membaca pengalaman orang mengenai garam Amsterdam.

Memang  buku tidak seharusnya disembah. Tapi juga jangan dibakar.
Ada lirik lagu bagus (Jangan Bakar Buku – Efek Rumah Kaca)

… setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya
… setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi …
Bait demi bait pemicu anestesi …

19 Januari 2013

Dogma

Hati-hati dengan dogma. Satu dalil ditafsir menjadi puluhan makna. Kelompok yang tidak puas dengan tafsir kelompok lain siap menghianati justru pada substansi dalil tadi. Maka tak heran anarki di mana-mana. Anarki berarti ada aturan yang tidak diakui. Dengan kata lain kedaulatan sebagai syarat negara telah diperkosa. Bukankah ini pelanggaran berat?

Puber itu biasa. Terjadi pada siapa saja pada masanya. Termasuk pada yang merayakan demokrasi setelah kenyang dicabuli. Demikianlah akar mengakar yang digunduli daun-daunnya lalu kembali tumbuh dan mewariskan puber baru untuk keturunannya.

Tidak bisa tidak. Paham pun berbiak. Di sana kemudian manusia disadarkan satu hal mendasar. Ketuhanan. Berketuhanan bukan sekedar beragama. Pada akhirnya setiap hati dan kepala memelihara keyakinan dalam satu pigura yang membingkai manusia dengan Tuhannya. Di luar daripada agama sebagai konsep nilai dan norma.

Maka sungguh tak bisa dipertanyakan lagi sampai mana keyakinan manusia terhubung dengan Tuhan. Betapa kurang ajar mereka yang mengukur takaran iman dengan dogma. Tuhan yang berhak menanyakan pada hambanya, bukan manusia. Karena melemparkan dogma di tengah karut-marut orang ramai yang linglung cuma akan menimbulkan prasangka. Yang pada gilirannya menjelma begitu liar dan bablas.

Satu saja supaya diingat. Jika beragama untuk bertuhan, beragamalah!