Menyambung postingan sebelumnya; Logika Matematika, sesuai janji saya.
Yah, setelah menunda dan menunda. Karena memang tidak enak sekali saat kita ditarget untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Sekarang saya tahu rasanya dikejar-kejar deadline. Deadline yang saya ciptakan sendiri. Yang tidak "line" sebenarnya. Karena saya tidak menentukan tanggal. Hanya saja saya terlanjur membuat pagar, "Saya janji akan saya sambung lagi di postingan berikutnya.". Walhasil, uneg-uneg lain yang ingin ikut nangkring jadi terpending. Daripada jadi bottle neck, lebih baik segera diselesaikan. So, here is it....
Matematika tidak bisa berdiri sendiri. Logikapun begitu. Sama kasusnya dengan Intelligence (Quotient) yang harus bekerja bersama Emotional dan Spiritual. Saya banyak mengenal ini lewat ESQ Way yang dipopulerkan Ary Ginanjar. Meski akhirnya metode yang digunakan menjadi perdebatan banyak pihak (bahkan MUI-nya Malaysia sampai menyatakan sesat), tetapi harus diakui ESQ Way membuka mata kita bahwa ada yang tak kalah penting di samping kecerdasan intelektual.
Jika tubuh kita ibarat perangkat komputer, maka kita butuh Operating System (OS) untuk menjalankan. OS inilah yang kemudian akan banyak mengambil peran. Mau disuntik hardware baru atau diinstal software tambahan, tidak jadi soal. Yang penting OS-nya settled.
Dari sisi intelligence harus kokoh. Supaya tidak keblinger juga diperkuat dengan emotional. Dan untuk mengendalikan dibutuhkan pula spiritual. Atau ditambahkan yang lain. Tergantung OS-nya. Windows, Linux, Macintosh, atau apa saja.
Operating System beserta softwarenya bisa diupgrade. Bahkan sekarang hardwarepun diperjualbelikan. Lihat saja di Korea. Di sana tidak ada hidung pesek. Semuanya mancung. Semua cantik. Untuk hardware ini yang penting wani piro?
Karena OS bisa diupgrade itulah semua orang berkesempatan mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti Erbe Sentanu tulis dalam Quantum Ikhlas, "Default factory setting (baca: fitrah) semua manusia adalah untuk berhasil, Tuhan menciptakan manusia bukan untuk mengalami kegagalan, kegagalan itu bukanlah nasib, melainkan serangkaian keputusan yang kurang tepat, dan selalu bisa di-reset, diputar kembali ke arah keberhasilan". Nah, panjang lebar!
Singkatnya, manusia butuh keseimbangan untuk mencetak file sesuai desain yang dibuat sebelumnya. Sesuai keinginannya. Baik itu cita-cita, visi, impian, dan sebagainya.
Pada dasarnya kehidupan inipun diciptakan dengan hitung-hitungan yang sungguh seimbang. Di hutan Sumatera ada 1000 harimau, 10.000 rusa, 100.000 hektar padang rumput. Misalnya. Tetapi tangan kita, manusia, lah yang merusak segala keseimbangan kehidupan.
Di Jakarta sudah tidak terhitung lagi banyaknya asap buangan knalpot dari ribuan kendaraan yang berkeliaran di sana. Kita penuhi kota dengan kuda besi tanpa memperhitungkan kapasitas jalanan, mengabaikan pohon yang harus bekerja keras membersihkan udara, melupakan lahan parkir yang ada, lupa cadangan bahan bakar, dan seterusnya-dan seterusnya. Cilaka!
Ya, itu memang di Jakarta. Tapi belum tentu di daerah lain kondisinya lebih baik. Lagipula Jakarta ibukota Negara. Jadi, Jakarta merupakan muka Indonesia. Wajah dianggap cukup buat merepresentasikan tubuh secara keseluruhan. Meskipun Bali lebih dikenal ketimbang Jakarta, sih.
Ah, akan sangat panjang sekali jika kita menguraikan betapa berengseknya negeri kita tercinta. Belum lagi di pedalaman Kalimantan yang tertinggal, sungguh timpang. Entah dari mana kita harus mulai membenahi keseimbangan negeri ini.
Ketimpangan ini bukan Cuma persoalan Indonesia yang kebetulan banyak boroknya. Tetapi juga semua yang menghuni bumi. Kabarnya, di India, sudah kerepotan menangani kotoran manusia, tinja. Tidak lama lagi kelangkaan air bersih atau bahkan udara mungkin saja menghantui. Ngeri!
Saya bukannya mengimani film-film Hollywood. Tetapi akan sangat mengerikan jika masa depan bumi seperti yang tergambar dalam film Wall-E. Apakah kita siap menghadapi zaman di mana bumi tak lagi memiliki daratan seperti di film Waterworld? Bagaimana dengan The Day After Tomorrow? Atau seperti film Earth 2100 tentang kehancuran bumi akibat tangan manusia? Ah, saat tiba hari itu aku pasti sudah mati. Kiamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Warung Kopi Kothok