16 Agustus 2013

Mental

Sulit menelusuri apa maksud pernyataan Founding Father, Ir. Soekarno atau Bung Karno, tentang mental tempe. Dulu kita mengamini saja, barangkali karena belum mengenal Twitter. Dari linimasa Twitter saya membaca:

@AndaTahu: Tempe sudah dinobatkan sebagai salah satu makanan paling sehat di dunia oleh WHO

Mungkin saja dulu tempe belum dikenal oleh WHO. Tetapi seandainya dikenal dan dinobatkan pun, belum tentu kita dapatkan beritanya. Bahkan sampai zaman Orde Baru siaran televisi dimonopoli TVRI. Stasiun radio di bawah pengawasan ketat Menteri Penerangan. Ingat Harmoko? Nah. Semua berada di bawah kendali Mr. President Soeharto. Sedangkan jaringan internet waktu itu belum ada. Kalaupun ada sudah pasti penuh dengan banning.

Apa yang berhasil dibangun rezim Orba sampai Mr. President dijuluki Bapak Pembangunan? Oh ya, membangun rasa takut luar biasa kepada rakyat Indonesia. Membangun mental inferior yang menghamba kepada penguasa. Membangun...hush!

Ndak etis, katanya. Biarin! Ngapain dipikirin? Kayak kita dulu dipikirin aja!

Kembali soal tempe.

@kang_anu: Jadi, mental tempe adalah mental paling sehat di dunia.

Berbahagialah orang-orang yang pernah dikata-katai bermental tempe. Orang-orang bermental paling sehat di dunia. Banggalah menjadi Indonesia yang serba tempe. Murah meriah tapi paling sehat di dunia. Hidup bangsa tempe!

Kita sudah mahir dalam bidang fermentasi sebelum barat mengupas apa yang ada di balik fermentasi itu. Baru kini mereka menyimpulkan bahwa tempe, makanan hasil fermentasi ini adalah makanan paling sehat di dunia. Kita jauh lebih maju. Jauh ada di depan.

Sayangnya kita lebih suka mengonsumsi makanan/minuman produk barat yang jauh di belakang kita. Minuman bersoda/berkarbonasi, misalnya. Kurang jelas apa minuman ini berbahaya. Kurang gamblang apa minuman ini tidak sehat.

Di Universitas Delhi India pernah diadakan lomba minum minuman bersoda. Pemenangnya berhasil menghabiskan 8 kaleng, dan tewas di tempat karena terlalu banyak karbondioksida di dalam darahnya.

Minuman bersoda dinamai berkarbonasi karena di dalam airnya dimasukkan karbondioksida. Maka itu disebut proses karbonasi. Padahal yang dibutuhkan darah adalah oksigen untuk dialirkan ke otak. Ketika karbondioksida terlalu banyak mengalir ke otak, gagal dan tamat lah sudah.

Belum selesai berurusan dengan minuman berkarbonasi, sudah mengidolakan junk food. Makanan ini digemari justru oleh kalangan menengah ke atas Indonesia. Padahal secara harafiah junk food berarti makanan rombengan/buangan/dsb. Jadi, itulah selera tingginya Indonesia. Junk food. Sudah tidak perlu saya beberkan lagi apa yang menjadikan junk food benar-benar sebagai makanan rombengan.

Saya sependapat dengan Sujiwo Tejo (@sudjiwotedjo) soal mental ini. Lebih baik bermental tempe ketimbang mental junk food, toh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok