29 Desember 2018

Sinar

ALULA SINAR KINANTI. Panggil saja Sinar.

ALULA dari kata ULA (Bahasa Arab) artinya awal/permulaan, atau sebutlah pertama. Diawali "AL", dalam bahasa Inggris semacam "THE". Jadilah AL-ULA, jika diterjemahkan dalam Bahasa Inggris menjadi "THE BEGINNING", atau "THE FIRST" juga tidak melenceng terlalu jauh.

Kata ULA sama dengan AWAL, bedanya yang pertama isim muannats (perempuan) yang kedua isim mudzakar (laki-laki). Isim muannats pada ULA ditandai dengan alif maqshurah. Ini biar ahli nahwu-shorf saja yang bahas. Saya cuma sok tahu.

SINAR ya sinar. Gleam, ray, nur, dan lain-lain.

KINANTI (kinanthi) adalah satu dari sebelas tembang Macapat. Tembang kinanthi berwatak senang dan penuh kasih. Biasanya digunakan untuk menyampaikan tuntunan, nasihat, dan berisi piwulang.

Jadi, Alula Sinar Kinanti:
Anak pertama ini diharapkan membawa penerang yang menuntun dengan kasih.

18 November 2018

Agama

Suatu pagi, saya melihat seorang ustaz di televisi. Tepat saat sang ustaz kedatangan "pasien". Entah apa keluhan kesehatan si pasien, tapi sang ustaz memberikan diagnosa dan berusaha menolongnya (kalau tak mau disebut mengobati) dengan doa.

Batin saya, ini lama-lama fakultas kedokteran tutup karena sepi peminat.

Saya tidak menonton penuh tayangan Pak Ustaz, hanya bagian itu saja. Mungkin ada yang saya lewatkan, tapi kejadian ini begitu jamak di sekitar kita.

Misalnya, ada pemuka agama yang tanpa dasar keilmuan astronomi dan semacamnya, tapi ahli berkomentar tentang tata surya. Dengan yakin mengatakan bentuk bumi, pusat edar, dan sebagainya.

Atau yang sangat populer, dulu, banyak yang membantah teori evolusi dengan dalil-dalil agama. Sains dibuat tak berdaya di hadapan para agamawan yang ini.

Banyak lagi kejadian lain yang serupa. Membuktikan bahwa ilmu keustazan masih jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Maka, tak heran jika suatu hari fakultas MIPA tutup. Fakultas hukum, tata kota, pertanian, desain komunikiasi visual, ekonomi, sosial, politik dan seterusnya menunggu giliran saja.

Sampai akhirnya kita sadar, agama adalah jawaban atas segala hal. Tak terlalu sulit. Yang penting cocok. Mencarinya juga mudah. Bahkan kita bisa belajar dari youtube, grup WA, googling, selebaran. Apa saja.


Tapi, semoga Ibnu Rusyd tak menangis dalam kuburnya.

10 Oktober 2018

Alfatihah

Dulu, saya butuh satu bulan penuh untuk khatam belajar membaca surat Al-Fatihah. Ya, satu bulan penuh cuma buat belajar membaca surat Al-Fatihah.

Waktu saya remaja, di tempat ngaji ada sesi khusus setiap habis salat subuh, di bulan Ramadan. Pertama ngaji tafsir Quran melalui kitab Al-Ibriz karya Kiai Bisri Mustofa, Ayahanda Gus Mus. Setelah itu disambung belajar membaca Al-Fatihah.

Melafalkan kalimat demi kalimat surat itu sungguh bukan perkara mudah. Lidah harus meliuk-liuk, kadang keserimpet dan menurunkan banyak kadar ketampanan sebab mesti monyong sedemikian rupa.

Maka saya sangat bangga saat khatam, dan cenderung sombong karena merasa lebih fasih dari kebanyakan orang di lingkungan saya.

Kepada kiai sepuh (tua) di kampung, dalam hati saya meremehkan kemampuannya mengucapkan berbagai ayat. "Bukan begitu seharusnya..." dan lain-lain.

Tapi belakangan saya menaruh hormat padanya (kini almarhum). Ia begitu tekun menebarkan kebaikan dengan kemampuan--yang menurut saya waktu itu--terbatas, juga istiqomah menuntun orang sekitar yang kurang paham soal ritual beragama.

Kecakapan berlaku dan berucap mungkin bisa dinilai dengan mudah berdasarkan apa yang tampak dan terdengar, tapi kemuliaan hati siapa yang tahu.

Perlahan-lahan saya belajar menghargai kekurangan orang lain, karena saya juga penuh kekurangan yang ingin dihargai pula.

Jika tidak, mungkin saya akan masih mencerca mereka yang mengucapkan "azan" bukan "adzan". Sebab di situ huruf dzal bukan za'. Apalagi "ajan", sebagaimana banyak orang Indonesia mengucapkannya.

Mengoreksi itu boleh, meluruskan juga tidak dilarang. Justru itu bagus. Tetapi akan sangat baik jika disampaikan tanpa makian, apalagi fitnah. Menyampaikan dengan akhlak yang baik seperti dicontohkan.

Atau sekadar memaklumi kebiasaan umum yang sudah berjalan.

Terlebih lidah kita berbeda dengan lidah orang Arab. Kebisaan melafalkan sebuah huruf saja tak sama. Jangankan orang Saudi Arabia dengan kita yang Indonesia, mereka dengan negara lain yang sama-sama Timur Tengah saja berbeda.

Di Turki, misalnya. Nama orang Arab memakai "Muhammad", di Turki lazim menggunakan "Mehmed". Kalau mau mengembalikan pada ejaan aslinya tidak dilarang. Tapi memang begitulah yang terjadi di berbagai belahan bumi ini. Lidah kita berbeda-beda.

27 September 2018

Dadu

Saya baru saja menonton film terbaru Dian Sastrowardoyo, "Aruna dan Lidahnya". Di bioskop. Bukan download di internet, karena saya tidak punya koneksi sebagus itu buat mengunduh film. Bukan juga copy file dari warnet atau hardisk pinjaman.

Terlebih saya menonton di hari pertama film ini tayang. Kemungkinannya kurang dari 1% film ini sudah beredar di platform lain, apalagi secara ilegal.

Film ini secara garis besar bercerita tentang petualangan 4 orang di 4 kota mencicipi puluhan makanan. Maknyus.

Akting Dian memukau seperti yang sudah-sudah. Penampilannya tetap menawan sebagaimana waktu muda dulu saat bermain di Ada Apa dengan Cinta. Malah, saya hampir lupa bahwa dia adalah ibu dari 2 orang anak. Habisnya, tampak kinyis-kinyis begitu.

Ada beberapa adegan 'malu-malu babi' yang ditampilkan Dian ketika salah tingkah merespons hal berkaitan dengan Faris, yang diperankan Oka Antara. Kelihatan orisinil. Tidak pernah terbayangkan ada akting yang semenggemaskan itu.

Ngomong-ngomong soal tokoh Faris, dia orang yang paling dingin menyikapi makanan. Katanya, makanan hanya ada 2: enak dan tidak enak. Ini khas kita-kita.

Sebetulnya ini topik yang ingin saya bahas. Sebelumnya cuma intermeso.

Menurut Faris, makanan itu ya makanan. Enak dan tidak enak. Sudah. Berbeda dengan tokoh lain yang lebih asyik memaknai makanan.

Kecenderungan Faris ini ada di kita. Suka menarik garis batas untuk menjadi 2 bagian. Satu bagian di satu sisi, sisanya di sisi yang lain. Mutlak begitu. Tidak ada bagian yang lain selain 2 itu.

Kebanyakan dari kita diajarkan konsep surga dan neraka sejak kecil. Kalau tidak mau masuk neraka harus masuk surga. Kalau tidak masuk surga berarti masuk neraka. Tidak ada bagian lain. Misalnya ruang di antara ke duanya, semacam smoking room. Tidak ada.

Konsep polarisasi ini terbawa ke mana-mana. Hal-hal di dunia ini seakan serba biner. Macam sekeping koin: satu sisi benar, sisi lainnya sudah pasti salah. Hanya ada dua kemungkinan saja, dan saling bertolak belakang.

Karena dianggap serba biner, mustahil melihat isi semesta seperti sebuah dadu: satu sisi benar, satu sisi salah, empat sisanya mungkin benar dan mungkin salah. Tapi kita tidak tahu di mana letak sisi yang salah. Kita hanya meyakini mana yang benar tanpa menyalahkan sisi lainnya sebab mengandung kemungkinan kebenaran juga.

Belakangan ini gairah berpolitik kita meningkat pesat, meskipun cuma sebagai politisi amatir. Dan, betapa relijiusnya kita karena berpolitik sambil membawa-bawa konsep surga dan neraka. Berada pada satu sisi koin yang diyakini benar, ke surga, otomatis yang lain salah dan ke neraka. Cilaka.

Sah-sah saja mengimani surga dan neraka. Cuma, kita mungkin lupa bahwa surga dan neraka itu sepenuhnya urusan Tuhan--atau gantilah dengan kata lain yang menggambarkan kekuatan besar di atas ini semua, dan sederhanakanlah menjadi: transenden. Jika demikian, maka surga dan nerakanya pun tidak akan cukup kita (manusia) pahami dengan akal.

Oleh karena surga dan neraka itu ada di 'tangan' yang tak terjangkau oleh manusia, dan merupakan bagian yang transendental tadi, barangkali bagian kita hanya bermain dadu saja. Sebab alam semesta ini terlalu besar untuk dirangkum ke dalam sekeping koin.

23 Februari 2018

Hoaks

Segala hal yang berlabel hoaks patut kita kutuk, kita pepet, kita gencet sampai menceret supaya tidak menodai keluguan anak bangsa yang berbudaya luhur ini. Sejalan dengan cita-cita para pendahulu kita untuk 'memayu hayuning bawana' seperti kata Ki Rangga Warsita.

Eh, tapi, hoaks adalah kita, je. Piye?

Menurut kabar...
---ini kabar burung, tapi entah burung siapa, mungkin burung kakaktua. Maksud saya, sebagai seekor burung, kakaktua juga punya burung-jika kata itu boleh dipakai untuk menyebut kemaluan laki-laki. Katakanlah burung kakaktua punya burung, tapi mungkin ia tak punya kemaluan. Sebab, siapa yang tahu burung kakaktua punya malu?---

Jadi, kabar yang saya dengar, kata "hoaks" sudah masuk ke dalam KBBI edisi V dengan ejaan h-o-a-k-s. Itulah kenapa saya tak menulisnya "hoax". Kadang-kadang saya memang berlagak tertib berbahasa, sampai kerap kali terkesan macam 'grammar nazi'. Di saat yang sama, jika ada di sana-sini tulisan saya tak mengikuti tata bahasa karena khilaf atau apapun, mudah saja saya katakan, "Licentia poetica!" Bak seniman masyhur di seantero negeri.

Kembali soal burung. Maksud saya, soal hoaks yang gemar terbang bersama kabar burung. Kalau kemudian hoaks itu diakui sebagai produk kebudayaan ya silakan saja, kalaupun tidak juga tak mengapa.

Menurut ingatan yang tak seberapa moncer ini, hidup saya dekat sekali dengan hoaks. Sejak dulu sudah begitu dan adem-adem saja, baru sekarang menjadi demikian gaduh. Barangkali sejak politik praktis mengobok-obok tatanan kehidupan kita.

Dulu hoaks bisa saya terima sebagai motivasi, komedi, adat istiadat, jalan diplomasi atau sekadar basa-basi. Misalnya ketika nenek saya bilang: kalau makanan di piring tidak habis maka ayam kita akan mati. Karena itulah dengan terpaksa, dengan tujuan mulia untuk menyelamatkan nyawa ayam-ayam di pekarangan, saya habiskan segala makanan di piring itu sampai butir nasi terakhir sekalipun.

Lalu suatu saat saya melihat rumah potong KFC, sontak saya kesal, "Siapa orang tak berperi-keayaman yang tega menyisakan makanan di piringnya? Sungguh tindakan yang tidak terpuji!" Di sana tak cuma 2-3 ekor saja yang mati, melainkan puluhan ribu per hari.

Atau perkataan kakek tentang gerhana. Katanya, ada raksasa yang hendak memakan bulan. Namun, seorang ksatria tak tinggal diam. Ia tebas leher raksasa itu hingga putus. Maka bulan yang hampir ia telan pun keluar dari lehernya yang sudah tak tersambung dengan badan itu. Lalu bulan muncul lagi. Kadang-kadang raksasa itu juga mencaplok matahari.

Masih banyak lagi yang lainnya. Hal-hal semacam itu memang sudah lama ada di sekitar. Kita dulu tak menanggapi terlalu serius. Cerita-cerita yang sarat kearifan lokal itu akhirnya menjadi bagian dari kehidupan kita. Namun, kini berbeda. Hoaks diproduksi bersamaan dengan provokasi, fitnah, ujaran kebencian, dan sebagainya termasuk hasutan. Tapi kita masih cukup waras untuk dapat menyapih semua itu, 'kan?