23 Februari 2018

Hoaks

Segala hal yang berlabel hoaks patut kita kutuk, kita pepet, kita gencet sampai menceret supaya tidak menodai keluguan anak bangsa yang berbudaya luhur ini. Sejalan dengan cita-cita para pendahulu kita untuk 'memayu hayuning bawana' seperti kata Ki Rangga Warsita.

Eh, tapi, hoaks adalah kita, je. Piye?

Menurut kabar...
---ini kabar burung, tapi entah burung siapa, mungkin burung kakaktua. Maksud saya, sebagai seekor burung, kakaktua juga punya burung-jika kata itu boleh dipakai untuk menyebut kemaluan laki-laki. Katakanlah burung kakaktua punya burung, tapi mungkin ia tak punya kemaluan. Sebab, siapa yang tahu burung kakaktua punya malu?---

Jadi, kabar yang saya dengar, kata "hoaks" sudah masuk ke dalam KBBI edisi V dengan ejaan h-o-a-k-s. Itulah kenapa saya tak menulisnya "hoax". Kadang-kadang saya memang berlagak tertib berbahasa, sampai kerap kali terkesan macam 'grammar nazi'. Di saat yang sama, jika ada di sana-sini tulisan saya tak mengikuti tata bahasa karena khilaf atau apapun, mudah saja saya katakan, "Licentia poetica!" Bak seniman masyhur di seantero negeri.

Kembali soal burung. Maksud saya, soal hoaks yang gemar terbang bersama kabar burung. Kalau kemudian hoaks itu diakui sebagai produk kebudayaan ya silakan saja, kalaupun tidak juga tak mengapa.

Menurut ingatan yang tak seberapa moncer ini, hidup saya dekat sekali dengan hoaks. Sejak dulu sudah begitu dan adem-adem saja, baru sekarang menjadi demikian gaduh. Barangkali sejak politik praktis mengobok-obok tatanan kehidupan kita.

Dulu hoaks bisa saya terima sebagai motivasi, komedi, adat istiadat, jalan diplomasi atau sekadar basa-basi. Misalnya ketika nenek saya bilang: kalau makanan di piring tidak habis maka ayam kita akan mati. Karena itulah dengan terpaksa, dengan tujuan mulia untuk menyelamatkan nyawa ayam-ayam di pekarangan, saya habiskan segala makanan di piring itu sampai butir nasi terakhir sekalipun.

Lalu suatu saat saya melihat rumah potong KFC, sontak saya kesal, "Siapa orang tak berperi-keayaman yang tega menyisakan makanan di piringnya? Sungguh tindakan yang tidak terpuji!" Di sana tak cuma 2-3 ekor saja yang mati, melainkan puluhan ribu per hari.

Atau perkataan kakek tentang gerhana. Katanya, ada raksasa yang hendak memakan bulan. Namun, seorang ksatria tak tinggal diam. Ia tebas leher raksasa itu hingga putus. Maka bulan yang hampir ia telan pun keluar dari lehernya yang sudah tak tersambung dengan badan itu. Lalu bulan muncul lagi. Kadang-kadang raksasa itu juga mencaplok matahari.

Masih banyak lagi yang lainnya. Hal-hal semacam itu memang sudah lama ada di sekitar. Kita dulu tak menanggapi terlalu serius. Cerita-cerita yang sarat kearifan lokal itu akhirnya menjadi bagian dari kehidupan kita. Namun, kini berbeda. Hoaks diproduksi bersamaan dengan provokasi, fitnah, ujaran kebencian, dan sebagainya termasuk hasutan. Tapi kita masih cukup waras untuk dapat menyapih semua itu, 'kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok