24 Desember 2015

Maulid

Selamat memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang menurut kalender matahari tepat hari ini (24-Des-15). Di kalender yang sama, besok (25-Des-15) diperingati sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Bagi yang tidak percaya ya sudah, tak usah dijadikan masalah. Keyakinan haruslah menjadi domain pribadi. Kata siapa? Kata saya barusan.

Dengan begitu pada tataran tertentu seseorang mesti tak mudah mengurusi ibadah orang lain. Dia yakin sembahyang harus begitu-begini, di orang lain bisa meyakini caranya sendiri. Tuhan tak menunjuk satupun dari kita menjadi tim penyeleksi penghuni surga. Jadi, sudahlah, ya akhi wa ukhti.

“Saya sudah selesai pada hal-hal seremonial!” Seorang kawan terbahak-bahak mendengar ini.

Betapa menyedihkan kita sekalian. Hidup di tengah masyarakat yang religius tapi penuh kutukan. Mengucapkan selamat pada orang beda keyakinan saja didosa-dosakan. Seolah yang lain haram masuk surga. Nanti kalau surga sepi bagaimana? Sampeyan mau sendirian di sana? Yakin takkan bosan?

Mudah-mudahan ada yang sempat menulis buku “Di Surga Sendirian”.

Dipikir enak apa di surga sendirian? Enak? Saya juga belum pernah ke sana. Tapi kata banyak cerdik cendikia, orang cenderung tak betah berlama-lama di satu posisi. Kita mudah jenuh, maka perlu variasi. Kadang di bawah tak apa, tapi kalau bisa ya di atas terus saja. Jadi bayangkan saja sudah sendirian, di situ-situ melulu, seperti apa rasanya?

Sebagai contoh, misalnya khittah Jogja adalah kota berhati mantan nyaman. Misalnya saja. Kota di mana bertahta setangkup haru dalam rindu. Muara segala kenangan. Tapi coba sampeyan tinggal sebulan saja di Jogja sendirian. Enak? Coba itu tanya ke anak-anak kosan yang saban akhir pekan kebelet pulang ke kampung halaman lantaran ditinggal kawan-kawannya keluar kota. Merana.

Oh ya, menambahkan sedikit. Dibandingkan Senayan, Jogja jauh lebih baik dalam hal mencetak mafia. Mafia Pathok.

Memang terlalu jauh jika membandingkan surga dengan Jogja. Analogi sekenanya. Berbeda pula antara Maulid dengan Natal, setidaknya ditilik dari sudut pandang keyakinan yang berkepentingan. Yang satu dihitung berdasarkan penanggalan bulan-qomariyah, yang lain berdasarkan penanggalan matahari-syamsiyah. Yang satu dipercaya sebagai hari kelahiran nabi akhir zaman, yang lain dipercaya sebagai hari lahir sang juru selamat. Kalaupun tak dipercaya secara akurat terhadap penunjukan tanggal, paling tidak diperingati. Tapi bukan di situ masalahnya, melainkan obsesi terhadap kebenaran dari yang lainnya-yang berbeda.

Padahal, kebenaran hanya ada di langit, meminjam kata-kata Soe Hok Gie.

Kita sudah terlanjur dilahirkan berbeda-beda. Sampeyan pesek, yang lainnya mancung. Sampeyan keriting, yang lain lurus. Sampeyan yakin sampeyan ganteng atau cantik, yang lain tak yakin. Tapi kita selalu punya kesamaan untuk menyatukan barisan. (Bahasamu, Kang!) Kita punya cinta yang sama untuk membangun rumah tangga merawat semesta.

Akhiru kalam, siapapun yang diyakini lahir 12 Rabiul Awal, dan juga yang diperingati 25 Desember sebagai hari lahirnya, salamun yauma walid!

12 Desember 2015

Hujan

Postingan di bulan Desember begini mestinya panjang lebar. Mengingat ada sebelas bulan berlalu yang patut dievaluasi. Barulah dapat diperas menjadi sebuah atau dua buah atau lebih resolusi. Resolusi mental.

Sebelum melanjutkan mari dengar lagu Efek Rumah Kaca ini, "Sehabis hujan di bulan Desember..."

(Itu baca, bukan dengar!)

Bulan yang basah, kanan (right)? Sebasah korporasi-besar-pengeksploitasi-alam-Papua bagi pejabat yang gajinya dibiayai pembayar pajak itu. Karena di lahan basah maka ia minta jatah. Main air.

Apakah drama politik di negeri ini tak lebih melelahkan ketimbang sinetron atau FTV? Saya tanya. Politisi kita (kita?) memang punya rasa humor yang baik. Sekarang, apa kita sudah boleh menjadi golput?

APBN kita banyak dihamburkan untuk perkara yang sia-sia. Termasuk di antaranya untuk membiayai perbaikan aspal yang rusak akibat terbentur kepala pengendara motor tak pakai helm. Sayang.

Desember bukan akhir. Ia meneteskan air yang menghidupi hari-hari berikutnya. Ada kawan yang bergembira sebab rumput tak lagi langka. Pakan sapinya kini berlimpah. Dan, hujan di bulan Desember akan terus menyirami tunas-tunas lainnya.

Akhir tahun ini, menyambut tahun yang baru, saya akan melihat bajaj lagi. Di Jakarta, kota yang sumpek itu. Ya. Still not real sure what I am going to do. Tapi, siapa tahu ini menumbuhkan tunas baru. Menghidupi hari-hari berikutnya. Ya.

18 November 2015

Adil

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bunyi sila ke 5, betul? Semoga belum diubah (bukan dirubah. Rubah itu binatang. Paham ora, son?).

Begitu penting sebuah keadilan sampai harus dirumuskan, ditemukan formulanya, hingga disidangkan untuk diuji dan diputuskan. Tempat itu bernama pengadilan.

Di negeri ini produk pengadilan haruslah disebut keadilan. Apakah itu Antasari Azhar yang diputus bersalah atas kasus yang entah, apakah itu nenek Asyani yang divonis penjara atas dakwaan mencuri, apakah itu gugatan warga Kendeng yang menang di PTUN (pabrik semen-Pati), bla-bla-bla.

Sampeyan boleh tak setuju tapi itulah aturannya. Jika tak puas dengan putusan pengadilan naikkan saja-sampai ke Mahkamah Agung, misalnya. Setiap warga negara punya hak mencari keadilan. Itu bukan sekadar pemikiran medioker, Mblo! Itu mendasar!

Beberapa hari ini media sosial diramaikan komentar para cerdik cendekia. Tak cuma ramai, malah, cenderung gaduh. Soal serangan Paris. Saya juga kaget ternyata di sekitar sini banyak pakar dan analis handal. Analis pakai “is”, please!

Tak henti-henti orang mengangsurkan teori konspirasi. Menarik-narik yang jauh supaya Amerika, Yahudi, Zionis, dan anteknya bisa ditunjuk hidungnya. Dengan teori (iya teori) ini ada juga yang mengajari saya tentang apa sebenarnya di balik serangan Paris itu. Terima kasih lho, Mbak, atas pencerahannya. Uhuk!

Mbak, jangan dengarkan kalau ada yang bilang, “Teori konspirasi memang indah dibaca, menyenangkan buat yang malas berpikir.”

Juga hiraukan saja jika ada yang berpendapat bahwa munculnya teori konspirasi karena (1) paranoia laten, (2) kehilangan akal pahami kompleksitas kenyataan, (3) pikiran orang lagi terpojok.

Siapa yang mengeluarkan pernyataan di atas? Tidak perlu saya jelakan ya. Mbak kan cerdik lagi cendekia. Di atas itu pernyataan intelektual mumpuni negeri ini kok, pasti Mbak tahu. Blah!

Dalam Quran, surat Al Maidah, ayat 8, Allah memerintahkan, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil!”

Para penganut teori konspirasi pastilah tidak benci pada Amerika, Zionis, Yahudi, dan anteknya. Dan pastilah tudingan dalam teori itu bukan suatu laku tak adil. Saya yakin mereka umat yang taat. Masyaallah.

Mereka ini kebanyakan juga yang menuntut keadilan perhatian. Jangan cuma Paris yang diperhatikan, tapi juga Palestina, Suriah, Lebanon. Saya mengerti perasaan mereka. Sebab mereka tentu telah memperhatikan semuanya. Pengusiran warga Syiah di Madura, warga Ahmadiyah Bogor yang diserang, gereja di Aceh yang dibakar, semuanya sudah diperhatikan. Tak ada yang luput oleh mereka. Termasuk Aksi Kamisan.

Aksi Kamisan. Sampeyan sekalian, para cerdik cendekia, tentu saja tahu mengenai demo hening ini. Dilakukan oleh keluarga dan simpatisan korban kekerasan Orde Baru seperti pembantaian massal 1965/1966, penghilangan paksa beberapa mahasiswa 1997/1998, pembunuhan Munir Said Thalib 2001, juga aksi solidaritas untuk kelompok minoritas.

Biasanya mereka mengenakan pakaian hitam dan payung hitam, berdiri di depan istana negara, mematung begitu saja. Aksi ini dilakukan tiap Kamis, sejak 2007 sampai sekarang, secara konsisten dan damai.

Band Efek Rumah Kaca sampai membuat lagu tentang aksi ini, berjudul Hilang.

Tetapi baru-baru ini ada pengusiran oleh aparat kepada peserta Aksi Kamisan di depan istana negara. Apakah negara anti kritik? Apakah demonstrasi damai dilarang?

Kabarnya, dalam UU No. 9 tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, terdapat larangan aksi unjuk rasa di sepanjang 100 meter dari objek vital termasuk Istana Negara. Sebagai gantinya, aparat mempersilakan peserta Aksi Kamisan pindah ke tempat lain dengan jarak 200 meter dari istana. Apakah cukup adil? Tidak bagi mereka.

Kadang saya sampai pada lamunan nakal. Orang yang merasa tertindas harus selalu (menjadi) benar meski melanggar undang-undang dan turunannya? Atau lebih buruk lagi, menuntut keadilan dengan cara yang tak adil.

Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis yang lahir di Blora (saya juga), pernah berpesan pada kaum terpelajar untuk adil sejak dalam pikiran. So what? What-thukmu sempal kui! *nyebut*

15 November 2015

Paris

"When your feet danced with such intense anger, Paris! When you knew so many cuts of the knife…" Tulis Arthur Rimbaud.

Kabarnya kekerasan di Paris sudah dimulai sejak lama. Jauh sebelum radikalis umat agama masuk ke Perancis. Jauh sebelum serangan 13 November 2015 terjadi, yang akhirnya ISIS mengklaim itu sebagai ulahnya.

Tak mengejutkan tapi menyesakkan tahu bahwa ada saja orang yang bersuka cita atas tragedi itu. Bagaimana mungkin manusia bersorak gembira menyaksikan tragedi kemanusiaan yang demikian keji?

Bahwa ada tragedi yang lebih keji dari itu, ya, kita seharusnya tak abai pada kemanusiaan di manapun tempatnya. Lebanon, Suriah, Palestina, semuanya. Tapi kekejian di satu tempat tak lantas dapat dimaklumi ketika ada kekejian di tempat lain yang lebih menjijikkan.

ISIS mengklaim serangan Paris. Banyak umat Islam yang kemudian menyangkal ISIS sebagai bagian dari Islam. Meskipun semua tahu bahwa pengikut ISIS mengucap syahadat, solat 5 waktu, dan seterusnya. Bahkan legitimasi kekerasan mereka adalah teks Quran yang sama, seperti biasa.

Cara paling mudah bagi seorang muslim-non-simpatisan-ISIS untuk cuci tangan adalah dengan mengangsurkan teori konspirasi. Amerika, Yahudi, Zionis, dan kawan-kawannya dicatut. Ada juga yang melekatkan asal-usul ISIS pada syiah atau wahabi. Jujur saja menanggapi cara pikir ini cukup melelahkan.

Namun ada juga muslim yang menganggap ISIS merupakan penyakit Islam. Artinya ISIS diakui berangkat dari Islam, yang harus disembuhkan atau lebih jauh lagi-malah diamputasi.

Seperti saya tulis di atas, ISIS memenuhi kriteria dasar untuk dapat disebut Islam. Bahkan segala tindakannya benar-benar didasarkan pada ayat Quran.

Ya, harus diakui terdapat banyak skrip dalam kitab suci itu yang bisa ditafsirkan sedemikian rupa untuk mendukung aksi teror. Meski banyak muslim memilih menafsirkan dengan cara lain. Memang corak penafsiran Islam beragam.

Tapi apapun agamanya, siapapun penafsirnya, kita wajib menentang kekerasan bagaimanapun bentuknya. Teror adalah musuh bagi kemanusiaan.

"Imagine all the people living life in peace..." Nyanyi John Lennon dalam Imagine.

06 Oktober 2015

Hakikat

Semakin berusaha mencari makna, semakin mudah kehilangan rasa. Saya tak hendak bicara mecin. Kecuali kalau ada yang berminat meng-endorse. Tak apalah jadi buzzer, yang penting harganya cocok.

Sudah puluhan kali membaca karya Putu Wijaya, bukunya “Klop” terutama. Salah satu isinya bercerita tentang setan yang mengeluh. Iri pada manusia. 

“Mengapa kalau manusia mau menjadi setan kok gampang amat. Asal mau, kapan dan di mana saja, jreng-jreng-jreng jadi. Kalau tidak bisa, banyak gurunya. Bahkan, otodidak saja sudah bisa. Cukup dengan niat, dengan melakukan secuil kejahatan, manusia sudah otomatis menjadi setan. Paling sedikit disebut ‘setan’. Tetapi sebaliknya, mengapa kami, para setan, untuk bisa jadi manusia kok alot men. Edan!”

Dulu sederhana saja untuk menikmati sepenggal gugatan setan itu. Tak butuh alasan atau deskripsi musabab yang harus dapat diterima. Tapi kini menjadi sulit sebab berupaya menelusuri hakikatnya. 

Ada lagu bagus dari Float, berjudul Sementara. Bercerita tentang seseorang yang berbicara dengan hatinya sendiri. Begitu intim. Macam Bima dengan Dewa Ruci. Tapi itupun kesimpulan yang saya ambil belakangan. Orang lain boleh punya pendapat yang berbeda. 

Mulanya, beberapa tahun lalu, saya sekedar menikmati lagu itu. Pola liriknya yang tak saya mengerti tak menjadi persoalan. Bahkan mungkin karena itu saya mudah suka. Lama-lama saya cari maknanya. Menerjemahkan ke dalam bahasa yang dapat saya terima. Perlahan-lahan Sementara jadi membosankan. 

Barangkali menikmati lagu tak harus dengan mencari tahu. Apakah diiringi paduan nada di skala pentatonik, menggunakan distorsi yang keluar dari pick-up tunggal, dibelokkan oleh teknik bending, vibra, atau termolo. Mungkin itu tak perlu.

Dalam tradisi Ibrahimi, 3 agama besar samawi (yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam) saling berpaut tapi jelas dipisahkan oleh jarak-iman. Kitab-kitabnya (Zabur “Mazmur”, Taurat “Perjanjian Lama”, Injil “Perjanjian Baru”, dan Quran) secara konsisten dan berurutan diperbarui berdasarkan konteks zaman tetapi disangkal kemudian.

Isa AS/Yesus, misalnya, yang mengkritik kekakuan cara pandang kaum Yahudi-Farisi (pengikut Musa AS), di kemudian hari ‘memperbaiki’ teks lama-yang sudah ada. Cerita yang dikisahkan dalam kitab pendahulunya pun diadopsi, tapi selanjutnya dipertentangkan. Begitu seterusnya sampai pada Quran.

Kabarnya kaum Yahudi-Farisi, pengikut Musa AS, yang dikritik oleh Isa AS/Yesus kini ‘menjelma’ menjadi bigotry. Kabarnya.

Taklid buta dituding menjadi penyebab utama. Meniru paham tanpa mengetahui dasar, hukum, bukti, atau alasan. Itu biasa terjadi di kalangan awam. Tak berlaku pada orang-orang yang telah mempelajari sisik meliknya. Pada mereka lebih soal penggunaan teks yang mengabaikan konteks.

Tak mengherankan bila kemudian ada yang menentang dengan pendapat perlunya logika dalam beragama. Karena sejatinya manusia adalah hewan yang berakal, al insanu hayawan nathiq. Tanpa akal manusia adalah hewan.

Namun merayakan akal budi bukan tanpa resiko. Pada batas tertentu mudah membuat manusia tergelincir menuhankan daya pikir.

Dari situ ada orang-orang yang menikmati iman dalam kerangka rasa. Bukan berarti meninggalkan hakikat dan makna. Karena rasa menyertai kemanusiaan pada dasarnya. Dan agama harus kembali untuk kemanusiaan pada akhrinya.

Saya mengamini pendapat, seharusnya kita tak mengukur kualitas agama seseorang berdasarkan caranya beribadah, melainkan caranya memperlakukan sesama. Begitu kira-kira.

Mohon maaf melipirnya cukup jauh. IYKWIM.

12 September 2015

Panggung

Setelah melakukan penyelidikan singkat dan dangkal, saya mulai punya dugaan tentang apa yang terjadi pada orang kita akhir-akhir ini. Mengapa begitu-begini.

Lho, memangnya gimana? Nganu, pokoknya gitu.

Jadi, menurut penerawangan saya, kini orang-orang dengan literatur payah punya ruang-terlebih panggung-demikian luas. Dulu yang punya panggung luas adalah orang dengan daftar bacaan yang tak cukup jika dikumpulkan di perpustakaan kota. Kini tak lagi.

Ambillah contoh Goenawan Mohamad yang rutin mengisi Catatan Pinggir di Majalah Tempo. Atau Prie GS yang menulis esai untuk koran Suara Merdeka tiap pekan. Juga Putu Setia (sekarang Mpu Jaya Prema), AS Laksana, dan seterusnya.

Nama-nama di atas itu tak perlu diragukan lagi kepustakaannya. Maka tulisan mereka kerap muncul di pelbagai media massa. Tapi sekarang beda. Orang lebih mudah naik ke atas panggung. Tak peduli panggung dangdut atau campursari, yang penting digoyang.

Maksud saya, orang makin mudah mendapatkan tempat untuk 'beraksi'.

Bukan karena syarat naik pentas itu kini jadi gampang, melainkan keberadaan panggungnya yang kian bertebaran. Kalau dulu panggungnya hanya di media cetak, layar tivi, radio, dan sebangsanya yang amat terbatas, hari ini ada media online.

Di media online kita mudah saja berkhutbah. Tidak semua pemirsa kritis pada materi kita. Malah banyak yang akan percaya. Tak penting dasar ilmu kita dari mana. Tak ada yang tanya juga kita sudah membaca buku apa saja.

Di samping itu panggung konvensional yang dulu hanya dikuasai cendekiawan, sekarang juga diramaikan sembarang orang dalam versi indie.

Singkatnya, hari ini kita sedang menghadapi lalu lintas pendapat yang padat dan runyam.

Sebenarnya cukup mudah bagaimana memilih pendapat yang paling patut dipertimbangkan-yang selanjutnya untuk ditafsirkan. Yaitu dari mereka yang literaturnya kaya. Jika bicara tentang agama, misalnya, paling tidak ia telah membaca selain kitab-kitab klasik tapi juga kitab kontemporer.

Namun saya percaya 'mengimani' sebuah pendapat bisa jadi serupa pengalaman spiritual; menerima ilham-bahkan wahyu. Yang menadah dengan gentar, gemetar, terguncang, dan terpesona. Tak ada kata-kata.

"The individual pinch of destiny", dalam kata-kata William James.

07 September 2015

Ustadz

Alhamdulillah...” saya membuka ceramah. “Alhamdulillahilladzi adzhaba anil adza wa affani.” Para tamu khidmat menyimak.

Panitia tampak semringah, puas melihat pembicara yang diundangnya terdengar ‘berat’.

Saya menyambung, “Itu tadi doa yang biasa saya ucapkan setelah buang air.”

Panitia terhenyak. Hadirin riuh kecil. Barangkali merasa terkecoh.

Banyak hal di dunia ini yang tak seperti kita kira. Saya pernah membaca judul berita begini, “Hak Pekerja Dikurangi Karena Harga Dolar Tinggi”. Di situ kita mudah menyimpulkan bahwa ada pelanggaran. Ada hak yang tidak diberikan. Setelah saya baca isi beritanya, ternyata dugaan saya salah. Bukan hak yang dikurangi, tapi lemburannya.

Apakah jika pengusaha mengurangi jam lembur pekerja itu sama dengan mengurangi haknya? Apakah ada yang dilanggar pengusaha? Tidak. Tapi jika pekerja sudah melakukan lembur sesuai perintah pengusaha, namun pekerja tidak dibayar atas lemburnya, itu baru pelanggaran. 

Ada contoh pengurangan hak pekerja yang lebih pas. Misalnya seperti cuti tahunan yang 12 hari per tahun, hanya diberikan 10 hari. Itu baru “hak pekerja dikurangi”. 

Pernah juga membaca judul berita, “Kuota Impor Dibatasi Mengakibatkan Harga Sapi Naik”. Ada yang salah? Tidak ada, sampai sampean sadar bahwa kuota adalah batas itu sendiri. Menurut KBBI, kuota adalah jatah. Di mana ada jatah berarti terdapat batas. Pada kalimat “kuota dibatasi”, di situ ada pemborosan kata. Mubadzir. 

Lalu bolehlah kini kita mulai kritis pada pemberitaan media. Tak cuma redaksinya, terlebih soal isinya. Ternyata jurnalis juga manusia-yang katanya tempat salah dan lupa. Al insanu machalul khotho’ wa nisyan

Memang, mungkin saja ada banyak hal yang tak seperti kita kira. Sepuluh tahun lalu siapa yang mengira Teuku Wisnu bakal menjadi ustadz? Tapi sekarang, alhamdulillah, belionya sudah mantab hati berdakwah. Ana tak faham apa alasannya, tapi kehendak baik saja sudah harus dihitung sebagai perbuatan mulia. Apalagi amalnya yang mencerahkan anta sekalian, ya Akhi wa Ukhti. 

Tak penting menelusuri sanad keilmuan yang bersangkutan, belio sudah belajar apa saja, dan sebagainya itu tidak perlu. Merepotkan. Zaman sudah demikian maju, tinggal ketik kata kunci di mesin pencari, Mbah Google bisa menjadi sumber ilmu yang siap disyiarkan. Menjadi dai instan itu mudah. 

Kata ‘ustadz’ sebenarnya jarang digunakan, setidaknya di lingkungan saya. Tradisi kami menyebut guru-mengaji sebagai kyai. Yang berceramah di panggung pengajian itu kami sebut mubaligh. 

Kami dulu hanyalah santri kuno. Belajar ilmu Islam melalui kitab-kitab yang buluk warnanya. Maka banyak yang menyebut itu kitab kuning. Barangkali karena saking buramnya kertas yang digunakan. Untuk membacanya pun repot. Beruntung kalau ada kitab yang sudah berharakat. Jika tidak santri harus menguasai ilmu alat; nahwu & sorof. Karena tidak beraharakat itulah orang menamainya kitab gundul. Macam tak punya rambut (harakat). 

Yang awal dipelajari sebut saja kitab Ta’limul Muta’alim, Sulam Safinah-Sulamuttaufiq, Akhlaqul Banin, Mabadi’ul Fiqhiyah, dan yang sangat terkenal adalah kitab Al-Ibriz; karya Mbah Bisri Mustafa, kyai Rembang. Al-Ibriz berisi Quran beserta tafsirnya yang tentu saja dalam huruf pegon. Pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa. Jangan harap ada huruf latin di sana. 

Bagaimana dengan ilmu alat-nahwu & sorof tadi? Itu seharusnya mendasar bagi mereka yang ingin memahami Quran. Betapa berbahayanya mereka yang menerjemahkan dalil dengan serampangan, tanpa bekal yang cukup, tanpa pemahaman pada ilmu alat. Lalu dengan mudah menyalahkan, mendosakan, mengkafirkan, mengharamkan. Padahal itu cuma habis baca Quran terjemahan dalam bahasa Indonesia. 

Abdullah Darraz berkata, fa kana hadzqu al-lughah al’arabiyyah ruknan min arkan al-ijtihad, mengetahui lika-liku bahasa Arab adalah persyaratan awal menjadi mujtahid. Tak mungkin seseorang bisa memaknai apalagi menafsirkan al-Qur’an jika yang bersangkutan tak menguasai gramatika bahasa Arab. 

Tapi ustadz Teuku Wisnu tentulah seorang mujtahid yang mumpuni. Maka ketika ia menghukumi sesuatu patutlah kita dengarkan. Termasuk di antaranya hukum mengirim Al-Fatihah yang belakangan ramai di media. 

Saya masih ingat salah satu kitab syi’iran dibuka dengan begini. Alala tanalul ilma illa bi sittatin, ilmu tidak akan menghasilkan kecuali adanya 6 perkara. Dzukain wachirshin washthibari wabulghotin wairsyadi ustadzhi wathuli zamani, yaitu cerdas, semangat, sabar, ada biaya, petunjuk guru, dan waktu yang lama. Akan panjang kalau bicara tentang ini. Tapi kira-kira maksud saya begini. Ustadz Teuku Wisnu tentu telah melewati 6 perkara itu untuk sampai pada ‘menghukumi’. Subhanallah.

***

Suatu ketika saya mengganggu kawan dengan pertanyaan, “Apakah Quran itu kitab?” 

Sampean boleh ikut mencari jawabannya. Itu pertanyaan dari santri bodoh dan gagal macam saya. Tapi kenapa Quran itu disebut kitab/tidak kitab? 

Kita tarik mundur (sedikit saja) menggunakan ilmu alat. Jika kitab berasal dari kata ‘kataba’ yang berarti menulis, lalu kitab diartikan sebagai tulisan, apakah Quran bisa disebut kitab? Sementara penerima wahyu itu ummi, tidak membaca dan menulis. Mudeng? Puyeng? 

Nabi Muhammad adalah penerima wahyu Quran. Nabi Muhammad tidak membaca dan menulis. Lalu bagaimana Quran bisa disebut kitab (tulisan)? 

Masih ndak ngeh? Mari minta petunjuk pada junjungan kita Ustadz Teuku Wisnu yang mulia.

02 September 2015

Lahir

Kemarin saya ulang tahun. Ya memang setiap hari juga mengulang tahun lalu. Tapi ulang tahun di sini maksudnya mengulang hari kelahiran di tahun yang berbeda. Kalau sampean tidak paham tolong jangan paksa pikiran. Ini perkara sepele. Jangan sampai stres lantaran baca postingan yang aduhai.

Konon kata ulang tahun ini terjemahan dari bahasa Inggris yaitu birthday. Lalu bagaimana kata birthday bisa menjadi ulang tahun? Kenapa bukan hari kelahiran? Pertanyaan serupa yang ingin saya ajukan, kenapa AC (Air Conditioner) diterjemahkan menjadi pendingin ruangan? Kenapa bukan pengondisi udara? Mungkin karena kurang catchy. Catchy Perry.

Sekali lagi jangan sampai stres baca postingan yang aduhai.

Di hari ulang tahun ini saya mendapat kejutan kecil tapi cukup pedih. Lha iya pedih wong disiram air-airan. Tak cuma air rawa yang diolah ala kadarnya sehingga menyerupai teh campur Milo. Lho. Tapi juga air deterjen, sabun, kopi, minyak zaitun, juga Popmie. Bahkan setelah saya usut ada juga yang menyiram dengan air tape. Ini saya mau difermentasi apa?

Kenapa saya tak lari atau melawan? Pertanyaan cerdas. Jawabannya, saya diborgol di tiang. Cadas. Mainan kawan-kawan sejawat ini sungguh pedas.

Tak cukup sampai di situ. Saya difoto menggunakan HP saya, kemudian diunggah ke hampir semua media sosial saya. Meski tak pakai Camera 360, untung saja pose dan cahayanya tak buruk-buruk amat. Di situ saya berharap masih ada perempuan yang terpikat. Ya antara terpikat atau iba melihat kondisi yang demikian hina.

Ada hikmahnya juga ‘dikerjai’ kawan-kawan ini. Banyak orang yang akhirnya berbasa-basi mengucapkan selamat. Dan doanya masih di seputar jodoh. Soal ini seharusnya tak usah dibicarakan. Sebab sudah banyak yang antre. Antre Taulani.

Apapun itu, sudah selayaknya saya ucapkan terima kasih pada mereka, pada sampean, dan terutama pada calon mertua yang telah melahirkan bidadari yang begitu indah itu. Itu lho yang berdiri di belakang. Kamu. Iya, kamu.

Apa? Ulang tahun ke berapa? Masih sama seperti tahun lalu. Tapi akan saya jawab menggunakan gaya junjungan kita Vicky Prasetyo, ‘seven teen my age yah’.

17 Agustus 2015

Merdeka

Orang Indonesia sedang bergembira, kecuali yang tidak. Atau paling sedikit pura-pura bersuka cita. Mengadakan lelombaan tahunan. Makan kerupuk, balap karung, sampai panjat pinang juga tak ketinggalan. Saya takkan membelokkan kata pinang ke pelaminan. Jadi jomblo di sini tenang saja.

Tetangga saya sedang giat-giatnya mengasah kemampuan vokal. Menyambut HUT RI, katanya. Walau tak sumbang tapi gagal juga disebut merdu.

"Enam belas Agustus tahun empat lima..."

Lho, lho, lho! Saya interupsi kekhidmatannya dalam bernyanyi.

Namun segera dilanjutkan, "... Besoknya hari kemerdekaan kita!"

Saya terkekeh. Dasar manusia gembira. Ia benar-benar merdeka. Merdeka memilih bergembira dengan cara apa.

Itu kejadian kemarin. Hari ini puncaknya. Upacara peringatan HUT RI ke 70 dilaksanakan serentak se-Indonesia, sepertinya. Saya belum dengar kabar ada perbedaan penentuan hari kemerdekaan. Mungkin saja hasil rukyat dan hisab sama.

Sang merah-putihpun berkibar di angkasa raya. Wuih. Meski tak semua melakukan penghormatan, termasuk JK. Bukan tak menghormati, hanya tak mengikuti penghormatan cara militer. Untuk sipil cukup dengan berdiri saat bendera dikerek. Jokowi melakukan sikap hormat sebab ia berlaku sebagai inspektur upacara. Begitu katanya.

Jauh dari sana, di Indonesia bagian kurang perhatian, malah ada yang mengharamkan penghormatan bendera. Saya tak menaruh syak wasangka, tapi sedikit curiga tak lama lagi para cerdik cendikia mengangsurkan wacana ihwal upacara syariah. Entah.

Bisa saja dengan begini. Pemimpin upacara haruslah imam yang, pertama-tama, seorang mukalaf. Mukalaf berarti baligh dan berakal sehat. Yang akalnya tipus bisa langsung dicoret dari daftar kandidat. Kedua, bacaannya mesti tartil. Di situ ia wajib fasih menggunakan langgam Arab, atau kalau melenceng paling pol langgam Mesir. Langgam lain jangan. Ketiga, ketiga kita tanyakan pada para cerdik cendikia saja. Lalu sebelum digunakan, pastikan dilakukan sertifikasi. Setelah dinyatakan halal barulah digelar. Wahai.

Itu tak perlu menjadi perdebatan. Kita masih punya banyak bahan untuk dipertentangkan. Perihal berapa tahun kita dijajah, misalnya. Atau, apakah benar kita mengusir Belanda dan Jepang menggunakan bambu runcing.

Kurang? Tenang, masih ada debat haram tidaknya mengucapkan selamat Natal, memperingati tahun baru masehi, hari valentin, mempertanyakan kepahlawanan Kartini, bla-bla-bla. Banyaklah pokoknya.

Itu karena kita merdeka. Bicara saja sampai mulut berbusa. Bahkan kita juga merdeka berpendapat bahwa kita belum merdeka. Belum merdeka karena korupsi di mana-mana. Belum merdeka karena jalan depan rumah sampean belum diaspal. Belum merdeka karena hutang tak lunas tujuh turunan. Merdekalah untuk tak merdeka.

@wilsonsitorus: Lambat-laun, merdeka menjadi kata kerja yg rumit, meski awalnya simpel sahaja

Wahai, Tuan, tafsir kemerdekaan kini macam-macam. Tapi tolong jangan buru-buru mencap kafir atau sesat pada sekte yang meyakini kemerdekaan dengan berbeda. Juga menahan diri untuk tak tergesa mereduksi makna merdeka.

Dahulu Bung Karno dengan mantap hati memproklamasikan kemerdekaan RI. Syarat negara ada 3; wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, dan seterusnya itu tugas negara (yang merdeka tentu saja) kemudian. Tugas kita semua.

Tapi sudahlah saya ikut apa kata orang saja. Dari pada sembarangan menafsirkan malah salah kaprah. Lebih baik menunggu fatwa para cerdik cendikia. Sembari piknik santai, menikmati kopi, dan menyaksikan pawai MOGE yang mulia.

17 Juli 2015

Kurusan

Ini lebaran ke-4 saya jauh dari rumah. Rumah sungguhan. Meski minggu lalu masih tidur di sana. Sendirian. Sebab belum bertangga. Bukan tangga sungguhan.

Saya takkan mengangsurkan perdebatan ihwal penetapan 1 Syawal seperti orang ramai bicarakan. Apalah kapasitas saya. Tak elok memperkeruh suasana.

Orang-orang lain berkumpul dengan keluarga di tanah kelahirannya. Atau moyangnya. Yang dari jauh datang, pulang ke asal. Tapi begitu dekat lahirnya, menjauh jiwanya bersama perangkat canggih atau telepon pintar menuju ruang maya.

Tak cuma muslim, yang lainpun demikian. Semua mudik. Menurut KBBI, mudik berarti pulang ke kampung halaman. Tak penting halaman berapa. Yang baru sampai halaman pengesahan juga boleh turut serta. Halaman selanjutnya dikerjakan kemudian. Saya doakan skripsinya lancar.

Halaman adalah guru terbaik. Di sana kami banyak belajar dari pelbagai permainan. Petak umpet, kelereng, lompat tali, dan sebagainya. Semua permainan tradisional pernah kami mainkan.

Maaf, itu memang tentang kami anak 90-an. Yang begitu riang tertawa di halaman rumah. Tak mewah. Tapi menjadi jelas kenapa kami rindu pulang ke kampung halaman saat lebaran. Terang.

Anak sekarang berbeda. Mereka pastilah linglung jika harus mudik. Karena tak punya halaman tempat bermain-main asik. Rumah cluster berhimpit. Berjajar tanpa jarak. Jadi untuk memenuhi syarat "mudik", ke halaman yang mana mereka mesti pulang? Halaman Facebook?

Hari raya Idul Fitri. Akhirnya, setelah sebulan berpuasa. Ramadan berlalu. Yang bergembira pertama kali tentu saja setan sebab tak lagi dibelenggu.

Ada yang bergembira di sini?

Setan sedang berpesta. Lewat lemak opor ayam, petasan, pamer kekayaan, dan seterusnya. Tapi setan juga kecolongan. Saat masih dibelenggu, masih Ramadan, sebelum lebaran tiba, manusia sudah memulai pestanya. Begitu banyak orang mengalami kenaikan berat badan. Kira-kira kiat berpuasa apa yang diamalkan?

Maka bolehlah saya heran pada orang yang telah berpuasa sebulan malah lebaran. Sementara saya kurusan. Lha.

10 Juni 2015

Kartini

Postingan yang tidak menjual babar pisan. Sudah basi untuk ikut bicara mengenai “putri Indonesia yang harum namanya” itu. Selain karena kaum cerdik cendikia sudah selesai pada bab Kartini, ini juga bukan April. Orang takkan tertarik menyinggung di Juni yang bukan bulan kelahirannya. Sapardi mestinya lebih pas. Kalau jadi jurnalis gosip pasti saya sudah dipecat.

Kartini...

Kurang diomeli, lebih kencing lagi. Pernah kencing di toilet umum? Sekali kencing tarifnya 2000 rupiah. Kalau kurang meski cuma 100 perak jadi panjang urusan. Si penjaga pastilah kasih ceramah. Mulai dalil-dalil orang teraniaya sampai sesumpahan impotensi bila tak lunas tagihan bisa fasih saja dirapalkan. Tapi giliran bayar pakai 5000-an cuma dikembalikan 1000 rupiah. Sisanya disuruh kencing lagi.

Aturan toliet umum yang menyimpang dari GBHN (Garis Besar Haluan Nguyuh) itu jangan sampai berlaku di tukang sunat. Selesai sunat, pasien bayar lebih banyak, kemudian disunat lagi. Tadinya si pasien terkesan dengan pelayanan prima Pak Calak sang tukang sunat, makanya dibayar lebih hitung-hitung tips. Lha kok ndilalah malah kehilangan masa depan. Blaik!

Uhm... Kita kembali ke soal Kartini. Saya tertarik cari tahu tentang buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat “putri sejati” itu. Buku yang aslinya berjudul “Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini”. Kalau Kartini hidup di era kini pastilah bukan kumpulan surat yang dibukukan. Mungkin kultwit yang sering diselingi twitwar dan mention celamitan.

Persis. Persis dengan postingan ini. Mau menulis tentang Kartini saja mesti mlipir ke toilet umum sampai colek-colek tukang sunat. Memang apa hubungan kesemuanya? Hambuh. Yang jelas bukan perkara pertititan, melainkan kurang lebihnya.

Tak terhitung jumlah karya yang merujuk pada tokoh emansipasi wanita itu. Beberapa menggambarkan dengan kurang, tapi paling banyak dengan lebih. Salah satu contoh yang paling populer adalah lagu Ibu Kita Kartini ciptaan WR Supratman. Lagu tentang perempuan muda pemikir yang diagungkan sebagai pendekar bangsa. Kemudian dari syair yang sudah dimodifikasi oleh kepentingan kala itu, kita menangkap sosok Kartini sebagai wanita keibuan yang mesti menjadi panutan perempuan masa kini.

Padahal kalau mau sedikit lebih teliti, Kartini meningal dunia pada umur 25 tahun, beberapa hari setelah kelahiran anak pertamanya. Artinya Kartini tentu saja ibu muda yang kinyis-kinyis. Lagi itu belum sempat mengasuh anaknya. Belum utuh fungsinya sebagai ibu sungguhan. Belum mengantar anaknya ke Taman Kanak-Kanak, memakai rok mini, disiuli tukang ojek di pengkolan, dan yang paling penting belum sempat bersosialita bersama ibu-ibu muda lainnya. Lho jangan salah, Kartini ini dari kalangan priyayi.

Epik. Orang akan terus mendewi-dewikan. Cukup masuk akal untuk perempuan yang pemikirannya bikin lelaki macam saya pemuda generasi selanjutnya termehek-mehek. Tapi sepatutnya gambaran kita dilengkapi dengan masukan yang mengimbangi.

Beberapa bulan yang lalu saya membaca (lagi) cerpen Putu Wijaya berjudul Kartini. Dari tulisan itu kita bisa belajar tafsir yang lebih segar. Lebih relevan. Juga esai Goenawan Mohamad yang dengan cakap meletakkan Kartini sebagai sebuah persona. Memberikan perspektif lebih luas dan bebas.

Maka yang kita butuhkan adalah kesabaran mengkaji apa-apa yang akan kita ambil dari perempuan luar biasa ini. Harus pelan-pelan. Meski kalau kurang tak diomeli, kalau lebih tak perlu kencing lagi.

24 Mei 2015

Edan

“Ora edan ora keduman!” Begitu menurut Ramalan Jayabaya.

Diramalkan, akan tiba saatnya dimana kita harus gila untuk mendapat bagian. Layar tivi kita sudah memulai gejala ini. Orang-orang bertingkah gila dengan gimmick tak karuhan untuk ikut bancakan. Bancakan mengerumuni gunungan rezeki. Supaya keduman, dapat bagian.

Lama-lama sebagian orang berpikir apakah mereka sudah dalam kondisi gila yang hakiki? Demikian khusyuk menghayati peran. Sampai melebur, maujud menjadi kepribadian sehari-hari. Edan.

Tapi pada orang-orang gila itupun bagiannya beragam. Tergantung seberapa edan dia. Makin gila, makin tak waras, makin berbeda, makin melimpah jatahnya.

Barangkali dari sinilah para pakar marketing merumuskan kiat menguasai pasar. "Different Or Die!" Pilihannya cuma menjadi berbeda. Beda segila-gilanya. Jika gagal maka mati. Tapi saya belum menemukan referensi yang menyatakan Philip Kotler, ahli pemasaran itu, mengenal Prabu Jayabaya, Raja Kerajaan Kediri yang dipercayai sebagai titisan Wisnu. Lha!

Yang di atas itu tak usah dipikirkan. Meski sama-sama dalam lingkup pemasaran, pelopor Different Or Die bukan Philip Kotler. Saya tulis agak rumit begitu biar terlihat rada keren saja. Huh!

Di kesempatan lain, orang lain percaya kita memang sedang hidup di zaman edan. Maka teranglah sudah di mana dan untuk siapa jagad raya ini tersisa. Di zaman gila untuk orang-orang gila.

Tak kemana-mana kita. Mulai sekarang dan seterusnya mesti terbiasa. Terbiasa gila. Di tengah orang gila. Pada semua-mua yang serba gila. Merdeka!

Kita mewarisi segala gila ini karena diteladankan, asal tahu. Gusdur yang bilang. Soekarno, presiden pertama kita gila wanita. Soeharto, presiden kedua kita gila harta. Gusdur sendiri, presiden kita yang gila sungguhan. Sekarang kita para penerusnya mengemban tugas untuk menjadi tak kalah gila.

Tak harus mengekor. Karena dengan mengekor berarti menjadi sama. Menjadi sama berarti mati.

Dengan demikian kita telah resmi menyokong sebuah era dimana dunia dipenuhi apa-apa yang gila. Mulai dari sini teori "Different Or Die" akan kembali mengambil alih. Maksud saya begini. Jika semua orang gila, dan kita gila pula, artinya kita sama sekali tak berbeda. Dengan kata lain kita mesti siap mati. Lagi-lagi.

Kok alot men?! Padahal tinggal memutuskan untuk gila atau tak gila. Edan.

01 Mei 2015

Buruh

Kita memperingati 1 Mei sebagai Hari Buruh. Mayday. Sudah bertahun-tahun begitu. Memperjuangkan kesejahteraan kaum pekerja ini. Mendorong kontribusi buruh dalam pembangunan. Kira-kira, jadilah buruh yang makmur!

Dari sekian pendorong ada kelompok pengutuk kapitalisme. Mereka harus tahu bahwa dalam catatan sejarah buruh justru berjaya di negara kapitalis. Bahkan ketika faktanya pembela kaum buruh yang terdepan adalah komunis.

Jadi apakah yang merayakan Mayday di sini ada dari golongan komunis? Kalaupun ada tolong diam-diam saja. Negara kita punya cerita tidak enak tentang palu-arit.

Persoalan buruh hanyalah salah satu indikasi bahwa ada banyak hal di Indonesia yang mesti mendapat perhatian lebih. Memang semua-mua minta diperhatikan. Karena itulah peran negara.

Termasuk di kalangan anak muda. Kami juga butuh sesuatu yang spesifik dan nyata. Bisa dalam bentuk regulasi atau yang lainnya. Misal saja perlu digagas kebijakan semacam; fakir asmara dan jomblo terlantar dipelihara oleh negara.

Orang boleh menganggap remeh perkara sederhana itu. Tapi sebagai negara yang ber-ketuhanan yang maha esa, sudah sepatutnya aspirasi mulia umat beragama didengar. Coba ingat lagi, ada 2,5% milik kita yang merupakan hak kaum duafa. Orang-orang lemah. Yang berkekurangan. Termasuk mereka yang kurang kasih sayang.

Maka tak berlebihan jika kita minta negara turun tangan, turut memberantas tuna asmara. Kalau perlu paksa institusi penelitian & pengembangan menemukan obat pencahar yang dapat mengatasi pe-de-ka-te tidak lancar. Minimal supaya kaum fakir asmara & jomblo terlantar mengakhiri masa kesepian.

Saya tahu ini memang cenderung ngawur. Tapi, Kisanak, saya tidak main-main tentang betapa mendesaknya keberadaan cinta di masyarakat kita.

Karena dengan cinta, saat unjuk rasa buruh tak perlu menutup jalan. Bayangkan seandainya di ujung jalan sana ada ambulans. Mengangkut korban kecelakaan yang kondisinya gawat, sementara tak bisa lewat.

Juga dengan cinta, pemberi kerja tak perlu didemo baru memperhatikan hak-hak pekerja. Mereka sadar ada mutualisme yang harus dijaga. Agar semua seimbang.

Tidak repot kan? Ya jelas, wong cuma teori.

By the way, kalau ada yang jual obat pencahar untuk mengatasi pe-de-ka-te tidak lancar tolong hubungi saya!

09 April 2015

Ruang

Media sosial mengajari kita untuk senantiasa ge-er pada tiap postingan orang. Apakah status, meme, twit, apa saja yang penting curiga dulu. Begitu.

Tanpa bermaksud membangunkan Nokia dari tidur lelap, saya ingin mengatakan bahwa mimpi connecting-people mereka nampaknya dikabulkan semesta.

Orang-orang kini terhubung. Untuk sebuah postingan saja, misalnya, puluhan kepala bisa merasa itu tentangnya. Lalu mereka membalas dengan postingan juga yang ditangkap kepala-kepala lainnya. Terus saja menjadi nyinyiran berantai.

Begitulah jejaring sosial bekerja. Sayang beribu sayang pencetusnya tak turut merayakan. Yang terbaru malah mereka melepas Lumia. Semakin jauh. Semakin lelap.

Zaman memang takkan segan meninggalkan sesiapa yang tak mampu jalan beriringan. Berduyun-duyun. Berarak menuju satu arah. Meski pada waktunya gerak itu melambat karena padat. Merayap. Orang kota mafhum betul soal ini.

Dari sana lahir tradisi baru oleh masyarakat urban dalam menggugat kebuntuan; menyalakkan klakson kencang-kencang.

Mereka tahu itu percuma. Mustahil mengurai kemacetan dengan berkali meninju horn. Tapi setidaknya dalam situasi demikian sesak, dimana nyaris tak mungkin bergerak, masih ada celah untuk rasa kesal tumpah. Ada saluran yang terbuka.

Kata Goenawan Mohamad, "Dalam hidup selalu perlu ada ruang yang cukup untuk hal-hal yang privat, sederhana, kecil, romantik, tidak berguna."

Maka berterima-kasihlah pada (pertama) Mark Zuckerberg (kemudian pada yang lainnya) yang telah membuat ruang bagi kita untuk bersumpah serapah sedemikian rupa. Dan berkeluh kesah sejadi-jadinya. Atau apapun yang tak berguna.

05 April 2015

Air

Kita sedang berada di zaman yang amat runyam. Arus informasi mengalir begitu deras. -- Tidak peduli apakah dari sungai Ciliwung, Nil, atau Mississippi. Kalau dimensi sungai tak mampu lagi menampung debit air maka meluap. Ke pemukiman, jalan, dan mana saja yang mungkin.

Akibatnya bukan cuma lantai kotor karena lumpur naik. Lebih parah lagi, ada potensi aliran liar listrik. Orang tewas tersetrum, hanyut, longsor, dan sebagainya. Lalu kita mulai mengomel tentang tata ruang kota, bla-bla-bla. Ya. Pelan-pelan dicari solusi. Dengan (maaf) tumbal banyak kejadian buruk tadi.

Informasi juga sama dengan air; awalnya tersedia saluran yang cukup. Kali, kanal, sodetan, gorong-gorong, dan lainnya. Semua dikendalikan dan ditata. Kalaupun ada luberan tak seberapa. Itu pasti kasus kecil dan langka.

Namun suatu saat terjadi anomali. Bendungan jebol, curah hujan tinggi, dan saluran yang awalnya didesain untuk mengatur arah aliran tak lagi memadai. Sebagian orang mulai bingung. Meski sebagian lagi berpesta merayakan apa-apa yang bisa didapatkan dari sana.

Saya hanya ingin menggambarkan betapa arus informasi (di internet utamanya) hari ini perlu mendapat perhatian. Apa yang telah dilepas di internet bisa diakses oleh siapa saja. Jadi saya setuju bahwa tak ada yang rahasia atau privat di sini. Dengan kata lain, bahkan anak sekolah menengah dapat dengan mudah membuka situs lendir. Apa tidak cukup membuat khawatir?

Air memang bermanfaat bagi manusia. Banjir juga hanya terjadi kalau kita salah mengelola. Pun internet. Pertanyaannya, apakah kita memang benar-benar sudah mampu mengelola? Sebelum berubah jadi malapetaka.

Soal air, saya ada ada pengalaman menyebalkan di bandara. Delay 4 jam gara-gara hujan lebat. Serasa seluruh air dari langit tumpah di tanah Jogja. Saya curiga mercusuar pengawas di luar sana sampai kisut kedinginan. Ingin mengamuk tapi urung.

Sebab, pesawat yang delay karena cuaca buruk sama tak-terbantah-nya dengan perempuan yang sedang menstruasi. Lebih baik diamkan saja.

Tapi, jika ada air yang menyebalkan tak lantas air lain tak boleh digunakan. Ya, nanti kita cebok pakai apa? Dan, kalau ada yang menggunakan internet untuk memasarkan narkoba tak lantas internet jadi haram. Analogi ini sungguh "maksa".

21 Maret 2015

Tinggi

Agak rikuh buat sekedar membuat postingan di blog sendiri. Pasalnya sudah berkomitmen untuk menyelesaikan paling sedikit 1 judul dalam 1 bulan. Tapi sampai minggu ketiga begini tak kunjung dapat ilham. Walhasil jadilah tulisan asal-asalan. Biasanya juga begitu.

Maunya supaya lebih produktif. Karena sebagai musisi (kus) amatir, saya sudah gagal. Belum sempat menelurkan satupun lagu yang layak putar. Lalu bagaimana mungkin bisa mengerami apalagi menetaskan. Bahkan kalah dengan SBY yang berhasil merilis 4 album dalam 10 tahun belakangan.

Saya tahu sampean belum pernah dengar salah satu lagunya. Tapi tidak usah dibahas di sini, Kisanak.

Jadi itulah mengapa saya banting setir. Dari gagal bercinta bermusik, kini mencoba peruntungan di dunia persilatan kepenulisan. Meski sama-sama amatir. Sami mawon.

Saya memang diajari agar berani bermimpi tinggi. Setinggi burung layang-layang dalam lagu Joan Baez, "Winging swiftly through the sky..."

Tapi kan tidak punya sayap? Siapa bilang tinggi berarti butuh sayap. Sama halnya dengan bersayap tak melulu buat terbang. Beberapa sayap malah cuma digunakan untuk menyerap lebih banyak, supaya tidak tembus, dan melindungi sepanjang malam.

Apa tidak takut jatuh kalau bermimpi terlalu tinggi? Supaya tidak jatuh, tidurnya agak ke tengah. Yang penting tidak jadi anak sapi, "Easily bound and slaughtered..." Kata Joan Baez lagi.

Maka merugilah mereka yang enggan bermimpi basah tinggi. Sesungguhnya bermimpi itu gratis. Tidak dipungut biaya, apalagi dikenai pajak. Karena barangsiapa menyerupai seekor sapi, maka ia adalah sapi itu sendiri. #SaveBigot

Dan saya takkan ragu untuk terus terbang tinggi, "Like the swallow so proud and free..."

Thanks, Joan Baez.