“Ora edan ora keduman!” Begitu menurut Ramalan Jayabaya.
Diramalkan, akan tiba saatnya dimana kita harus gila untuk mendapat bagian. Layar tivi kita sudah memulai gejala ini. Orang-orang bertingkah gila dengan gimmick tak karuhan untuk ikut bancakan. Bancakan mengerumuni gunungan rezeki. Supaya keduman, dapat bagian.
Lama-lama sebagian orang berpikir apakah mereka sudah dalam kondisi gila yang hakiki? Demikian khusyuk menghayati peran. Sampai melebur, maujud menjadi kepribadian sehari-hari. Edan.
Tapi pada orang-orang gila itupun bagiannya beragam. Tergantung seberapa edan dia. Makin gila, makin tak waras, makin berbeda, makin melimpah jatahnya.
Barangkali dari sinilah para pakar marketing merumuskan kiat menguasai pasar. "Different Or Die!" Pilihannya cuma menjadi berbeda. Beda segila-gilanya. Jika gagal maka mati. Tapi saya belum menemukan referensi yang menyatakan Philip Kotler, ahli pemasaran itu, mengenal Prabu Jayabaya, Raja Kerajaan Kediri yang dipercayai sebagai titisan Wisnu. Lha!
Yang di atas itu tak usah dipikirkan. Meski sama-sama dalam lingkup pemasaran, pelopor Different Or Die bukan Philip Kotler. Saya tulis agak rumit begitu biar terlihat rada keren saja. Huh!
Di kesempatan lain, orang lain percaya kita memang sedang hidup di zaman edan. Maka teranglah sudah di mana dan untuk siapa jagad raya ini tersisa. Di zaman gila untuk orang-orang gila.
Tak kemana-mana kita. Mulai sekarang dan seterusnya mesti terbiasa. Terbiasa gila. Di tengah orang gila. Pada semua-mua yang serba gila. Merdeka!
Kita mewarisi segala gila ini karena diteladankan, asal tahu. Gusdur yang bilang. Soekarno, presiden pertama kita gila wanita. Soeharto, presiden kedua kita gila harta. Gusdur sendiri, presiden kita yang gila sungguhan. Sekarang kita para penerusnya mengemban tugas untuk menjadi tak kalah gila.
Tak harus mengekor. Karena dengan mengekor berarti menjadi sama. Menjadi sama berarti mati.
Dengan demikian kita telah resmi menyokong sebuah era dimana dunia dipenuhi apa-apa yang gila. Mulai dari sini teori "Different Or Die" akan kembali mengambil alih. Maksud saya begini. Jika semua orang gila, dan kita gila pula, artinya kita sama sekali tak berbeda. Dengan kata lain kita mesti siap mati. Lagi-lagi.
Kok alot men?! Padahal tinggal memutuskan untuk gila atau tak gila. Edan.
Mulai sekarang dan seterusnya mesti terbiasa. Terbiasa gila. Di tengah orang gila. Pada semua-mua yang serba gila. Merdeka!
BalasHapusHaha wiro sableng, sinto gendeng...!!! πππ
Lha iki putune. Cocok tenan!
Hapus