10 Oktober 2018

Alfatihah

Dulu, saya butuh satu bulan penuh untuk khatam belajar membaca surat Al-Fatihah. Ya, satu bulan penuh cuma buat belajar membaca surat Al-Fatihah.

Waktu saya remaja, di tempat ngaji ada sesi khusus setiap habis salat subuh, di bulan Ramadan. Pertama ngaji tafsir Quran melalui kitab Al-Ibriz karya Kiai Bisri Mustofa, Ayahanda Gus Mus. Setelah itu disambung belajar membaca Al-Fatihah.

Melafalkan kalimat demi kalimat surat itu sungguh bukan perkara mudah. Lidah harus meliuk-liuk, kadang keserimpet dan menurunkan banyak kadar ketampanan sebab mesti monyong sedemikian rupa.

Maka saya sangat bangga saat khatam, dan cenderung sombong karena merasa lebih fasih dari kebanyakan orang di lingkungan saya.

Kepada kiai sepuh (tua) di kampung, dalam hati saya meremehkan kemampuannya mengucapkan berbagai ayat. "Bukan begitu seharusnya..." dan lain-lain.

Tapi belakangan saya menaruh hormat padanya (kini almarhum). Ia begitu tekun menebarkan kebaikan dengan kemampuan--yang menurut saya waktu itu--terbatas, juga istiqomah menuntun orang sekitar yang kurang paham soal ritual beragama.

Kecakapan berlaku dan berucap mungkin bisa dinilai dengan mudah berdasarkan apa yang tampak dan terdengar, tapi kemuliaan hati siapa yang tahu.

Perlahan-lahan saya belajar menghargai kekurangan orang lain, karena saya juga penuh kekurangan yang ingin dihargai pula.

Jika tidak, mungkin saya akan masih mencerca mereka yang mengucapkan "azan" bukan "adzan". Sebab di situ huruf dzal bukan za'. Apalagi "ajan", sebagaimana banyak orang Indonesia mengucapkannya.

Mengoreksi itu boleh, meluruskan juga tidak dilarang. Justru itu bagus. Tetapi akan sangat baik jika disampaikan tanpa makian, apalagi fitnah. Menyampaikan dengan akhlak yang baik seperti dicontohkan.

Atau sekadar memaklumi kebiasaan umum yang sudah berjalan.

Terlebih lidah kita berbeda dengan lidah orang Arab. Kebisaan melafalkan sebuah huruf saja tak sama. Jangankan orang Saudi Arabia dengan kita yang Indonesia, mereka dengan negara lain yang sama-sama Timur Tengah saja berbeda.

Di Turki, misalnya. Nama orang Arab memakai "Muhammad", di Turki lazim menggunakan "Mehmed". Kalau mau mengembalikan pada ejaan aslinya tidak dilarang. Tapi memang begitulah yang terjadi di berbagai belahan bumi ini. Lidah kita berbeda-beda.