25 September 2017

Gerebek

Katanya, kurang yahud kalau jadi anak kos tapi belum pernah digerebek. Berarti saya sudah yahud, karena pernah digerebek di Semarang. Sayangnya kasus saya bukan soal cabul.

Waktu itu saya bersama 3 orang kawan sedang “hepi-hepi”. Yang pertama sebut saja Kutil (bukan nama sebenarnya, sebenarnya Didit), yang kedua Endik, dan yang ketiga Embuh. Yang terakhir itu bukan nama samaran, itu karena saya lupa namanya, baru kenal juga, jadi dalam postingan ini saya sebut saja si Embuh.

Iya, saya digerebek di kosan saat sedang bersama 3 teman lelaki. MasyaAllah. Ini tidak seperti yang sampean pikirkan. Baca dulu, pelan-pelan.

Ceritanya, si Embuh sedang merayakan sesuatu yang entah, saya juga tidak tahu. Pokoknya dia dari luar kota datang ke Semarang, menginap di kos Endik. Embuh beli aneka makanan dan minuman. Karena itu beralkohol, saya tidak ikut minum. Embuh yang paling bersemangat meneguk air memabukkan itu.

Suasana jadi gaduh karena mulai ada yang kehilangan kesadaran sambil teriak-teriak, dan memutar musik kencang-kencang. Saya kebagian peran tertawa dan makan kacang. Jarang saya lihat orang linglung sampai jungkir balik tidak karuan.

Tak terasa sampai tengah malam. Tiba-tiba pintu digedor. Diluar ada yang teriak minta dibukakan. Kedengarannya ada banyak orang di balik pintu itu.

Saya buka pintu kos Endik. Ada bapak-bapak & anak-anak muda setempat yang tampak berang. “Malam-malam gaduh! Pada mabok lagi!” Kata seorang bapak yang mukanya tak saya lihat. Saya ada di belakang pintu.

Embuh menimpali, “Nggak ada yang mabok kok.”

Di belakang pintu, entah ada setan apa yang lewat, atau tuyul dari mana yang menggerakkan kaki saya sehingga menyenggol botol kaca wadah minuman. “Klinting...!”

“Lha itu apa?!” Si bapak kaget. Kami juga kaget. Di antara kepanikan, saya malah merasa geli. Ini sudah seperti adegan film Warkop DKI. Kali ini saya terpaksa menahan tawa & tidak mengambil kacang.

Tapi syukur, kejadian malam itu berakhir damai. Untung tidak terjadi pertumpahan ludah. Bayangkan saja jika para pembuat gaduh ini diludahi pemuda satu RT, tentu kami berakhir seperti kain pel.

Saya dan Kutil memutuskan pergi dari kos Endik, pulang ke kos kami masing-masing. Tapi bukan malam itu juga. Kami menunggu jam 4 pagi. Sekiranya orang sudah pada tidur, dan belum ada yang bangun untuk solat subuh.


Setelah malam itu saya mendapat pelajaran penting. Digerebek di kosan tak mesti gara-gara malam-malam mengerjakan tugas bersama teman perempuan.

16 September 2017

Menikah

Menikahlah, katanya, diikuti 1001 dalil dan nasihat tentang keutamaannya. Untung saja buku nikah tidak diperjualbelikan. Jika saja komersial saya pasti menyangka dia salesman di sebuah percetakan.


Beberapa bulan yang lalu saya meminang kekasih. Akhirnya saya tahu apa rasanya menjadi suami dan memiliki isteri. Kalimat sebelum ini penting untuk ditekankan: menjadi suami dan memiliki isteri.


Jadi, beginilah rasanya menyandang gelar kepala rumah tangga. Gelar ini mesti saya terima demi kepatutan di tengah tradisi patriarki. Meski demikian saya belum tertarik untuk memperpanjang daftar pengalaman pada CV dengan gelar baru itu. Entah nanti.


Beberapa bulan menjalani pernikahan, saya rasakan nasihat handai tolan nan bijak bestari itu tak semudah kedengarannya. Mereka bilang menikah akan membuat hidup lebih indah dan hari-hari semakin manis. Ada benarnya, tapi tak seluruhnya demikian.


Barangkali mereka lupa menyampaikan bahwa isteri yang sedang datang bulan itu lebih mengerikan ketimbang melawan arah di jalan raya. Sebentar tertawa, tak lama menangis. Bayangkan saja, saya yang telah bersiap dengan hidup-lebih-indah dan hari-yang-manis ini kikuk menghadapi isteri yang menstruasi. Seketika kepercayaan diri saya runtuh. Teori ini tak saya dapatkan sewaktu mereka mendesak untuk segera berkeluarga.


Itu baru satu contoh. Belum lagi soal drama Korea. Betapa sulitnya menginterupsi isteri yang sedang khusyuk menyimak akting para rupawan dari negeri ginseng tersebut. Jangankan saya, setan mau ndulit pun mikir-mikir.


Banyak lagi yang lainnya. Menjadi ahli tabung gas dadakan, menjadi arsitek sekaligus tukang, belajar menawar di pasar, naik motor sambil membawa tivi 50 inci, menenteng meja lipat dan jemuran baju seberat 20 kilogram dari lantai 6 mal ke parkiran di lantai dasar, bla-bla-bla.


Hikmahnya, skill saya kini meningkat.


Bukan berarti saya menganjurkan untuk menunda menikah. Saya hanya memperingatkan agar menyiapkan mental. Selama apapun mengenalnya waktu pacaran, itu belum semuanya. Masih ada kejutan setelah menjadi isteri nanti.


Beruntung kalau mendapat yang seperti isteri saya. Orangnya baik, sabar, dan pengertian.


*angkat galon*