24 Agustus 2012

Barista

Masih tentang kopi.

Saya tidak tahu sejak kapan gila kopi. Seingat saya, kakek dulu suka minum kopi setiap pagi. Sebagai cucu yang agak anu, saya suka ikut menyeruput kopi dari cangkirnya. Sedap. Tambah lagi ada satu atau dua lembar serabi. Nikmat.

Barangkali sejak itu saya jadi cinta cafein, eh, kopi saja mungkin.

Jangan heran jika banyak kopi di blog saya. Yang saya suguhkan memang akan berputar-putar di sekitaran kopi saja. Namanya juga Warung Kopi. Kebetulan kopi juga suka menginspirasi. Atau mengilhami.

Tidak ada rumus kopi paling benar. Setiap barista punya formula masing-masing. Cita rasa tidak bisa diganggu gugat, bahkan dengan sertifikasi ISO sekalipun. Kalau ada selera berubah karena dikili-kili MURI, itu pasti gengsi.

Aku sedang menyindirmu!

Seperti kopi, sekali aduk harus jadi. Karena kalau tidak, rasanya jadi nggak karuan. Takarannya harus langsung pas. Dalam kamus saya, tidak ada kopi yang di-remedy. Doyan; diminum, tidak; dibuang. Titik. Tidak ada diskusi tambahan.

Tidak ada ceritanya saya menambahkan gula ke dalam cangkir kopi karena kurang manis. Haram hukumnya. Nggak doyan? Buang! No remedy!

Kalau lidahmu terlatih, kamu tahu bedanya kopi yang di-remedy dengan kopi yang sekali aduk jadi. Itu kenapa kopi beda dengan teh atau susu. Saat masih panas-panasnya, sempatkan lidah mengecap. Maka, sisa kopi itu sampai tetes terakhir akan terasa nikmat luar biasa.

Bagi saya, merusak cita rasa kopi dengan menu lainnya adalah dosa besar. Rokok, misalnya. Atau gorengan. No! Kopi ya kopi saja. Kecuali kalau benar-benar kelaparan. Selembar serabi mungkin terampuni. Tapi saya sarankan untuk segera bertobat. Taubatannasuha.

Barista adalah nabi. Racikannya merupakan wahyu dari Tuhan. Rasa kopinya dogma yang tak terbantahkan. Jangan sekali-kali menyangkal, atau kamu akan dikutuk. Doyan; minum, tidak; buang. Sudah.

Hhhh... Heran. Filosofi kopi tidak pernah habis. Mencair begitu saja. Melumer tumpah ke mana-mana. Analogi yang hangat, pahit, manis, kental dan harum dalam satu cangkir dalil paling sahih. Kopi.

Itu kopiku. "Kopi paling enak sedunia!"
Hihihi....

19 Agustus 2012

Kolesterol

Hari ini, 19 Agustus 2012, untuk pertama kalinya melewati lebaran jauh dari keluarga. Ada tugas. Selalu saya katakan pada mereka, “Sedang menjalankan misi suci dari Tuhan.” 

Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur, Borneo Island

Seperti mati rasa. Sedikit haru tapi tak seberapa. Karena memang harus menemukan hal-hal yang menyenangkan untuk meringankan kesedihan. Ya, manusia mana yang tidak sedih harus jauh dari keluarga di hari yang sangat penting. Idul Fitri ini penting sekali. Dalam setahun cuma datang satu kali. Tidak sayang jika terlewatkan? Mana mungkin!

Sebenarnya tidak jauh beda dari lebaran-lebaran sebelumnya. Tetap ada opor ayam di rumah tetangga, jajanan mulai dari kue kering sampai minuman bersoda, anak-anak kecil yang berburu angpau dari pintu ke pintu, pakaian mereka yang serba baru, nyaris persis. Hanya saja, di tahun-tahun sebelumnya saya keliling ke rumah tetangga dan saudara bersama orang tua dan adik-adik saya. Sekarang, tetangganya saja sudah beda. Rombongan berkeliling beda pula. 

Saya sedang anti nonton tivi. Maklum anak rantau. Kami anak rantau sensitif dengan tayangan televisi yang bernuansa lebaran. Tayangan-tayangan itu selalu berhasil menjadikan suasana hati makin berantakan. Teman saya mengaku sempat menangis saat menyimak iklan mie instant di tivi. Nah! 

Ada satu hal lagi yang selalu terjadi setiap tahun. Setiap lebaran. Kolesterol meningkat pesat. Makin menumpuk. Kalau sudah over, persoalan jadi melebar kemana-mana. Hipertensi lah, ini lah, itu lah, bla-bla-bla. Bah! 

Maaf, saya jadi tertarik membicarakan kolesterol. Kolesterol ini kata orang dekat dengan makanan enak, hidup enak, pokoknya yang enak-enak. Kalau perlu, orang susah haram berkolesterol tinggi. Padahal beberapa mengatakan bahwa orang dengan hidup enak tetap bisa kontrol kolesterol asal tidak malas olahraga. Minimal tidak malas bergerak. Intinya tidak malas. Jadi, kolesterol ini identik dengan hidup enak atau hidup malas? 

Lalu, kalau dekat dengan peningkatan kolesterol, apakah lebaran identik dengan meningkatnya orang yang hidup enak atau orang malas? Ah, selamat bermaaf-maafan saja lah. Jangan lupa saling memaafkan dengan kolesterol. Ups… Minal aidin wal faidzin, semua saya maafin. Heheu 

Idul Fitri 1433 H

18 Agustus 2012

Matematika

Saya pernah mengirimkan tweet ini ke Linimasa (Timeline): “Cara berceritaku dipengaruhi matematika-ku. Celakanya, matematika-ku buruk. Jadilah ceritaku seperti matematika gagal.” 

Ini semacam belief. Tapi tidak terlalu belief. Teori yang tidak terbukti kebenarannya karena tidak pernah saya lakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran teorinya. Jadilah saya menjadikannya sebagai belief. Belief yang tidak terlalu belief. Saya percaya, cara bercerita seseorang sangat dipengaruhi kemampuan matematikanya. Atau paling tidak pengetahuan matematikanya.

Misal, untuk mendefinisikan 9, akan muncul banyak cara. Paling sederhana mungkin dengan mengatakan bahwa sembilan itu persis setelah delapan. Orang lain bisa saja mengatakan bahwa Sembilan itu 4+5. Lain lagi akan mengatakan 3x3 sama dengan sembilan. Ada juga yang mendefinisikan dengan akar 81. Ada yang bilang sembilan itu bilangan ganjil ke lima setelah satu, tiga, lima, dan tujuh. Mungkin juga, bilangan ganjil pertama yang tidak termasuk bilangan prima. Ada banyak cara untuk sampai di angka sembilan. 

Biasanya, semakin pintar matematika seseorang, semakin pintar juga dia mengolah kata. Dia menguasai variasi-variasi kalimat untuk maksud yang sama. Orang itu bisa membongkar-pasang kata menjadi kalimat yang tidak biasa. Bukan lagi kalimat-kalimat konvensional yang banyak dipakai orang. Non-mainstream lah pokoknya. Dan itu terjadi begitu saja. 

Saya simpulkan saja: Buat mencapai 5, seseorang suka dengan logika 3+2, orang lain lebih suka dengan ganjil ke tiga, lain lagi dengan akar 25, dan seterusnya, dan seterusnya. Jadi wajar saja tiap orang punya gaya bercerita yang berbeda. Banyak jalan menuju lima.

17 Agustus 2012

Selamat Pagi, Sore!

Selamat pagi, katamu. Padahal mungkin kita ini sudah sore. Aku heran kenapa kamu lebih suka menjadi pagi. Bukankah sudah lama kita mengibarkan keberengsekan? Lalu kamu bilang selamat pagi? Apakah kamu sepagi orok yang tak tahu cara berlari-bahkan melangkah-malah mengunyah? Duh Gusti, aku bersemedi.

Apalagi yang bisa kuganyang sekarang. Mereka juga sama, apa saja asal kenyang. Mungkin kalau batu bisa bikin kenyang pun diganyang juga. Siapa lagi yang bisa mendengar. Atau siapa yang mau. Mendengar itu perkara gampang, katamu, tapi wani piro. Setan, batinku.

Kita hidup di hutan. Dari dulu sampai sekarang. Rumah kita tetap rimba. Bedanya cuma soal pembagian peran. Dulu dibutuhkan tokoh konservatif, sekarang liberal-mungkin. Tapi dulu dan sekarang sebenarnya kan sama saja. Konservatif dan liberal selalu ada. Cara aktingnya saja yang agak beda. Jadi, beda casting saja. Dulu pakai keris, sekarang senapan. Laras panjang yang bisa didapat di pasar loak. Lho, itu kan kamu yang bilang. Aku cuma meneruskan. Kalau yang kuteruskan ternyata terlalu asin, kebanyakan bumbu, itu soal belakang. Biasanya juga begitu kan. Kalau tak ditambah-tambah bumbu mana laku. Kamu juga yang mengajariku. Jangan suka buru-buru menyalahkanku. Jangan belaga lupa, kamu yang banyak mengguruiku. 

Bersyukur matahari masih mau berbagi sinar. Rasanya berat sekali membuka mata. Entah ini sinar yang membawa benci atau cinta. Kenapa mata dan sinar matahari tak pernah mau bersahabat. Iya, tak pernah. Memangnya kapan pernah? Nah, kamu juga tak bisa kasih bukti. Kamu memang selalu penuh gombal. 

Matahari tanpa mata jadinya cuma hari. Jadi, mana mungkin bersinar tanpa mata. Melek saja susah begini. Pantaslah sudah kamu tak pernah bersinar. Merem kok hobi.

Burung-burung masih ada yang mau berkicau menyambutmu setiap hari. Tapi tak lama lagi kicaunya pun akan segera pergi. Juga karenamu. Akhirnya burungmu sendiri yang mengoceh. Burung yang kepalang bejat. Banyak maksiat. Kemudian kamu mengangkangi mereka yang tak tahu apa-apa. Kamu memang paling pintar berbagi dosa. 

Ya Tuhan, 17 Agustus 2012, pertanda apa ini?

08 Agustus 2012

Analogi Kopi

Mari kita membuat kesepakatan dulu di awal supaya tak perlu ada perdebatan soal racikan kopi. Meskipun debat itu cuma ada di masing-masing otak kita. Begini, ikuti aturan main saya. Apa yang saya katakan soal takaran ideal nanti mutlak benar. Sepakat! 

Saya adalah seorang barista. Agak ngeri memang untuk sebutan seorang pembuat kopi. Meski cuma kopi yang biasa dijual di tenda-tenda pinggir jalan atau trotoar. Tapi biarlah, biarkan saya terdengar ngeri. Sesekali.

Untuk membuat kopi yang sedap saya butuh air panas 200 ml, 2 sendok makan gula pasir, dan 1 sendok makan kopi bubuk. Paten. Kalaupun sedikit kurang atau lebih, terampuni. Saya yakin masih sedap. 

Dengan air panas 200 ml saja tanpa gula pasir dan kopi, saya sedang menghidangkan secangkir air panas. Yang namanya panas ya panas. 

Ditambah sesendok kopi bubuk, kali ini saya sedang menyuguhkan kopi pahit. Pahit pokoknya, tidak ada manis-manisnya. 

Dengan memasukkan sesendok gula, lumayan, sekarang terasa lebih "kopi". Tapi tetap kurang sedap. Sesendok gula lagi, nah ini baru namanya kopi yang sedap. 

Sama seperti hal-hal di secangkir kehidupan kita. Ada air panas, yang menghangat, mendingin, atau mungkin mengadem. Mengadem? Ah susah. Pokoknya itulah. 

Di dalam air itu kita sedang memasukkan kopi dan gula. Kadang-kadang kita eksperimental, secangkir kopi tadi sesekali terlalu pahit, juga terlalu manis. Keduanya sama-sama tak sedap. Ternyata terlalu manis itu tak sedap kan. 

Tapi tenang dulu, barista bisa bikin kopi baru. Selamat menikmati kopimu!