18 Agustus 2012

Matematika

Saya pernah mengirimkan tweet ini ke Linimasa (Timeline): “Cara berceritaku dipengaruhi matematika-ku. Celakanya, matematika-ku buruk. Jadilah ceritaku seperti matematika gagal.” 

Ini semacam belief. Tapi tidak terlalu belief. Teori yang tidak terbukti kebenarannya karena tidak pernah saya lakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran teorinya. Jadilah saya menjadikannya sebagai belief. Belief yang tidak terlalu belief. Saya percaya, cara bercerita seseorang sangat dipengaruhi kemampuan matematikanya. Atau paling tidak pengetahuan matematikanya.

Misal, untuk mendefinisikan 9, akan muncul banyak cara. Paling sederhana mungkin dengan mengatakan bahwa sembilan itu persis setelah delapan. Orang lain bisa saja mengatakan bahwa Sembilan itu 4+5. Lain lagi akan mengatakan 3x3 sama dengan sembilan. Ada juga yang mendefinisikan dengan akar 81. Ada yang bilang sembilan itu bilangan ganjil ke lima setelah satu, tiga, lima, dan tujuh. Mungkin juga, bilangan ganjil pertama yang tidak termasuk bilangan prima. Ada banyak cara untuk sampai di angka sembilan. 

Biasanya, semakin pintar matematika seseorang, semakin pintar juga dia mengolah kata. Dia menguasai variasi-variasi kalimat untuk maksud yang sama. Orang itu bisa membongkar-pasang kata menjadi kalimat yang tidak biasa. Bukan lagi kalimat-kalimat konvensional yang banyak dipakai orang. Non-mainstream lah pokoknya. Dan itu terjadi begitu saja. 

Saya simpulkan saja: Buat mencapai 5, seseorang suka dengan logika 3+2, orang lain lebih suka dengan ganjil ke tiga, lain lagi dengan akar 25, dan seterusnya, dan seterusnya. Jadi wajar saja tiap orang punya gaya bercerita yang berbeda. Banyak jalan menuju lima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok