Orang Indonesia sedang bergembira,
kecuali yang tidak. Atau paling sedikit pura-pura bersuka cita.
Mengadakan lelombaan tahunan. Makan kerupuk, balap karung, sampai panjat
pinang juga tak ketinggalan. Saya takkan membelokkan kata pinang ke
pelaminan. Jadi jomblo di sini tenang saja.
Tetangga
saya sedang giat-giatnya mengasah kemampuan vokal. Menyambut HUT RI,
katanya. Walau tak sumbang tapi gagal juga disebut merdu.
"Enam belas Agustus tahun empat lima..."
Lho, lho, lho! Saya interupsi kekhidmatannya dalam bernyanyi.
Namun segera dilanjutkan, "... Besoknya hari kemerdekaan kita!"
Saya terkekeh. Dasar manusia gembira. Ia benar-benar merdeka. Merdeka memilih bergembira dengan cara apa.
Itu
kejadian kemarin. Hari ini puncaknya. Upacara peringatan HUT RI ke 70
dilaksanakan serentak se-Indonesia, sepertinya. Saya belum dengar kabar
ada perbedaan penentuan hari kemerdekaan. Mungkin saja hasil rukyat dan
hisab sama.
Sang merah-putihpun berkibar di angkasa raya. Wuih.
Meski tak semua melakukan penghormatan, termasuk JK. Bukan tak
menghormati, hanya tak mengikuti penghormatan cara militer. Untuk sipil
cukup dengan berdiri saat bendera dikerek. Jokowi melakukan sikap hormat
sebab ia berlaku sebagai inspektur upacara. Begitu katanya.
Jauh
dari sana, di Indonesia bagian kurang perhatian, malah ada yang
mengharamkan penghormatan bendera. Saya tak menaruh syak wasangka, tapi
sedikit curiga tak lama lagi para cerdik cendikia mengangsurkan wacana
ihwal upacara syariah. Entah.
Bisa
saja dengan begini. Pemimpin upacara haruslah imam yang, pertama-tama,
seorang mukalaf. Mukalaf berarti baligh dan berakal sehat. Yang akalnya
tipus bisa langsung dicoret dari daftar kandidat. Kedua, bacaannya mesti
tartil. Di situ ia wajib fasih menggunakan langgam Arab, atau kalau
melenceng paling pol langgam Mesir. Langgam lain jangan. Ketiga, ketiga
kita tanyakan pada para cerdik cendikia saja. Lalu sebelum digunakan,
pastikan dilakukan sertifikasi. Setelah dinyatakan halal barulah
digelar. Wahai.
Itu
tak perlu menjadi perdebatan. Kita masih punya banyak bahan untuk
dipertentangkan. Perihal berapa tahun kita dijajah, misalnya. Atau,
apakah benar kita mengusir Belanda dan Jepang menggunakan bambu runcing.
Kurang?
Tenang, masih ada debat haram tidaknya mengucapkan selamat Natal,
memperingati tahun baru masehi, hari valentin, mempertanyakan
kepahlawanan Kartini, bla-bla-bla. Banyaklah pokoknya.
Itu
karena kita merdeka. Bicara saja sampai mulut berbusa. Bahkan kita juga
merdeka berpendapat bahwa kita belum merdeka. Belum merdeka karena
korupsi di mana-mana. Belum merdeka karena jalan depan rumah sampean
belum diaspal. Belum merdeka karena hutang tak lunas tujuh turunan.
Merdekalah untuk tak merdeka.
@wilsonsitorus: Lambat-laun, merdeka menjadi kata kerja yg rumit, meski awalnya simpel sahaja
Wahai,
Tuan, tafsir kemerdekaan kini macam-macam. Tapi tolong jangan buru-buru
mencap kafir atau sesat pada sekte yang meyakini kemerdekaan dengan
berbeda. Juga menahan diri untuk tak tergesa mereduksi makna merdeka.
Dahulu
Bung Karno dengan mantap hati memproklamasikan kemerdekaan RI. Syarat
negara ada 3; wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Keadilan,
kemakmuran, kesejahteraan, dan seterusnya itu tugas negara (yang merdeka
tentu saja) kemudian. Tugas kita semua.
Tapi
sudahlah saya ikut apa kata orang saja. Dari pada sembarangan
menafsirkan malah salah kaprah. Lebih baik menunggu fatwa para cerdik
cendikia. Sembari piknik santai, menikmati kopi, dan menyaksikan pawai
MOGE yang mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Warung Kopi Kothok