17 Agustus 2015

Merdeka

Orang Indonesia sedang bergembira, kecuali yang tidak. Atau paling sedikit pura-pura bersuka cita. Mengadakan lelombaan tahunan. Makan kerupuk, balap karung, sampai panjat pinang juga tak ketinggalan. Saya takkan membelokkan kata pinang ke pelaminan. Jadi jomblo di sini tenang saja.

Tetangga saya sedang giat-giatnya mengasah kemampuan vokal. Menyambut HUT RI, katanya. Walau tak sumbang tapi gagal juga disebut merdu.

"Enam belas Agustus tahun empat lima..."

Lho, lho, lho! Saya interupsi kekhidmatannya dalam bernyanyi.

Namun segera dilanjutkan, "... Besoknya hari kemerdekaan kita!"

Saya terkekeh. Dasar manusia gembira. Ia benar-benar merdeka. Merdeka memilih bergembira dengan cara apa.

Itu kejadian kemarin. Hari ini puncaknya. Upacara peringatan HUT RI ke 70 dilaksanakan serentak se-Indonesia, sepertinya. Saya belum dengar kabar ada perbedaan penentuan hari kemerdekaan. Mungkin saja hasil rukyat dan hisab sama.

Sang merah-putihpun berkibar di angkasa raya. Wuih. Meski tak semua melakukan penghormatan, termasuk JK. Bukan tak menghormati, hanya tak mengikuti penghormatan cara militer. Untuk sipil cukup dengan berdiri saat bendera dikerek. Jokowi melakukan sikap hormat sebab ia berlaku sebagai inspektur upacara. Begitu katanya.

Jauh dari sana, di Indonesia bagian kurang perhatian, malah ada yang mengharamkan penghormatan bendera. Saya tak menaruh syak wasangka, tapi sedikit curiga tak lama lagi para cerdik cendikia mengangsurkan wacana ihwal upacara syariah. Entah.

Bisa saja dengan begini. Pemimpin upacara haruslah imam yang, pertama-tama, seorang mukalaf. Mukalaf berarti baligh dan berakal sehat. Yang akalnya tipus bisa langsung dicoret dari daftar kandidat. Kedua, bacaannya mesti tartil. Di situ ia wajib fasih menggunakan langgam Arab, atau kalau melenceng paling pol langgam Mesir. Langgam lain jangan. Ketiga, ketiga kita tanyakan pada para cerdik cendikia saja. Lalu sebelum digunakan, pastikan dilakukan sertifikasi. Setelah dinyatakan halal barulah digelar. Wahai.

Itu tak perlu menjadi perdebatan. Kita masih punya banyak bahan untuk dipertentangkan. Perihal berapa tahun kita dijajah, misalnya. Atau, apakah benar kita mengusir Belanda dan Jepang menggunakan bambu runcing.

Kurang? Tenang, masih ada debat haram tidaknya mengucapkan selamat Natal, memperingati tahun baru masehi, hari valentin, mempertanyakan kepahlawanan Kartini, bla-bla-bla. Banyaklah pokoknya.

Itu karena kita merdeka. Bicara saja sampai mulut berbusa. Bahkan kita juga merdeka berpendapat bahwa kita belum merdeka. Belum merdeka karena korupsi di mana-mana. Belum merdeka karena jalan depan rumah sampean belum diaspal. Belum merdeka karena hutang tak lunas tujuh turunan. Merdekalah untuk tak merdeka.

@wilsonsitorus: Lambat-laun, merdeka menjadi kata kerja yg rumit, meski awalnya simpel sahaja

Wahai, Tuan, tafsir kemerdekaan kini macam-macam. Tapi tolong jangan buru-buru mencap kafir atau sesat pada sekte yang meyakini kemerdekaan dengan berbeda. Juga menahan diri untuk tak tergesa mereduksi makna merdeka.

Dahulu Bung Karno dengan mantap hati memproklamasikan kemerdekaan RI. Syarat negara ada 3; wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, dan seterusnya itu tugas negara (yang merdeka tentu saja) kemudian. Tugas kita semua.

Tapi sudahlah saya ikut apa kata orang saja. Dari pada sembarangan menafsirkan malah salah kaprah. Lebih baik menunggu fatwa para cerdik cendikia. Sembari piknik santai, menikmati kopi, dan menyaksikan pawai MOGE yang mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok