“Alhamdulillah...” saya membuka ceramah. “Alhamdulillahilladzi adzhaba anil adza wa affani.”
Para tamu khidmat menyimak.
Panitia tampak semringah, puas melihat pembicara yang diundangnya terdengar ‘berat’.
Saya menyambung, “Itu tadi doa yang biasa saya ucapkan setelah buang air.”
Panitia terhenyak. Hadirin riuh kecil. Barangkali merasa terkecoh.
Banyak hal di dunia ini yang tak seperti kita kira. Saya pernah membaca judul berita begini, “Hak Pekerja Dikurangi Karena Harga Dolar Tinggi”. Di situ kita mudah menyimpulkan bahwa ada pelanggaran. Ada hak yang tidak diberikan. Setelah saya baca isi beritanya, ternyata dugaan saya salah. Bukan hak yang dikurangi, tapi lemburannya.
Apakah jika pengusaha mengurangi jam lembur pekerja itu sama dengan mengurangi haknya? Apakah ada yang dilanggar pengusaha? Tidak. Tapi jika pekerja sudah melakukan lembur sesuai perintah pengusaha, namun pekerja tidak dibayar atas lemburnya, itu baru pelanggaran.
Ada contoh pengurangan hak pekerja yang lebih pas. Misalnya seperti cuti tahunan yang 12 hari per tahun, hanya diberikan 10 hari. Itu baru “hak pekerja dikurangi”.
Pernah juga membaca judul berita, “Kuota Impor Dibatasi Mengakibatkan Harga Sapi Naik”. Ada yang salah? Tidak ada, sampai sampean sadar bahwa kuota adalah batas itu sendiri. Menurut KBBI, kuota adalah jatah. Di mana ada jatah berarti terdapat batas. Pada kalimat “kuota dibatasi”, di situ ada pemborosan kata. Mubadzir.
Lalu bolehlah kini kita mulai kritis pada pemberitaan media. Tak cuma redaksinya, terlebih soal isinya. Ternyata jurnalis juga manusia-yang katanya tempat salah dan lupa. Al insanu machalul khotho’ wa nisyan.
Memang, mungkin saja ada banyak hal yang tak seperti kita kira. Sepuluh tahun lalu siapa yang mengira Teuku Wisnu bakal menjadi ustadz? Tapi sekarang, alhamdulillah, belionya sudah mantab hati berdakwah. Ana tak faham apa alasannya, tapi kehendak baik saja sudah harus dihitung sebagai perbuatan mulia. Apalagi amalnya yang mencerahkan anta sekalian, ya Akhi wa Ukhti.
Tak penting menelusuri sanad keilmuan yang bersangkutan, belio sudah belajar apa saja, dan sebagainya itu tidak perlu. Merepotkan. Zaman sudah demikian maju, tinggal ketik kata kunci di mesin pencari, Mbah Google bisa menjadi sumber ilmu yang siap disyiarkan. Menjadi dai instan itu mudah.
Kata ‘ustadz’ sebenarnya jarang digunakan, setidaknya di lingkungan saya. Tradisi kami menyebut guru-mengaji sebagai kyai. Yang berceramah di panggung pengajian itu kami sebut mubaligh.
Kami dulu hanyalah santri kuno. Belajar ilmu Islam melalui kitab-kitab yang buluk warnanya. Maka banyak yang menyebut itu kitab kuning. Barangkali karena saking buramnya kertas yang digunakan. Untuk membacanya pun repot. Beruntung kalau ada kitab yang sudah berharakat. Jika tidak santri harus menguasai ilmu alat; nahwu & sorof. Karena tidak beraharakat itulah orang menamainya kitab gundul. Macam tak punya rambut (harakat).
Yang awal dipelajari sebut saja kitab Ta’limul Muta’alim, Sulam Safinah-Sulamuttaufiq, Akhlaqul Banin, Mabadi’ul Fiqhiyah, dan yang sangat terkenal adalah kitab Al-Ibriz; karya Mbah Bisri Mustafa, kyai Rembang. Al-Ibriz berisi Quran beserta tafsirnya yang tentu saja dalam huruf pegon. Pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa. Jangan harap ada huruf latin di sana.
Bagaimana dengan ilmu alat-nahwu & sorof tadi? Itu seharusnya mendasar bagi mereka yang ingin memahami Quran. Betapa berbahayanya mereka yang menerjemahkan dalil dengan serampangan, tanpa bekal yang cukup, tanpa pemahaman pada ilmu alat. Lalu dengan mudah menyalahkan, mendosakan, mengkafirkan, mengharamkan. Padahal itu cuma habis baca Quran terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Abdullah Darraz berkata, fa kana hadzqu al-lughah al’arabiyyah ruknan min arkan al-ijtihad, mengetahui lika-liku bahasa Arab adalah persyaratan awal menjadi mujtahid. Tak mungkin seseorang bisa memaknai apalagi menafsirkan al-Qur’an jika yang bersangkutan tak menguasai gramatika bahasa Arab.
Tapi ustadz Teuku Wisnu tentulah seorang mujtahid yang mumpuni. Maka ketika ia menghukumi sesuatu patutlah kita dengarkan. Termasuk di antaranya hukum mengirim Al-Fatihah yang belakangan ramai di media.
Saya masih ingat salah satu kitab syi’iran dibuka dengan begini. Alala tanalul ilma illa bi sittatin, ilmu tidak akan menghasilkan kecuali adanya 6 perkara. Dzukain wachirshin washthibari wabulghotin wairsyadi ustadzhi wathuli zamani, yaitu cerdas, semangat, sabar, ada biaya, petunjuk guru, dan waktu yang lama. Akan panjang kalau bicara tentang ini. Tapi kira-kira maksud saya begini. Ustadz Teuku Wisnu tentu telah melewati 6 perkara itu untuk sampai pada ‘menghukumi’. Subhanallah.
***
Suatu ketika saya mengganggu kawan dengan pertanyaan, “Apakah Quran itu kitab?”
Sampean boleh ikut mencari jawabannya. Itu pertanyaan dari santri bodoh dan gagal macam saya. Tapi kenapa Quran itu disebut kitab/tidak kitab?
Kita tarik mundur (sedikit saja) menggunakan ilmu alat. Jika kitab berasal dari kata ‘kataba’ yang berarti menulis, lalu kitab diartikan sebagai tulisan, apakah Quran bisa disebut kitab? Sementara penerima wahyu itu ummi, tidak membaca dan menulis. Mudeng? Puyeng?
Nabi Muhammad adalah penerima wahyu Quran. Nabi Muhammad tidak membaca dan menulis. Lalu bagaimana Quran bisa disebut kitab (tulisan)?
Masih ndak ngeh? Mari minta petunjuk pada junjungan kita Ustadz Teuku Wisnu yang mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Warung Kopi Kothok