18 Juni 2013

Apriori

Sssttt... Jangan berisik. Emak lagi asik nyimak berita politik. Itu lho soal kenaikan harga BBM. Masuk berita politik? Walah, walah. Dari bawang, sapi, sampai BBM juga kecipratan politisasi. Hush!

Subsidi BBM akan dicabut. Wacananya. Baru wacana saja sudah membuat goncang pasar. Biasanya yang bikin pasar goncang kan cuma arisan. Apalagi kalau yang dapat arisan tidak bagi-bagi rezeki.
"Ya apa, kek. Traktir es dawet atau apa gitu!" Gerutu tukang becak.

Padahal uang arisan itu paling pol buat beli mie instan. Lumayan, selingan menjelang ramadan. Cukup kalau cuma dibagi 3 porsi sehari. Dia sendiri, suaminya, dan anak semata wayangnya.

Eh, sebentar, Bu, Mbak, Yu, Teh, atau siapa lah. Interupsi! Mie instan itu tidak baik buat kesehatan lho. Memang praktis, mudah, uenak tenan, buka bungkus lalu siram air panas, maka jeng-jeng-jeng jadi. Tapi bagaimana organ tubuh yang melulu diasupi, 20 tahun lagi? Kita dibayang-bayangi kanker lho. Pokoknya banyak keburukan yang ngumpet di balik tedheng aling-aling tepung keriting itu.

"Begini, Dik," jawab Ibu yang dapat arisan, "20 tahun lagi belum tentu saya masih ada. Lebih baik menikmati yang sekarang ada saja. Lagipula kalaupun masih ada, syukur 20 tahun ke depan bisa bertahan dengan mie instan. Maksud saya, tanpa mie instan mungkin hidup saya cuma sampai minggu depan. Sekarang saya cuma bisa makan mie instan buat hidup. Masih terjangkau. Kalau sudah melambung, ya sudah, tamat."

Bukan, bukan begitu maksud saya. Kata para ahli, kita hidup harus dengan kiat. Orang dulu meski kere juga, maaf lho, tapi bisa bertahan. Sama-sama tidak mampu beli beras. Tapi ada gaplek, thiwul, dan kawan-kawan. Soalnya kalau terus-terusan makan mie instan, kasian keturunan kita.

"Biarlah para ahli mengoceh. Itu kan kerjaannya. Kalau tidak begitu mana laku. Ahli menakut-nakuti, tidak pernah memberi solusi. Hidup orang macam saya ini sudah ngehe, jangan dibikin makin serem dengan prediksi-prediksi. Makin nyahok."

Tapi subsidi BBM ini sungguhan membebani APBN. Siapa mau bayar hutang luar negeri? Bayar pakai apa? Kalau akibat mie instan masih mending, tidak bisa bayar obat ya biarkan saja, kan mati sendiri. Lha negara kita, masak mau dibikin, maaf, mampus?

"Lho, lho, saudara ini jangan memelintir perkara. Tadi kan kita bicara soal mie instan. Kenapa jadi BBM dibawa-bawa? Mana produsernya? Saya berhenti. Lanjutkan sendiri ceritanya! Orang saya dibayar buat ngomong mie instan kok. Boleh dong saya menolak ngomong BBM. Kontraknya kan sudah jelas."

Lhadalah. Ibu itu keluar dari studio. Saya jadi sendirian.

Saya buka FB. Ada notifikasi dari grup almamater kampus. Ternyata sebuah ormawa (organisasi mahasiswa) eksternal melakukan propaganda buat turun ke jalan. Agendanya menolak kenaikan harga BBM. Mereka mengaku berkoalisi dengan rakyat.

Hampir semua (sepertinya semua) alumnus menentang. Menurut saya sendiri, ormawa itu terlalu grusa-grusu. Karena saya yakin mereka belum melakukan diskusi dengan ahli, atau pengamat, atau setidaknya mengadakan forum pengkajian yang terbuka. Ada jalur audiensi, dan lain-lain.

Motifnya, yang saya amati, adalah solidaritas. Kebetulan ormawa ini berkelas nasional. Isu demonstrasi turun dari pusat, yang di daerah langsung tancap. Solidaritas, barangkali.

Santai. Selow. Calm down. Cuma karena aksi mahasiswa di Indonesia pernah 2 kali menumbangman rezim berkuasa, sekarang apa-apa maunya 'aksi'? Waduh, gawat beneran.

Jalur-jalur intelektual belum ditempuh, jangan tahu-tahu pakai cara preman ya. Reminder saja. Banyak jalan menuju Roma. Lewat begadang, misalnya. Atau Angel Lelga. Eh.

Demonstrasi ini dipayungi mendung sepanjang hari. Bukan cuma mendung, tapi juga gerimis. Di beberapa tempat bahkan sampai hujan. Lhoh, hujan? Ini kan bulan Juni?

Begini, saudara, ilmu petani hari ini sudah tidak apriori. Pak Tani bilang kalau Januari itu hujan sehari-hari. Tiba Juni, giliran hujan melipir pergi. Itu dulu. Sekarang sudah bukan apriori.

Hujan turun di bulan Juni justru makin bikin orang mengenang Sapardi Djoko Damono (SDD). Linimasa penuh SDD. Ini anomali, saudara! Dulu orang berelegi lantaran hujan itu di bulan Desember. Kalau Juni, orang menyanyikan lagu rindu kepada hujan. Hujan jangan marah, kata Efek Rumah Kaca.

Wah ini sungguhan anomali. Dulu, dulu sekali, waktu salah satu menteri kita menjadi presiden OPEC, kita eksportir minyak. Sekarang? Katanya, minyak yang menurut konstitusi menyangkut hajat hidup orang banyak itu melimpah di Nusantara. Lha kok pakai acara ngimpor?

Sabar, jangan curiga. Ternyata kita cuma sedang merayakan globalisasi. Kita bancakan sama-sama. Tapi kok tumpengnya dari kita semua. Yang dari luar mana? Coba cek. Yang di sana dikuasai asing. Yang di sini di tangan asing. Oh ya, ini globalisasi, ding. Tapi kok sampai hajat hidup kita dikelola asing? Lhadalah!

Kita dulu berjuang mati-matian, berdarah-darah, mengusir penjajah. Supaya mereka tidak ikut-ikutan, mengobok-obok, hajat hidup kita. Sekarang? Sesungguhnya dari mana akar anomali ini? Apa hujan yang turun sekonyong-konyong tanpa permisi di bulan Juni? Duh, Bung, rebut kembali!

@yellohelle: juni berakhir pada hari ini.

Ya Tuhan. Ini kan masih tanggal 17.

"Ndak papa kalau mau turun ke jalan. Ndak dilarang. Tapi izin ya, juga tertib, jangan nyusahin orang lain. Ini aja udah susah, jangan ditambah." Kata Ibu yang dapat arisan tadi. Lho kan sudah keluar studio. Kok masuk lagi. Honornya kurang?

"Kan saya juga punya aspirasi!" Si Ibu sewot.

Nah ini malah datang gerombolan anak muda. "Demo itu harus rusuh! Kita belajar dari pengalaman. Ingat tahun '66 & '98? Kalau waktu itu tidak rusuh, tidak mungkin ada hasilnya. Jasmerah, kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah sudah dicatat, kami melanjutkan!" Teriaknya.
Kok jadi runyam. Oke. Mudah-mudahan itu bukan demo pesanan ya.

Mereka mulai menyanyikan anthem
"Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan..."

Lho, lagu itu kan juga pesanan. Wealah. Gusti, tulung, Gusti...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok