14 Maret 2013

Garam

Pernah penasaran kenapa ada orang suka mengoleksi buku? Bukan koleksi sebenarnya. Lalu? Sebentar, yang saya maksud bukan buku-buku ilmiah yang di dalamnya berisi teori atau kajian atau apalah namanya. Beberapa di antaranya berkumpul rumus-rumus angker. Bukan itu. Yang saya maksud buku-buku bermuatan pengalaman penulis.

Memang hampir semua buku bermuatan pengalaman penulisnya, tapi ada buku yang ditulis berdasarkan apa yang benar-benar dialami. Bukan buku yang ditulis dari pengalaman tangan ke dua. Atau ke tiga. Dan seterusnya. You know lah!

Baiklah, saya ingin berbagi cerita kenapa ada orang yang suka membaca pengalaman orang lain. Sekarang anggap saja saya suka membaca pengalaman orang lain. Ya, sayalah orangnya.

Kita tidak selalu sepakat dengan apa yang ditulis seseorang atau berorang-orang. Entah di Koran, buku, media sosial, atau yang lainnya. Tapi kita terus membaca lagi dan lagi. Minggu depan terbit lagi, kita baca lagi. Meski sudah tahu akan tidak sepakat, kita baca lagi. Semacam orang yang tahu rokok itu mematikan, tapi sedot lagi, hisap lagi. Sejenis tapi beda spesies.

Buat saya sendiri membaca pengalaman orang bukan untuk berguru. Karena saya tidak berguru pada sebuah buku. Buku cuma alat yang dipakai para guru saja.

Ada dua alasan kenapa membaca pengalaman orang lain menjadi penting bagi saya. Pertama, penerbit tidak mungkin mencetak buku dari pengalaman yang biasa saja. Dari ribuan pengalaman manusia di muka bumi ini, ada satu-dua pengalaman yang terpilih. Untuk buku tadi. Ya, terpilih. Dengan begitu paling tidak sudah bergaransi “lain daripada yang lain”. Soal isinya ternyata sama dengan yang lain atau biasa-biasa saja itu urusan belakangan. Kita sudah biasa ditipu. Sebangsa perokok tadi, sudah tahu bakal ditipu tapi dipilih juga. Sebangsa tapi beda suku. Saya tidak sedang membicarakan pilkada, pilgub, atau pilpres (uhuk). Ini tentang pil-KB (uhm).

Alasan yang kedua, karena itu pengalaman terpilih, sangat mungkin sekali apa yang tertulis itu belum pernah saya alami sendiri. Jadi saya akan membaca pengalaman orang lain yang belum pernah saya alami. Sedikitnya saya akan tahu apa yang belum saya tahu. Sukur kalau bisa belajar darinya.

“Sudah banyak makan garam”. Begitu mereka menyebut orang yang banyak pengalamannya. Tapi garam yang dibuat di mana? Orang yang 50 tahun memakan garam Madura melulu tentu tidak sama dengan orang yang 20 tahun memakan garam yang berbeda-beda. Garam Cilacap, Rembang, Indramayu, dan seterusnya. Ya memang sama-sama asin. Tapi kadar keasinan di laut Jawa kan berbeda dengan kadar keasinan di laut Merah. Di laut Jawa lebih asin karena rumah-rumah di pemukiman warga terdekat tidak memiliki toilet, misalnya. Kalaupun saya belum pernah mencicipi garam Amsterdam, paling tidak saya bisa membaca pengalaman orang mengenai garam Amsterdam.

Memang  buku tidak seharusnya disembah. Tapi juga jangan dibakar.
Ada lirik lagu bagus (Jangan Bakar Buku – Efek Rumah Kaca)

… setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya
… setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi …
Bait demi bait pemicu anestesi …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok