Pernah penasaran kenapa ada orang
suka mengoleksi buku? Bukan koleksi sebenarnya. Lalu? Sebentar, yang saya
maksud bukan buku-buku ilmiah yang di dalamnya berisi teori atau kajian atau
apalah namanya. Beberapa di antaranya berkumpul rumus-rumus angker. Bukan itu.
Yang saya maksud buku-buku bermuatan pengalaman penulis.
Memang hampir semua buku bermuatan
pengalaman penulisnya, tapi ada buku yang ditulis berdasarkan apa yang
benar-benar dialami. Bukan buku yang ditulis dari pengalaman tangan ke dua. Atau ke tiga. Dan seterusnya. You know lah!
Baiklah, saya ingin berbagi cerita
kenapa ada orang yang suka membaca pengalaman orang lain. Sekarang anggap saja
saya suka membaca pengalaman orang lain. Ya, sayalah orangnya.
Kita tidak selalu sepakat dengan
apa yang ditulis seseorang atau berorang-orang. Entah di Koran, buku, media
sosial, atau yang lainnya. Tapi kita terus membaca lagi dan lagi. Minggu depan
terbit lagi, kita baca lagi. Meski sudah tahu akan tidak sepakat, kita baca
lagi. Semacam orang yang tahu rokok itu mematikan, tapi sedot lagi, hisap lagi.
Sejenis tapi beda spesies.
Buat saya sendiri membaca
pengalaman orang bukan untuk berguru. Karena saya tidak berguru pada sebuah
buku. Buku cuma alat yang dipakai para guru saja.
Ada dua alasan kenapa membaca
pengalaman orang lain menjadi penting bagi saya. Pertama, penerbit tidak
mungkin mencetak buku dari pengalaman yang biasa saja. Dari ribuan pengalaman
manusia di muka bumi ini, ada satu-dua pengalaman yang terpilih. Untuk buku
tadi. Ya, terpilih. Dengan begitu paling tidak sudah bergaransi “lain daripada yang lain”. Soal isinya
ternyata sama dengan yang lain atau biasa-biasa saja itu urusan belakangan.
Kita sudah biasa ditipu. Sebangsa perokok tadi, sudah tahu bakal ditipu tapi
dipilih juga. Sebangsa tapi beda suku. Saya
tidak sedang membicarakan pilkada, pilgub, atau pilpres (uhuk). Ini tentang
pil-KB (uhm).
Alasan yang kedua, karena itu
pengalaman terpilih, sangat mungkin sekali apa yang tertulis itu belum pernah
saya alami sendiri. Jadi saya akan membaca pengalaman orang lain yang belum
pernah saya alami. Sedikitnya saya akan tahu apa yang belum saya tahu. Sukur
kalau bisa belajar darinya.
“Sudah banyak makan garam”. Begitu
mereka menyebut orang yang banyak pengalamannya. Tapi garam yang dibuat di mana?
Orang yang 50 tahun memakan garam Madura melulu
tentu tidak sama dengan orang yang 20 tahun memakan garam yang
berbeda-beda. Garam Cilacap, Rembang, Indramayu, dan seterusnya. Ya memang
sama-sama asin. Tapi kadar keasinan di laut Jawa kan berbeda dengan kadar
keasinan di laut Merah. Di laut Jawa lebih asin karena rumah-rumah di pemukiman
warga terdekat tidak memiliki toilet, misalnya. Kalaupun saya belum pernah
mencicipi garam Amsterdam, paling tidak saya bisa membaca pengalaman orang
mengenai garam Amsterdam.
Memang buku tidak seharusnya disembah. Tapi juga
jangan dibakar.
Ada lirik lagu bagus (Jangan Bakar
Buku – Efek Rumah Kaca)
… setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya
… setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi …
Bait demi bait pemicu anestesi …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Warung Kopi Kothok