14 Juni 2011

Cemburu

Sudahlah, jangan bertanya terus. Saya tidak semengerti yang kalian kira. Soal pengalaman saya pikir kita sama. Kurang lebih 20 tahun bertemu orang-orang yang berbeda. Menghirup udara yang sama. Memijak tanah yang sama. Dipayungi langit yang sama. Bumi kita sama. Negara kita sama. Kalaupun memang berbeda mungkin cuma satu dua tahun. Atau paling pol tiga empat tahun. Malah beda kita cuma dalam hitungan bulan dan hari, bahkan jam. Itupun waktu saya yang lebih singkat. Jadi berhentilah bertanya!



Baik kalau kalian memaksa. Tapi untuk kali ini saja.

Cemburu? Cemburu itu gejala wajar manusia. Artinya kalau kamu bisa merasakan cemburu, kamu boleh tenang karena kemungkinan kamu manusia. Ditambah beberapa syarat mutlak lain, baru kamu bisa mengantongi KTP. Karena penduduk itu manusia. Kamu bebas menikmati fasilitas-fasilitas khusus manusia. Banyak LSM yang siap membela kalau kamu dihalang-halangi menikmati fasilitas tadi. Fasilitas asasi tentunya.

Jadi jangan khawatir, kamu sedang dicoba sebagai manusia. Kalau ujianmu gagal, … saya tidak mau mengatakan … .

Baik, baik, kalau gagal predikat manusiamu bisa dicopot. Memang menyeramkan. Tapi apa boleh buat. Ini aturannya.

Tenang saja, semua manusia merasakan cemburu yang juga kamu rasakan. Hanya takarannya berbeda-beda. Cemburu itu nikmat. Percayalah, tak ada satu hal pun di dunia yang sia-sia!

Orang bilang, cemburu tandanya cinta. Tepat! Manusia cemburu karena ada cinta. Hidup penuh cinta tanpa cemburu bagaikan sekeranjang jeruk manis tanpa satu buahpun jeruk masam. Lalu seorang teman menyela, “Bukannya bagai sayur tanpa garam?”

Saya lanjutkan, itu pendapat orang lain. Sayur tanpa garam itu hambar. Rasanya bukan tak enak, tapi tak sedap. Dan lidah saya tidak terlatih menikmati rasa hambar, tak sedap. Tak enak juga sih. Saya harap kamu pun demikian.

“Lalu bagamaimana dengan jeruk tadi?”

Cinta itu nikmat. Cinta bukan hambar, tak sedap, apalagi tak enak. Cinta itu manis. Ingatlah betapa manisnya Ibu mengantarmu ke sekolah pertama kali. Betapa manisnya Ibu mendekapmu saat hujan badai di luar sana. Betapa manisnya Ayah membawakan mainan kesukaanmu. Betapa manisnya Ayah terjaga hingga larut menunggumu pulang. Betapa manisnya cinta itu.

Tapi apa jadinya kalau sekeranjang jeruk manis tadi kamu santap tiap hari selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun? Pelan-pelan rasa yang tersisa tinggal manis saja. Kamu akan lupa nikmatnya rasa manis jeruk-jeruk itu. Jadi yang kamu butuhkan hanya satu buah jeruk masam di dalam keranjang supaya kamu lebih menikmati jeruk manismu. Dua boleh, tiga dimaafkan, tapi jangan terlalu banyak!

“Jadi apa hubungan semua ini?”

Ternyata kamu perlu diupgrade. Banyak processor canggih di luar sana. Murah meriah. Obral. Kalau hanya mampu secondhand juga banyak yang jual. Pasar loak pusatnya.

Kesimpulannya, sekeranjang jeruk manis tanpa jeruk masam tetaplah manis. Sampai kiamatpun tetap manis. Tapi kamu akan sulit menghargai manisnya jeruk itu kalau sesekali tak merasakan jeruk yang masam. Kecaplah jeruk masam itu maka kamu akan menyadari betapa jeruk manis itu nikmat luar biasa. Tak ada kertas paling putih kalau tak ada yang lebih hitam. Minimal lebih buram. Mau kertas terputih harus paham bagaimana yang lebih buram. Tidak mungkin mengakui paling putih kalau tak tahu ada yang buram.

“Dipermudah sajalah!”

Cinta itu manis. Cemburu itu masam. Cinta tanpa cemburu itu tetap manis. Tapi cinta dengan cemburu itu terasa lebih manis. Cinta dengan cemburu itu nikmat. Cemburu itu milik tiap manusia. Tiap orang. Kamu, saya, dia, mereka, semua. Jadi kamu normal! Kamu pasti pernah cemburu ketika orangtuamu lebih memperhatikan kakak atau adikmu daripada kamu. Kamu mungkin cemburu saat orangtuamu lebih asik dengan pekerjaannya daripada menanyakan nilai ulanganmu. Cemburu itu manusiawi!

“Tapi yang saya tanyakan cemburu pada lawan jenis –dalam tanda kutip! Itu lho si DOI!”

Ya sama saja. Tetap berlaku seperti itu. Tapi hati-hati jangan jeruk masamnya kelewat banyak! Nanti menyusahakan orang lain, menyusahkan diri sendiri juga. Salah-salah malah over dosis, cilaka Ente!

“O… ya, ya! Kamu kok pinter to?

Bukan saya yang pinter, tapi kamu yang belum paham. Semua orang juga pasti ngerti hal-hal begini. Kebetulan saja kamu bertemu saya. Kebetulan pula saya yang pertama membantumu memahami hal begini. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok