12 Juni 2011

Berkendara

Saya benci menjadi melankolik. Tapi semakin saya membenci semakin menyiksa pula ketika dia datang. Biarlah, kita tak dapat merasakan nikmatnya keceriaan kalau belum pernah merasakan sendu. Dari melankolik juga blog ini jadi penuh.

Menjalani hidup sudah seperti berkendara di jalan raya saja. Sometimes bertemu persimpangan semrawut tak ada rambu lalu lintas. Tak semua persimpangan seberengsek itu tentu saja. Ada juga-malah banyak- yang penuh dengan rambu. Beruntung kalau melewati jalan seperti ini. Ada peringatan lampu kuning supaya mengurangi kecepatan. Banyak kendaraan-kendaraan lain tak kalah bernafsu ngebut daripada kita. Mereka juga punya kepentingan. Apapun itu. Meski cuma berkepentingan pamer kenekatan.

Saat lampu merah kita wajib berhenti. Ibarat menulis karangan, kita harus segera membubuhkan tanda titik. Mau dilanjutkan dengan kalimat baru atau paragraf baru, itu urusan nanti. Yang penting berhenti dulu. Kalau kita termasuk orang pamer nekat, jangan heran kalau tiba-tiba diseruduk kendaraan-kendaraan lain dari samping kanan kiri. Failed lah sudah. Itu kalau beruntung, kalau tidak ya game over.

Yang serasa nikmat, bebas, dan menyenangkan adalah ketika nyala lampu itu hijau. Bagi orang yang grusa-grusu pasti kendaraannya dipacu sekencang dia bisa. Namun sebagian lagi lebih memilih tetap pelan. Tergantung selera dan pertimbangan.

Saya termasuk orang yang cukup pelan. Tapi kadang juga harus ngebut. Semua pengendara selalu punya alasan untuk pelan atau ngebut. Bukannya pelan untuk mengulur waktu, bukannya takut ini atau itu, tapi usia yang menjadikan saya harus penuh pertimbangan. Dulu saya juga pengebut jalanan. Wajarlah abu-abu. Tapi sekarang lain cerita. Bagaimana kalau tiba-tiba jalan di depan penuh lubang? Bagaimana kalau mendadak ada orang nyeberang? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Semua harus diukur.

Saat ini saya sedang berada di persimpangan. Nyala lampu lalu lintas di depan sedang hijau. Tujuan awal saya lurus ke depan. Tapi lihatlah jalan melintang ke kanan dan ke kiri yang sepertinya teramat bebas untuk dilalui. Entahlah, lampunya di mana-mana. Kalau mendadak banting setir, bahaya mengancam. Kendaraan-kendaraan di belakang siap menghantam. Mungkin saya harus tetap lurus. Nanti kalau waktu membawa saya ke jalan melintang itu, biar saya jalani.

Di depan sana mungkin ada jalan berlubang, berdebu, berair. Mungkin suatau saat nanti saya harus melalui jalan-jalan tikus. Sempit, ramai, padat, berisik. Sama saja seperti jalan protokol.

Atau nanti saya putuskan untuk melewati jalan tol. Berharap lebih nyaman dari jalan konvensional. Ah, itu nanti. Sekarang biar saya jalankan lurus dulu.

Besok kalau saya lihat kamu di pinggir jalan, kamu boleh menumpang. Barangkali tujuan kita sama. Takdir yang akan memperjelas siapa nanti yang berkendara bersama saya sampai mana. Bisa jadi kelak saya yang menumpang orang lain. Kamu juga harus mau memberi tumpangan kalau memang saya butuh tumpangan.

Biarlah waktu yang menegaskan. Sekarang saya harus berkendara dengan tujuan semula. Kita memang harus konsisten. Sudahlah, sudah. Saya harus jalan. Kendaraan di belakang mulai berisik memainkan gas dan menyalakkan klakson. Iya Pak, Bu, Dik, Bro, Gan, Ndes, Dab, Cuk, …, sabar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok