26 Januari 2016

LGBT

Pada lagu melayu saja saya kikuk bagaimana harus bersikap, jangan ditanyai LGBT. Berat! Itu bagian menteri atau ulama saja. Kalau Menristek dinilai tak cakap berkomentar sampai dihujat, barangkali presiden harus membentuk kementerian baru. Kementerian Urusan LGBT, misalnya, seperti usul @ryuhasan.

Di samping itu Majelis Ulama junjungan kitapun siap sedia jika ada pesanan. Seperti biasa, selalu sigap dan tanggap membaca peluang.

Postingan ini diwarnai pile of crap kabar-kabar aktual, jadi sampeyan memang harus up to date buat mengikuti. Gaya betul!

Sebagai musikus (bukan musisi! Musisi itu bentuk jamaknya!) amatir, saya gamang bagaimana harus memandang lagu melayu. Pun cuma memandang.

Kalau sampeyan punya ide tolong ajari saya.

Lagu melayu paling enak diejek. Pertama, karena saya bukan bagian darinya. Ke dua, musikalitasnya rendah, tak berkelas, pokoknya murahan. Katanya. Ke tiga, karena banyak orang yang melakukan hal serupa. Jadi saya aman sebab tak sendirian.

Seolah lagu melayu memang pantas diejek, direndahkan, ditepikan, disingkirkan, dinomor-dua-atau-tiga-kan. Pun pada LGBT. Seolah dunia menjadi lebih baik dengan mengejek, merendahkan, menepikan, menyingkirkan, menomor-dua-atau-tiga-kan, atau nol bahkan.

Itu bukan berarti keberpihakan saya pada LGBT, bukan. Kalimat sebelum inipun bukan berarti penolakan. Jadi saya ada di kubu mana? Hambuh! Pokoknya saya tidak mau dibully karena dinilai berpihak atau tak berpihak.

Jangan membenturkan saya pada dalil-dalil agama (Islam). Kalau sampeyan sudah khatam kitab-kitab klasik yang membahas fiqh untuk waria, silakan ceramahi saya.

Begini duduk soalnya. Kalau ada fiqh yang memberi jalan tengah bagi kaum minoritas itu, artinya agama mengakomodir keberadaannya. Maka tak perlu buru-buru dibenturkan pada moral minoritas di atas. Tapi sekali lagi ini bukan menandakan keberpihakan saya atau tidak. Jadi jangan dibully.

Jika suatu hari saya lihat sampeyan mendengarkan lagu melayu, takkan saya bully. Ya mau gimana wong nyatanya ada kok. ‘Kan enak menikmati lagu yang cetek-cetek saja. Tak perlu pakai pelampung. Meh.

Moral lagu bukan urusan saya. LGBT-pun demikian. Kenyataannya mereka ada. Agama macam apa yang kemudian menepikan umat manusia? Bagaimana ia disebut agama jika tak mencakup seisi alam? Katanya saja "rahmatan lil alamin".

Jadi LGBT diterima? Ya, mudah saja, asal jangan keluarga saya. Lha. Ah, sudah saya katakan sejak awal saya gamang. Kikuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok