07 Desember 2012

Omelan

Desember. Bulan yang melankolik. Kata Cholil (Efek Rumah Kaca), selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam. Benar memang. Bulan ini membuat setiap orang berelegi, meskipun cuma dalam hati. 

Saya jadi asik melamun. Menikmati sisa hujan atau gerimis. Tanpa secangkir kopi. Tanpa pelangi. Merenung dan bertanya, mengapa Tuhan mengirim saya ke sini. Ke tempat ini. Mengapa bukan tempat yang lain. Akan dibentuk menjadi manusia yang bagaimana saya ini. 

Ingatan saya tidak terlalu kuat, sekuat Irex atau Purwoceng, tidak. Tapi saya masih mampu mengingat, bahwa saya sudah banyak mengomel. Dan karena tidak terlalu kuat itulah saya tidak tahu sudah berapa kali mengomel. Bisa juga karena keterlaluan banyaknya.

Kadang saya berpikir, memangnya siapa yang saya omeli itu. Pantaskah saya mengomel. Adilkah jika korban omelan saya itu menjadi sasaran ketus yang inferior. Tapi beberapa kali atau malah banyak kali saya merasa harus mengomel. Jadi, dalam waktu super singkat omelan saya menjadi terasa mutlak benar. 

Saya bukannya tak paham, omelan saya akan membawa omelan berikutnya pada orang yang tak tahu apa-apa. Suami/isteri orang yang saya omeli misalnya. Omelan dari orang pertama pada orang ke dua, seringkali menjadi omelan dari orang ke dua pada orang ke tiga. Dan seterusnya. Maka, maafkanlah saya Bu, Pak, Om, Dik, semua saja. 

Karena, asal tahu, saya tak selalu menjadi orang pertama yang mengomel. Bisa jadi saya orang ke dua yang di omeli orang pertama. Dan karena saya merasa mengemban tugas mengomel pada orang berikutnya, maka berlanjutlah rantai omelan itu. 

Beberapa saat situasi ini seperti keruh, tapi kelak kita akan sama-sama menyadari bahwa mengomel bukan cuma mengandung omelan belaka. Ada pesan-pesan tersembunyi yang harus kita pelajari. Dari itulah rantai omelan sulit terputus. Kodratnya yang nomaden dari orang pertama ke orang berikutnya telah tertulis di kitab kehidupan kita. 

Bagi sebagian orang omelan layaknya kentut. Ditahan menjadi penyakit. Kembung, dan lain-lain. Maka sungguh bukan perkara sederhana menikmati omelan betapapun menyakitkan kedengarannya. Seperti orang yang ikhlas dihadiahi kentut, bahkan saat santap makan siang. Selamat menikmati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok