11 Februari 2011

Mengaji

Meskipun sama-sama membahas tentang islam, dalam pemahaman saya pengajian dan mengaji itu berbeda. Seperti perbedaan antara kuliah umum dengan kuliah kelas/reguler –meskipun dengan pembicara yg sama. Kalau kuliah umum lebih banyak berbicara soal permukaan, kuliah kelas berbicara persoalan yg lebih khusus. Dengan begitu soal permukaan sendirinya akan terbahas.

Ibaratnya islam itu tanaman. Model pengajian akan banyak membahas buahnya, rantingnya, daunnya, atau batangnya. Selain membahas materi pengajian, mengaji lebih banyak membahas akarnya, tanahnya, pengairannya, pupuknya, iklimnya, literaturnya dst. Bahkan dengan mengaji, materi pengajian dapat lebih mudah dibahas.

Karena ini pengalaman pribadi saya, mungkin agak sulit dimengerti kalau belum dipraktekkan. Bandingkan, apa bedanya mengikuti pengajian akbar oleh Ustadz A atau Kyai B, dengan mengaji di pesantren/langgar/mushola/semacamnya tempat ustadz atau kyai tersebut mengajar santrinya.

Misalnya Kyai A mengisi pengajian dengan tema “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman”. Dalam mengaji mungkin kyai tersebut tidak akan membahas tema itu. Bisa saja ia membahas tentang “Syarat Syah Sholat”. Pembahasan tersebut akan dengan mudah mengarah pada wudlu - air suci mencucikan (thoharotul muthoharoh) – hadist: annadhofatu minal iman: kebersihan sebagian dari iman. Ya, semacam itulah.

Lagi, perbedaan pengajian dan mengaji terletak pada intensitasnya. Mungkin pengajian akan dilakukan pada hari-hari tertentu. Misalnya hari Maulud Nabi, Nuzulu Quran, dst. Kalau mengaji lebih intens lagi. Minimal sehari satu kali atau seminggu satu kali. Tapi kadang intensitasnya tidak selalu mewakili jenisnya –pengajian atau mengaji.

Belasan tahun sudah saya ikut mengaji di Langgar Irsyadussalam, Kelurahan Tambakromo, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Indonesia –pleonasm. Alhamdulillah di sini saya belajar banyak. Saya pikir kalau rutin mengaji, kita sudah sama dengan tholabul ilmi (mencari ilmu) di pondok pesantren. Terutama model Jawa Timur-an.

Mengaji di Langgar Irsyadussalam dilakukan dua kali sehari pada hari-hari biasa –lima kali sehari pada bulan Ramadlan. Sehabis maghrib dan isya. Materi mengaji ba’dal maghrib seperti mengaji dalam pemahaman kebanyakan orang, yaitu tadarus Quran. Tapi cara mengajinya tidak seperti di tempat-tempat lain –sepanjang saya tahu. Santri menyimak gurunya membacakan ayat-ayat Quran, setelah itu kitab ditutup lalu besoknya dibacakan lagi menyambung ayat kemarin, begitu seterusnya. Bukan, bukan begitu. Sang guru memang membacakan ayat Quran dan santri menyimak, tapi kemudian santri harus mendarus. Besoknya sebelum guru menyambung dengan ayat selanjutnya, santri harus membaca ayat yg dibacakan guru kemarin. Sekarang giliran guru yg menyimak. Baru setelah itu sang guru membacakan ayat lanjutannya.

Sedangkan mengaji ba’dal isya membahas materi-materi tertentu. Tetapi pembahasannya tidak seperti dalam pengajian yg temanya ditentukan. Mengaji ba’dal isya membahas kitab tertentu. Kitab tertentu? Misalnya Al-Ibris yg berisi Quran beserta terjemahannya yg ditulis pegon (huruf hijaiyah gandul di bawah kalimat. Biasanya dalam bahasa Jawa), Tanbihul Mutaalim, Maslakul Abid, dsb.

Beberapa orang alergi terhadap kitab-kitab semacam ini –bahkan mengharamkan. Biasanya dengan sinis mereka menjauhi. Mungkin orang-orang ini termakan dalil bahwa dasar Islam Cuma ada dua (dan saklek) yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Dan bisa saja mereka lupa atau sama sekali tidak tahu bahwa Rosul Muhammad memerintah kita agar mengikuti jejaknya, sahabat-sahabatnya, tabi’in, tabi’it tabi’in, dst. Apa hubungannya?

Begini. Kita bahas dulu apa itu sahabat dan tabiit tabiin. Dalam bahasa Islam, sahabat rosul adalah orang yg sempat menyaksikan kehidupan Nabi Muhammad SAW: Wong kang ngonangi uripe Kanjeng Nabi. Baik itu di rumah, di masjid, di pasar, di sawah, di mana saja. Itulah mengapa dulu Imam Hanafi mengumpulkan hadist-hadist dari para sahabat Rosul. Mereka tahu persis apa yg diucap dan dilakukan Rosul Muhammad. Ingat definisi hadits? Hadits adalah semua ucapan dan tingkah laku Rosul.

Tapi lambat laun sahabat akan habis dari dunia. Itu sebabnya Rosul memerintah kita agar mengikuti jejak tabiin. Mereka adalah orang-orang yg mewarisi ilmunya setelah generasi sahabat. Artinya orang yg mengikuti jejak Rosul tapi tidak sempat menyaksikan kehidupannya. Kemudian ilmu itu diwariskan pada tabiit tabiin, tabiit tabiit tabiin, dst sampai sekarang.

Di antara tabiin tentu ada imamnya (pemimpin). Mereka adalah orang yg memimpin umat menjalankan syariat islam. Yang menjadi referensi atau rujukan tentang islam. Umumnya, dunia mengenal imam sebagai pewaris ilmu Rosul yg terdekat –setelah sahabat. Mungkin satu sampai tiga atau empat generasi di bawah sahabat. Barangkali mereka adalah Ulama (para ahli ilmu) generasi pertama. Ada 4 imam yg paling dikenal dunia dan menjadi panutan umat islam sampai hari ini. Imam Hanafi, Imam Syafii, Imam Maliki, dan Imam Hambali. Kenapa ajarannya berbeda? Sebenarnya tidak ada perbedaan, hanya saja mungkin referensinya berbeda atau ijtihadnya berbeda. Kita memang diperbolehkan berijtihad atau menafsirkan dalil.

Setelah generasi imam, ilmu warisannya lebih baku karena bermodel seperti kurikulum. Mereka membukukan hasil tafsir menjadi kitab-kitab. Dan pewaris setelahnya adalah tabiit tabiin yg dipimpin ulama. Tidak sedikit alim (bentuk tunggal ulama) yg mengarang kitab. Tentu saja hasil ijtihad.

Nah, kitab-kitab inilah yg digunakan mengaji di Langgar Irsyadussalam. Kitab-kitab itupun tetap berdasarkan Quran dan Hadits. Biasanya isinya adalah dalil dari Quran atau Hadits kemudian ditafsirkan maksudnya. Kalau Quran berisi 30 juz, kitab-kitab ini hanya membahas bagian kecil dari juz tersebut. Misalnya kitab Sulam Safinah membahas persoalan fiqh atau hukum-hukum islam. Di dalam Sulam Safinah nanti akan membahas beberapa hukum islam seperti rukun sholat, hukum nikah, hukum waris, dll. Disertai hadits berikut riwayatnya, dalil Quran, pendapat alim, dst. Mengapa ada pendapat ahli? Kalau begini kita masuk dalam pembahasan tentang nahyidin (warga NU) saja.

Nahdlatul Ulama (NU) mengakui Ijma’ dan Qiyash sebagai pegangan muslim selain Quran dan Hadits. Ini bukan menyalahi aturan, karena Ijma’ dan Qiyash dituangkan dalam kitab-kitab tadi. Qiyash menerangkan hasil ijtihad yg tidak dijelaskan dalam Quran maupun Hadits karena pada masa Rosul belum ada kasus seperti ini. Misalnya, apa hukumnya orang meminum arak? Padahal dalil Quran dan Hadits membahas haramnya meminum “anggur”. Atau apa hukumnya orang mengendarai sepeda motor. Padahal dalil yg ada membahas kendaraan kuda dan onta. Ya, semacam itulah. Membahas hal-hal yg serupa tapi belum ada pada masa Rosul.

Sedangkan Ijma’ adalah pendapat ulama itu tadi. Hal ini dilakukan supaya sesuatu yg samar bagi masyarakat umum menjadi jelas. Contoh MUI mengharamkan rokok, dst –meskipun menurut saya pendapat tentang haramnya merokok itu agak naif. Tapi percayalah ulama lebih tahu daripada kita. Dengan demikian NU memiliki empat pegangan; Quran, Hadits, Ijma, dan Qiyash. Satu tambahan lagi, NU menganut Madzab Imam Syafii. NU mengaku ahlussunah wal jamaah (saya jelaskan nanti).

Saya cukup mengerti tentang NU karena Langgar Irsyadussalam termasuk basisnya. Kalau di luar Indonesia tidak ada NU atau Muhammadiyah. Mereka secara langsung mengikuti madzab imam ini atau itu. Tidak ada yg paling benar dari organisasi-organisasi atau imam-imam ini. Semua benar. Karena kalau kita memperdebatkan perbedaan yg ini, Islam bisa tertinggal jauh oleh zaman. Yang penting adalah bagaimana kita hidup berislam sebaik mungkin. Sesuai syariat.

Tapi meskipun ijtihad itu syah, jangan pernah termakan pendapat mencurigakan dari satu orang yg mengaku alim. Ingat! Pendapat ulama bukan alim. Karena ulama terdiri banyak alim, sehingga mempunyai bahan pertimbangan yg cukup untuk mengeluarkan fatwa. Kalau mendengar pendapat alim yg mencurigakan, tanyakan dulu kebenarannya pada alim-alim lain. Jangan telan begitu saja. Salah-salah kita menjadi sesat. Naudzu billah min dzalik.

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Apapun yg kita tempuh, ingat Rosul Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa umatnya nanti akan terpecah belah. Dari ke-72 umat hanya satu yg masuk surga. Mereka Ahlussunah wal Jamaah.

Lalu siapa itu ahlussunah wal jamaah? Apakah NU, Muhammadiyah, Jamaah Islamiyah, Ahmadiyah, LDI, atau yg mana? Ahlussunah wal jamaah adalah orang-orang yg mengikuti jejak Rosulullah Muhammad: Wong kang manut tindak-tanduke Kanjeng Nabi. Bisa disimpulkan, mereka yg tidak hanya mengerjakan perkara wajib saja, tapi juga perkara sunnah. Karena Kanjeng Nabi tidak hanya menjalankan kewajiban tapi juga hal-hal sunnah. Contoh hal sepele: wudlu itu wajibnya membasuh satu kali. Tapi karena Rosulullah membasuh tiga kali, kita harus mengikutinya supaya masuk ke dalam golongan Ahlussunah wal Jamaah.

Jadi, ahlussunah wal jamaah itu belum tentu orang-orang yg mengikuti Imam A, Organisasi B, Madzab C, dst. Lantas? Kembali pada diri kita masing-masing, apakah kita sudah “manut tindak-tanduke Kanjeng Nabi”.

Tambahan!
Kalau mau ikut mengaji di Langgar Irsyadussalam, silakan ikut sholat isya berjamaah di sana. Setelah itu akan langsung dimulai mengajinya. Tidak dibatasi umur santrinya. Tidak peduli dari NU, Muhammadiyah, atau yg lainnya. Tidak harus mengikuti Imam Syafii, Hambali, Hanafi atau Maliki. Tapi materinya berbasis madzab Syafii. Siapa saja boleh ikut. Paling lama Cuma satu jam kok. Dan tiap harinya memiliki jadwal kitab yg berbeda-beda.
Ikuti dulu, baru nilai sendiri. Mau tanya jawab tentang hukum islam? Datang saja. Tanya tentang tauhid, fiqh, adab, bahasa Arab atau tajwid? Bisa. Bahkan nahwu dan shorof pun bisa.
Mungkin anda tidak menyangka “wudlu kita tidak batal karena kaki kita menginjak tai”. Mengapa? Karena tidak ada dalil yg menyebutkan bahwa barang najis itu membatalkan wudlu. Tapi (menanggung) najis itu merusak sholat. Jelas beda. Cukup cuci kotoran itu, kita sudah bisa sholat.
Temukan hal-hal lain yg belum pernah anda sangka di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok