18 Februari 2011

Jangan Gerogoti Kharisma Penegak Hukum

Mengerikan. Lihatlah Indonesia hari ini, chaos di mana-mana. Kita merayakan demokrasi, kita melakukan apa saja dan berlindung pada dalil-dalil reformasi. Kita mengaku Bhineka Tunggal Ika, tapi membungkam dan meraibkan kerikil dari jalan pluralitas kita. Kita mengaku negara hukum, tapi berbuat seenak hatinya. Kita mengaku bangsa yg sopan, tapi dengan bangga menginjak-injak nilai moral yg kita punya. Kita menuntut kebebasan, dan benar saja, membakar rumah sebebas-bebasnya, membunuh orang sebebas-bebasnya, memaki pemimpin dan tetangga sebebas-bebasnya, menyerang penegak hukum sebebas-bebasnya, membebaskan terpidana sebebas-bebasnya, kebebasan sebebas-bebasnya. Kenapa tidak berlakukan hukum rimba saja?

Ketika terjadi kerusuhan di Makasar, Jakarta, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Cikeusik, Temanggung, mereka menyalahkan polisi. Mereka menuding ini-itu tapi tidak mau membantu. Melah mengompori orang semakin berani melawan dan anarki.

Media massa sudah saatnya ikut ambil bagian dalam menjaga stabilitas keamanan Indonesia. Bukan selalu melaporkan dunia apa adanya, tapi juga menggambarkan bagaimana dunia seharusnya ada. Bukankah masyarakat kota B akan berani melawan polisi kalau mendengar berita seperti ini,
“Terjadi kerusuhan antara masyarakat kota A dengan polisi. Tiga orang polisi dikabarkan tewas dalam kerusuhan tersebut, tujuh luka berat dan lima luka ringan. Empat orang warga yang awalnya ditahan karena diduga provokator telah dibebaskan setelah ratusan warga lainnya menduduki kantor polisi”


Tidakkah menyedihkan polisi-polisi itu. Apalagi ditambah dengan gambar-gambar warga membawa parang dan bom molotof, merobohkan pagar, membakar mobil, mengeroyok polisi, dst. Bayangkan apa yg akan terjadi kalau masyarakat kota B bersitegang dengan kepolisian. Masyarakat kota B unjuk rasa di depan balai kota misalnya. Bisa jadi nasibnya tidak akan beda jauh dari kasus kota A. Barangkali akan lain cerita kalau berita tadi menjadi begini,
“Terjadi kerusuhan antara masyarakat kota A dengan polisi. Warga kecewa karena tidak diizinkan memasuki balai kota. Beberapa orang melakukan perusakan pagar. Polisi menahan empat orang warga yang diduga provokator dan beberapa orang yang membawa parang maupun bom molotof dalam aksi ini”

    Bukankah masyarakat kota B akan lebih tertib. Setidaknya mereka enggan membawa bom molotof atau parang. Sukur-sukur tidak merobohkan pagar, atau malah tidak rusuh.

    Meskipun tidak mengajarkan anarki, tapi seolah-olah media telah memberi contoh bagaimana kekerasan itu lolos dengan dalih kebebasan. Parahnya lagi kalau penegak hukum dan pemerintah benar-benar kikuk menghadapi persoalan ini, bisa benar-benar rimba negara kita.

    Pada zaman seperti sekarang ini, media memegang peran besar dalam pembentukan opini masyarakat. Bagaimana menjaga opini masyarakat agar tidak kelewatan, bukan melulu menjual berita dan menggadaikan kabar.

    Ingat kasus perseteruan Indonesia-Malaysia? Ternyata kabar di Malaysia tidak seheboh di Indonesia. Opini dan reaksi masyarakat Malaysia tidak seliar di Indonesia –sampai membakar bendera Malaysia. Karena pers di sana memang menjaga perkembangan opini masyarakat.

    Memang ada kalanya kita harus bereaksi keras, tapi tidak harus dengan kekerasan. Bukankah segala sesuatu bisa diselesaikan secara intelek dan santun.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Warung Kopi Kothok