31 Januari 2011

Kompi

Berat rasanya harus terpisah dari kompi ini. Setahun lebih kami berjuang bersama-sama. Sekarang saya ditempatkan pada kompi baru yg anggotanya diambil dari kompi-kompi lain juga. Pasukan baru. Tapi keadaannya tidak terlalu buruk. Ada beberapa prajurit dari kompi lama di dalam kompi baru ini. Mereka bisa diandalkan untuk tahap awal.

Meskipun tujuan kami –anggota kompi baru- semua sama tapi nuansa kompetisi tidak bisa dihindari. Ada yg ingin diangkat menjadi kapten, ada yg kekeh dengan soalan gengsi, ada juga yg cuma ingin mengasah kemampuannya. Saya termasuk golongan prajurit ke tiga. Bagaimanapun kehidupan di luar kompi lebih terjal ketimbang di sini. Ini bahan latihan yg bagus.

Saya termasuk korektor paling keras dalam kompi. Meskipun akhirnya harus melunak setelah menangkap reaksi prajurit lain yg baru saya kenal di kompi baru. Prajurit-prajurit itu tipe orang yg tidak biasa menerima kritik. Mulutnya saja yg “iya”, sikapnya “tidak”. Memang benar mereka tergabung dalam pasukan khusus tertentu. Pasukan di luar kompi primer. Tapi sekarang saya jadi tahu, pasukan khusus itu “nothing”. Sepanjang koreksi saya, pasukan itu banyak cacat. Entah apa yg dikerjakan dalam kompi sekunder itu. Bisa saya pastikan prajurit-prajurit model ini akan segera terlempar begitu memasuki kompi sekunder macam yg saya ikuti. Benar saja, setidaknya saya mencatat dua prajurit kompi sekunder dari sana yg sama sekali gagal setelah masuk ke dalam salah satu kompi sekunder saudara kompi sekunder saya.

Gencatan senjata. Mungkin itu istilah yg tepat untuk mewakili apa yg saya lakukan. Gas kendaraan koreksi saya kendorkan. Karena percuma saja menekan prajurit yg otaknya seluas daun kelor. Mereka hanya menghendaki komentar-komentar menyenangkan dan melegakan. Koreksi pedas pasti mendapat tanggapan sentimentil. Mereka lupa, dengan koreksi kita maju.

Tapi sekarang saya harus melakukan somasi. Saya marah. Beberapa waktu lalu komandan mengutus kompi kami ke ujung bukit. Mereka meninggalkan saya. Saya tidak ingin membeberkan pembenaran. Karena kebenaran dalam pemahaman prajurit yg otaknya seluas daun kelor takkan bisa menerima koreksi. Akhirnya harus saya daki bukit itu seorang diri. Dan, sekarang saya tidak akan segan lagi mengkoreksi habis-habisan. Tak ada lagi kompromi untuk koreksi nanti. Bukan dendam, tapi realistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok