09 Januari 2011

Angka

Entahlah, sampai tidak tahu harus berkata apa lagi. Speechless. Kalimat pamungkas dan gaya bahasa andalan sudah habis untuk memenuhi ruang pena yg lalu. Motifnya masih sama seperti yg sudah-sudah. Serupa. Melamun, dan tiba-tiba sadar hal menarik.

Bangun tidur disambut harmoni suara genting yg diserbu pasukan langit. Kalau sudah begini bantal bisa menjadi seperti setan subuh yg meninabobokkan. Nyaman. Anehnya suasana tidak menjadi sebiru hujan Desember. Mungkin karena Januari adalah awal tahun. Tapi aura ini tetap menyenangkan untuk melamun.

Kelas yg membosankan. Saya tidak pernah menyangka akan bertemu mata kuliah finance di sini. Angka-angka itu menggeliat seperti penari-penari kecil di atas panggung. Indah. Memaksa kantuk menyerang. Sial ternyata, penari-penari di dalam kelas ini tidak diiringi musik merdu. Malah suara vocal dosen yg cempreng. Ditambah riuh kecil dan samar di luar ruang. Yang kadang pecah gelegar di antaranya. Sesekali gaduh dari dalam ruang ini sendiri. Guyonan dosen sekering udara gurun pun terpaksa harus mendapat apresiasi tawa dari penumpang kelas yg sama keringnya. Kadang terdengar suara decitan kursi besi beradu dengan lantai. Kursi jadul ini. Bahkan usianya lebih tua dari orang-orang yg sekarang di atasnya. Tertulis di belakang tiap sandaran; 87. Warisan. Masih ada sisi sesakit ini di dalam kampus hijau terakreditasi A.

Sebenarnya bukan baru pagi ini saya sadar dampak ketidaktertarikan pada materi. Bukan juga ketika masuk di perguruan tinggi. Saya benar-benar ingat waktu itu masih berseragam putih biru. Masa di mana saya mulai enggan bersahabat dengan angka.

Sepintar apapun dulu waktu sekolah dasar, sehebat apapun track record masa sebelumnya, berapa kali pun mewakili sekolah dalam lomba, sekarang tidak berarti apa-apa kalau tidak tertarik. Meskipun berhasil menjadi juara paralel semester satu, harus rela melepas semua itu setelah mengenal banyak hal baru yg menarik.

Di SMA saya mengambil keputusan yg tepat. Atau keputusan yg memaksa saya duduk di tempat yg tepat. Kelas social, terdengar menyenangkan. Tapi masih banyak berkutat dengan angka-angka.

Lepas dari sana, entah siapa yg tolol, mau-maunya mengejar bangku di kelas manajemen, ekonomi, dan akuntansi. Untungnya gagal. Terlempar di kelas bisnis. Lebih tidak menyangka lagi di sini memiliki system kampus yg tidak pernah saya bayangkan. Vokasi. Tapi kesialan tidak berhenti mengikuti. Angka.

Terlalu banyak melamun tiap terlibat di dalam kelas berangka. Tidak mungkin lagi tertarik pada mereka. Bahkan Tugas Akhir pun saya jauhkan dari keangka-angkaan. Bukankah IT lebih menarik. Lagi pula tidak ada larangan untuk menyusun itu.

Beberapa orang mengatakan saya lebih cocok di kelas sastra atau bahasa. Mungkin mereka mengerti ketertarikan saya menulis. Ada juga yg meminta saya pindah ke kelas seni. Barangkali mereka pernah melihat saya bermain gitar atau alat musik lain. Sebagian lagi menganggap saya akan lebih nyaman duduk di kelas social politik. Tapi sepertinya belum ada yg menganjurkan saya belajar di kelas media atau IT. Saya cukup tertarik.

Apapun kelasnya, dosen juga bertanggung jawab atas ketertarikan mahasiswanya terhadap mata kuliah. Rasanya begitu lebih bijak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok