30 Januari 2011

Halte

Aku berharap bus itu segera datang. Kakiku mulai linu berdiri di sini, entah sudah berapa lama. Langit barat tampak lebih mellow ketimbang beberapa jam tadi. Guratan-guratan kumal tapi teratur di sana menegaskan hari semakin tua.

Untungnya aku tidak sendiri. Beberapa orang berdiri di sampingku. Bayang-bayang mereka cukup membuatku teduh. Aku mencari kesempatan di sisi jalan lain. Halte ini berada di tengah jalan-jalan protokol. Dari sini terlihat sibuk sekali kehidupan jalanan.

Kami menuju Terminal A, dari sebuah SPBU di perbatasan kota. Setelah mendapat petunjuk dari seorang paruh baya di sana, kami segera mencari bus yg dimaksud. Yah, aku haus. Tidak mungkin kubiarkan kerongkonganku terus berontak. Sambil kuselesaikan soal pembayaran ojek yg mengantarku dari SPBU sampai halte ini, tumpahan kaleng ini ku amini mengguyur goa yg sedari tadi kering.

CELAKA! Sebuah tas yg berisi peta kota ini kutinggalkan di SPBU. Ojek tadi kupaksa mengoyak jalanan. Harus segera kuambil. Soal bus? Ah, nanti.

15 menit, aku sudah menenteng tas itu di halte. Mereka masih berdiri di sini. Pembicaraanku dengan tukang ojek tadi berlanjut. Bagaimanapun negosiasi tetap pilihan terbaik sebagai makhluk ekonomi. Tidak butuh waktu lama juga untuk memeras tarif ojek ini. Setelah itu, betapa terkejut ketika kubalikkan badan, mereka sudah tidak ada di sana. Orang lain dari rombongan mengatakan mereka sudah dapat bus menuju terminal A. Aku bertanya mengapa tidak memanggilku, banyak jawaban dari orang-orang di rombongan itu.

"Mengapa tidak mengkomunikasikan?" Tanyaku pada seorang lagi.
"Entahlah, sepertinya memang begitu watak orang-orang di kelompok *itu" Jawabnya sambil menepuk pundakku.

Ya sudahlah, tidak ada gunanya mempermasalahkan hal seperti ini. Toh aku bisa mencari bus lain. Meskipun harus menunggu sampai 3 hari, setidaknya terminal A masih buka. Oh, ada yg menemaniku menuju terminal A. Baiklah kami akan segera berangkat.

Satu hal paling kuingat dari kelompok yg meninggalkan kami tadi, ada tetanggaku. Mengapa dia pergi? Bukankah kita sudah biasa berbagi. Meskipun dia yg lebih banyak membagi padaku. Entahlah, apapun alasannya dia tetap kuanggap salah. Seharusnya dia mengerti mengapa aku tidak ada di sisi jalan bus yg menuju terminal A. Karena aku tidak sedang bersenang-senang atau bermain-main dengan apapun. Kalau dia meminta maaf, sudah pasti kumaafkan. Meskipun aku tahu itu adalah ke-absurd-an. Absurd? Ya, karena aku yakin dia pasti merasa benar. Biarlah, karena pembenaranku lebih benar dari kebenaran apapun yg bisa dia pahami.

Aku bukan pendendam, jadi akan tetap kubagikan dengannya apa yg bisa kubagikan. Tapi soal kepercayaan, biar kubagikan pada orang lain saja. Aku kecewa. Mungkin sisi kemanusiaan berhasil melumat dendam, tapi takkan ada yg bisa membunuh kekecewaan ini. Karena kekecewaan berhak hidup meski tidak berdampingan dengan dendam. Segalanya harus berubah. Orang lain dalam kelompok itu bukan siapa-siapa, jadi tidak usah dibicarakan.

Ini bukan tentang dendam, tapi manusia memang harus realistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok