05 Januari 2011

Warteg Mbak Sri

Mahasiswa adalah agent of change. Barisan terdepan pengawal rakyat dalam arena demokrasi. Tidak semua mahasiswa memahami esensi kalimat itu. Kalaupun paham, tidak semua tahu ke mana implementasinya hidup, sehingga mereka menyandang stereotip tersebut.

Awalnya saya pun demikian. Hanya berkaca pada pengalaman pentas demokrasi Indonesia. Gerakan mahasiswa era ’66 misalnya, atau reformasi ’98. Sejarah yg mencatat, dan masyarakat yg menilai. Dalam dua momen di atas kiprah mahasiswa sudah tidak diragukan. Bukan lagi penyandang gelar tanpa aksi. Memang nyata, mahasiswa memperjuangkan suara rakyat di antara peluh. Bahkan cucuran darah dan nyawa melayang. Menuntut keadilan.

Menarik. Akhirnya saya menemukan jawabannya. Bukan dari hasil analisa atau cerita orang. Lebih dari kesadaran mahasiswa sebagai agen perubahan. Mbak Sri, seorang wanita pengelola warung tegal (warteg) yg menegaskan pada saya. Bahwa mahasiswa mestinya berbuat untuk rakyat.

Seperti biasa, siang itu saya makan di warteg Mbak Sri. Saat mengambil sambal, spontan saya teringat berita pasar yg beberapa hari ini menghiasi media masa. Cabai Mahal. Saya mulai iseng bertanya “Harga cabai naik ya, Mbak? Berapa sekarang?”
“Empat puluh ribu (Rp/Kg), Mas”
Syukurlah. Yang saya tahu di Jakarta harganya sampai Rp 80rb/Kg. Syukur bagi saya ternyata tidak bagi Mbak Sri.
“Mana dong mahasiswa kok gak ada demo” keluhnya.

Mendadak saya membatu. Mbak Sri tidak berhenti dengan keluhan-keluhannya. Barulah saya sadar. Jadi benar, rakyat sungguh-sungguh mempercayakan mahasiswa sebagai kapten kompi mereka? Saya mulai gelisah. Apa yg harus saya perbuat sebagai mahasiswa. Sebagai agen perubahan. Barisan terdepan pengawal rakyat. Ah, ternyata stereotip tersebut bukan cuma wacana. Bukan sekedar jargon dan manifesto gengsi saja.

Orang melekatkan predikat tersebut tidak dengan cuma-cuma. Berbayar? Ya, bayarannya adalah harapan mereka. Bagi mahasiswa pun tidak cuma-cuma. Yang harus dibayar dengan tanggung jawab. Mahasiswa yg harus membayar kesemuanya.

Mahasiswa berdiri berhadapan dengan kekuasaan dan eksponen-eksponennya. Di samping kanan-kiri terdapat inteligensia lain yg bebas dari payung atau tumpangan kekuasaan. Di belakang berdiri sipil-sipil yg seolah dibungkam mulutnya. Pers berada di tengah-tengah. Kadang menyorot tajam pasukan penguasa. Kadang menutup-tutupi borok penguasa dari barisan di seberangnya.

Wakil rakyat di mana? Saya tidak sepakat mereka termasuk dalam barisan rakyat. Karena tidak sedikit regulasi mereka yg tidak mengcover suara rakyat. Lalu? Bukan juga di barisan kekuasaan. Mereka tidak mempunyai barisan. Ada yg berbaur dengan inteligensia pengawal rakyat. Ada yg menjadi tunggangan penguasa. Ada juga yg berada di barisan rakyat tapi palsu. Bertopeng. Mereka disebut demagog. Demagog tidak hanya berasal dari kalangan wakil rakyat, bisa juga dari inteligensia lain termasuk mahasiswa.

Idealnya; eksekutor, legislator, dan yudikator berada dalam satu barisan rakyat. Berjalan bersama-sama mewujudkan Indonesia yg harmonis. Tapi sepertinya keharmonisan berdemokrasi memang harus saling berdiri berhadapan. Impian yg idealis menjadi mimpi absurd. Karena sesungguhnya impian itu tidak ideal dalam konteks praktis. Begitu kompleks panggung demokrasi negeri ini.

Ah, Mbak Sri, Sampeyan yg harus bertanggung jawab atas keresahan ini. Tapi Sampeyan kan Cuma mengingatkan. Karena memang begini kodratnya mahasiswa. Jadi, siap demo? Tidak untuk sekarang. Sepele, menghindari anarki. Kalau demo bertendensi anarki, adakah cara lain? Pasti ada. Audiensi misalnya. Tapi apa ada mahasiswa yg masih peduli?

Padahal sidang wakil rakyat saja masih berakhir anarki, bayangkan dengan audiensi antara mahasiswa dan eksponen birokrasi. Mahasiswa kan semangatnya lebih berkobar. Ah, saya jadi bingung, ini Negara demokrasi atau Negara anarki sih?

Duh, Mbak Sri.

2 komentar:

Warung Kopi Kothok