02 Januari 2011

Aroma

Tentang kita dan suara (tulisan) kita. Mahasiswa. Inteligensia muda. Sebuah pendapat yg berangkat dari analisa, pengamatan, dan pengalaman pribadi. Lagi-lagi (mungkin) harus subjektif. Semoga dapat menyumbang referensi bagi sudut pandang kita semua.

Kita sering menemukan tulisan-tulisan muda yg ikut nimbrung di media cetak nasional. Banyak sekali. Tapi sayang, tulisan-tulisan itu selalu menjadi bingkai dari gambar utama yg dipajang. Hanya mendapat tempat di kolom-kolom kecil dan pinggiran. Pembaca, gagasan, dsb. Kalaupun mendapat porsi layout yg besar, pasti ditempatkan pada eksemplar khusus atau halaman khusus “muda”.

Awalnya saya menduga, pasti karena identitas penulis. Banyak orang tidak mau menerima pendapat anak muda. Paling banter cuma dibaca dan didengar. Seperti kentut, tercium sebentar kemudian lenyap. Jadi redaksi sudah memperhitungkan kecenderungan pembaca. Tulisan satu halaman menjadi kurang menarik setelah membaca identitas penulisnya. “Mahasiswa Jurusan Tata Rias”, dan semacam itu.

Belum tentu setelah membaca, orang masih menganggap dangkal materi tulisan. Seandainya pun materi tulisan dianggap bagus, terlalu berat tulisan tersebut mempengaruhi sudut pandang pembaca. Entah mind-set model apa itu.

Saya sendiri sempat kesal. Pertama kali mengirimkan tulisan ke media masa nasional, memang terbit. Tapi harus rela terpampang di barisan kolom “pembaca”. Dugaan saya tepat, ada beberapa lagi yg ditulis mahasiswa atau anak muda. Kedua, saya mengirim tulisan yg masih berhubungan dengan tulisan pertama. Lagi-lagi cuma mengisi kolom “pembaca”. Meskipun menjadi headline dalam kolom tersebut, tetap kurang memuaskan. Namun kemudian saya menyadari, materinya masih dangkal dan lokal. Sejak hari itu saya berhenti mengirim tulisan ke media masa (nasional).

Masih pada dugaan awal, saya tetap yakin, nilai tulisan sangat dipengaruhi identitas penulisnya. Sambil terus mencari bacaan-bacaan segar –terutama esai, saya juga terus menulis. Kali ini hanya untuk kalangan tertentu. Entah berapa banyak judul yg sudah saya habiskan. Dan, tentang materi? Oh bukan, bukan. Materi esai-esai di kolom besar itu tidak semuanya bagus. Materi esai muda lain tidak kalah menarik. Bahkan beberapa lebih hangat. Tapi apa yg membuat saya betah mengikuti alur esai ini.

Dugaan selanjutnya adalah karena popularitas penulis. Sang esais sudah dikenal banyak orang. Mudah saja redaksi memberikan kolom besar padanya. Tapi apakah popularitas itu tanpa proses. Nah, sebelum terkenal mestinya dia juga kenalan dulu. Dan semudah itukah dilewati. Apa dulu dia juga pengisi kolom-kolom kecil. Entahlah.

Akhirnya, saya bandingkan tulisan-tulisan muda (termasuk tulisan saya) dengan esai-esai kolom besar yg saya kumpulkan. Butuh berbulan-bulan untuk menyadari satu hal lagi. Saya menyebutnya sebagai “aroma”. Tulisan-tulisan muda lebih beraroma provokatif. Atau dengan bahasa yg sederhana “aroma menyengat”. Entah wangi atau busuk. Hal ini wajar. Semua orang tahu semangat muda memang berkobar-kobar. Anggap saja ini gaya mahasiswa.

Sedangkan esai kolom besar hampir tidak terkesan tendensius. Meskipun kadang persuasif, tapi tak beraroma provokatif. Kali ini aromanya lebih lembut. Soft. Tulisannya terasa setenang Bengawan Solo yg menyembunyikan kederasan. Beda dengan tulisan muda yg nampak sederas jeram.

Mungkin esai kolom besar ditulis orang-orang yg memiliki jam terbang menulis (dan membaca) lebih tinggi daripada penulis muda –hampir pasti. Yang kemudian mempengaruhi psikisnya. Lebih tenang. Coba saja mengikuti audiensi antara mahasiswa dengan pejabat. Gaya bicara mahasiswa lebih beraroma menyengat daripada pejabat yg beraroma soft.

Tapi tentu saja stereotype tidak berlaku bagi semua anggota golongan. Seperti kata pepatah “tak ada gading yg tak retak”. Di antara pria-pria gentel selalu ada yg feminim. Di antara wanita-wanita feminim selalu ada yg tomboy. Entah dia pria/wanita yg keberapa.

Dan benar saja. Di antara tulisa-tulisan muda, saya menemukan yg beraroma soft. Mungkin jiwanya tenang. Tapi tetap, ada tulisan dengan aroma menyengat di dalam kumpulan tulisannya. Barangkali memang begitu kodratnya pemuda. Saya mengagumi dia.

Tidak perlu terlalu memikirkan bagaimana menulis dengan aroma soft, waktu yg akan mendewasakan tulisan kita. Jam terbang telah banyak membuktikan. Jika sekarang tulisan kita masih terlalu menyengat, percaya saja ini memang kodratnya.

Catatan :
Saya suka mencari-cari bacaan (esai) kolom besar. Barangkali bisa menjadi referensi. Pertama tulisan Prie GS di kolom Parodi Prie GS pada harian Suara Merdeka. Tulisan Kang Prie merupakan esai dengan tipe humor. Menyenangkan sekali membaca tulisannya. Yg lebih serius tapi masih mudah dicerna ada Putu Wijaya atau A.S. Laksana yg biasanya mengisi di Jawa Pos minggu. Bagi yg suka dengan esai yg cukup njlimet bisa mengunjungi kolom catatan pinggir di Majalah Tempo yg diisi Goenawan Mohamad. Satu pesan saya, kalau membaca tulisan Goenawan Mohamad, persiapkan perbendaharaan kata anda baik-baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok