23 Maret 2014

Rasa

Dari postingan sebelumnya, "Kadang kita tidak perlu melihat apa yang bisa atau cukup dirasakan saja."

Tidak bermaksud membuat serial post. Tidak berusaha menyaingi Tersanjung atau Cinta Fitri yang sampai sekian jilid. Postingan ini cuma kebetulan beririsan dengan postingan sebelumnya.

Saya suka irisan cabai di semangkuk Indomie rebus. Kuahnya jadi terasa semakin 'seleraku'. Pedas, berani, berkeringat, pokoknya uwenak tenan.

Tapi itu dulu. Itu masa lalu.

Pertama, saya sudah berhenti mengonsumsi mie instan. Kata dokter, mie instan mengandung bahan-bahan berbahaya.

Kedua, saya mengurangi konsumsi makanan pedas. Ya, cuma makanan. Hal pedas (hot) yang lain tidak. Bukan apa-apa, rasanya seperti ada gejala ambeien. Bisa dibayangkan betapa menderitanya orang yang kena ambeien setelah makan Maicih level 10.

Itulah kenapa Indomie rebus dengan irisan cabai telah menjadi masa lalu saya. Penjelasan singkatnya seperti di atas. Panjangnya? Panjangnya lain kali saja. Bisa kita bicarakan dalam bentuk seminar.

Memang begitu, ada yang sampai butuh seminar buat memperjelas sesuatu. Padahal, there's nothing new under the sun. Artinya itu bukan hal baru. Hanya saja penjelasan yang ada sebelumnya tidak menjawab semua pertanyaan yang kemudian muncul. Makanya ilmu pengetahuan terus berkembang. Menjawab pertanyaan-pertanyaan baru untuk sesuatu yang lama.

Tetapi, toh, ada pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Namanya retorika. Juga ada sesuatu yang tidak membutuhkan penjelasan.

Kalau kita ditanya kenapa suka lagu Wonderful Tonight (Eric Clapton), misalnya, mungkin kita akan kesulitan menjelasakan karena apa.

Ada jawaban (maaf) basi seperti, karena lagu itu diisi dengan iringan gitar Fender Stratocaster.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, berapa banyak lagu yang diiringi Stratocaster? Lalu, apa semua lagu dengan iringan Stratocaster kita suka? Lagu Californication - Red Hot Chili Peppers, katakanlah. Belum tentu (suka).

Maka jawaban basi itu tidak tepat. Meskipun benar, itu cuma upaya pembelaan atau apapun namanya untuk sesuatu yang kita suka. Yang sebenarnya, kita tetap tidak tahu karena apa.

Apalagi jika pertanyaan tadi ditujukan pada orang yang sama sekali tidak mengerti teknis musik. Jawabannya akan tetap, tidak tahu. Pokoknya suka.

Rasa suka/tidak suka itu sangat subyektif. Penjelasan dari rasa suka bukan tidak ada, tapi itu akan tetap menjadi hal basi yang sebenarnya cuma upaya melogika rasa.

Hal paling mendasar dari suka adalah rasa, yang kata orang tempatnya di dada. Bukan logika, yang ada di kepala. Tuhan memisahkan keduanya karena memiliki tugas yang berbeda. Mereka saling menjaga tapi tidak memaksa.

Ada penjelasan yang mengesampingkan perasaan. Ada perasaan yang tidak butuh penjelasan.

Jika semua bisa dijelaskan, Tuhan tidak akan memberi manusia perasaan. Mungkin. Cuma mungkin.

Linda Destya Kurniawati, semoga tulisan ini cukup untuk pertanyaanmu yang tidak bisa kujawab waktu itu (Semarang, Sabtu malam, 22 Maret 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok