27 Maret 2014

Ketus

Ini hanya dugaan. Belum tentu benar. Hipotesis. Berangkat dari hal-hal logis. Dan tanpa pembuktian.

Saya sangat meyakini, karakter sebuah generasi bisa sangat dipengaruhi oleh musik mainstream di zamannya. Oleh apa yang radio siarkan. Oleh apa yang televisi tayangkan.

Orang bilang, generasi 2000 ini melankolis sekali. Sendu. Mendayu-dayu. Cinta melulu. Serba kelabu.

Berbeda dengan generasi 90-an. Mereka lebih beruntung. Mereka punya musik melow yang mainstream seperti Pearl Jam, Radiohead, Nirvana, dan seterusnya. Jadi mereka lebih kuat. Katanya.

Jika memang benar, keyakinan saya tadi dapat diamini. Jika salah, mohon dimaklumi. Postingan ini tidak berangkat dari penelitian. Cuma observasi kecil.

Tetapi hipotesis mengenai pengaruh musik bisa kita persempit menjadi area individu, bukan generasi secara keseluruhan.

Ambillah contoh pribadi pemurung yang lebih banyak mendengarkan lagu emo ketimbang yang lain. Bisa jadi genre tersebut bukan cuma dipilih karena pas. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bahwa musik emo-lah yang membuatnya jadi semurung itu.

Well, maksud saya, awalnya dia murung lalu mendengarkan lagu emo. Pada akhirnya dia benar-benar menjadi se-pemurung itu.

Memang masih tetap dugaan.

Termasuk dugaan saya berikutnya, tentang musik blues. Genre yang dicintai setiap gitaris, kata Joe Bennett, karena blues adalah sebuah cara yang keren untuk tampil cool. Cool.

Menurut para maestro blues, musik yang berasal dari Mississippi ini sangat mistis dan serius. Identik dengan kernyitan dahi, sinis, dan ketus.

Kali ini pengalaman pribadi. Memang sangat sulit melepaskan sifat-sifat identik di atas ketika bermain blues. Melekat begitu saja. Entah karena apa. Seperti kutukan leluhur blues itu sendiri. John Lee Hooker, Jimi Hendrix, Robert Johnson, Blind Lemon Jefferson, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Beberapa orang telah menyadari keketusan saya akhir-akhir ini. Namun ada 2 hal berbeda di dalamnya. Pertama, saya (dan orang lain juga) bisa menjadi ketus karena merasa superior. Kedua, saya ketus justru saat merasa nyaman. Saat merasa punya kedekatan khusus dengan orang yang saya ketusi. Sama seperti nyaman saat bermain blues. Tiba-tiba menjadi ketus.

Kadang ketus pada Ibu saya, sahabat, teman dekat, dan lain-lain. Lebih mudah ramah (baca: jaim) pada orang asing.

Biasanya saya buru-buru cari cara mencairkan suasana begitu menyadari keketusan tak terduga tadi. Semoga terampuni.

Whatever. Saya punya kesibukan yang menuntut untuk tidak ramah sepanjang waktu. Ini melelahkan. Tapi harus dilakukan.

Mohon dicatat, saya tetap (sangat) mencintai orang-orang yang saya ketusi berkali-kali. Saya ingin melakukan dengan cara yang lebih baik. I wish I could.

"Kamu orangnya ketus ya, Mas?" Ya, maaf tidak bisa selalu seramah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok