21 Desember 2014

Asing

Banyak orang kita yang alergi dengan kata investasi asing. Padahal banyak yang belum kita bisa, butuh bantuan orang lain.

Sebelumnya, mari kita simak hukum alam yang terjadi di dunia: di negara yang labor-nya melimpah, maka technology & capital-lah yang command. Mari kita catat 3 hal utama: labor (tenaga kerja), technology (teknologi), & capital (modal). Indonesia termasuk negara dengan tenaga kerja melimpah, maka dibutuhkan teknologi & modal untuk tumbuh.

Pertanyaannya, "Apakah kita punya teknologi mumpuni & modal yang cukup?" No! Dari situ kita tahu bahwa investasi asing itu penting. Kita perlu teknologi & modal.

Bayangkan, dengan jumlah manusia sebanyak ini, bagaimana soal mobilisasinya? Maka kita butuh investasi pabrik Toyota di Indonesia. Dengan begitu tenaga kerja juga banyak terserap. Akhirnya kita belajar teknologi yang belum kita punya pula.

Kita ibaratkan saja Indonesia sebagai sebuah keluarga. Sebutlah keluarga Pak Bejo. Keluarga itu memiliki sebuah warung bakso. Pak Bejo ingin mengembangkan bisnisnya, sedangkan anggota keluarganya tidak ada yang punya modal cukup, maka Pak Bejo pinjam dana di bank. Lalu dia mempercantik warungnya, meremajakan peralatan makannya, dan seterusnya.

Awalnya Pak Bejo menggiling adonan bakso secara manual. Tapi untuk meningkatkan produktivitas dibutuhkan mesin penggiling. Dana dari mana? Boro-boro beli mesin, hutang di bank saja belum lunas. Kemudian dia bekerja sama dengan tetangganya yang bersedia meminjami mesin penggiling. Dengan catatan bagi hasil.

Bla-bla-bla.

Itu semua untuk apa? Menyambung hidup, meningkatkan kualitas hidup, menjamin kehidupan generasi selanjutnya, intinya untuk kemakmuran.

Kita sering terjebak nina-bobo bahwa kita ini kaya. "Sumber daya alam kita melimpah!" Katanya. Kalau tanpa teknologi & modal buat mengelola ya tidak jadi apa-apa.

Pendeknya, karena itu kita juga butuh hutang luar negeri. Salah satu bentuknya SUN (Surat Utang Negara). Buat apa? Ya buat belanja. Pembelanjaan negara berbeda dengan belanjaan ibu-ibu sosialita. Contoh belanja negara seperti pembangunan jalan, dan sebagainya.

Bagaimana jika ngotot tidak menghutang?

Nah, sekarang anak Pak Bejo butuh biaya sekolah. Karena hasil bisnisnya tidak mampu membiayai seluruh kebutuhannya, maka Pak Bejo menggadaikan sertifikat tanah. Lalu anak Pak Bejo pun dapat melanjutkan sekolah dan belajar di kelas memasak. Anak Pak Bejo ini bercita-cita menjadi koki profesional. Dia berharap dapat mengembangkan bisnis bakso Bapaknya.

Asal anti asing bukan berarti paling nasionalis. Belum tentu. Jika Pak Bejo anti mencari pinjaman, anaknya mungkin putus sekolah. Mungkin isterinya yang sakit tidak tertolong. Mungkin bisnisnya yang redup malah gulung tikar. Jadi ketika Pak Bejo anti menghutang, bukan berarti dia sayang keluarga.

Lagipula tidak ada yang secara istiqomah anti terhadap asing. Media sosial yang kita pakai ini produk asing. Data base-nya ada di tangan asing. Gadget yang kita gunakan juga produk asing. Kendaraan kita itu produk asing pula. Bagaimanapun kita terlanjur menjadi bagian dari dunia. Kita butuh asing. Asing butuh kita.

Tapi investasi asing tetap harus dikontrol. Jangan asal hutang, asal gadai, asal-asalan. Misalnya, Pak Bejo tidak perlu menghutang untuk membeli batu akik. Pak Bejo tidak perlu menghutang untuk membelikan isterinya berlian. Pak Bejo tidak perlu hal-hal yang tidak dibutuhkan.

Terakhir, sebaiknya kita berhenti terlalu percaya diri merasa sebagai negara yang kaya raya.

Ngomong-ngomong, kalau anak Pak Bejo sudah ikut kelas memasak, tapi masakannya masih terlalu asing... Mungkin dia minta kawing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok